Nyiur Ilalang Melambai di Kali Kening
Oleh. Rohmat Sholihin*
Dok. K3
Sore itu sedikit mendung, jalanan masih basah dengan gerimis
hujan bulan april. Mobil, motor, dan sepeda sibuk berlalu-lalang dengan tujuan
dan harapan yang ada dalam kepala mereka masing-masing. Jika aku puisikan pada
sebaris kata mungkin bisa begini; mereka
berlalu –lalang dengan seksama, tiada muara tujuan yang mampu ku ketahui
kecuali pucukmu telah tiba disuatu tempat. Duh, dalam hatiku bercumbu ria
dengan sebaris kata yang asal keluar dari pikiranku. Mungkin pikiranku lagi melalang
buana dengan kesewotan yang terbius poster dalam group WA Kali Kening dalam
kajian yang ke-15. Bincang sajak, “Menempuh Kuncup Ilalang”, yang disajikan
oleh Ilalang penulis buku Kuncup Ilalang dan
pengantar oleh Ikal Hidayat Noor.
Hati ini penasaran setengah mati, ingin segera sampai di Iwan Café di jalan
Jatirogo-Bojonegoro tepatnya di desa Jalaru-Bangilan untuk bergabung dalam
kajian dan tentu saja ingin bertemu dengan penyaji yang lentik alisnya ketika
aku lihat gambarnya dari poster itu. Ada simpul senyum yang menghias manis
disudut hatiku yang tak lagi muda. Ah, jangan-jangan puber kedua.
Tidaaaaaaaaaak! Hehehe…pikiran nakalku berkecamuk tak sabar untuk segera sampai
dan ikut berdiskusi. Maklum aku jadi baper
dengan menempuh kuncup ilalangnya Kali Kening sore itu.
Motorku
mengendap-ngendap melintasi jembatan Kali Kening yang redup, airnya tak lagi
pasang menggelepar-gelepar seperti naga yang siap memangsa. Aku lihat dengan
tenang airnya, mengayun-ayun lembut seperti bidadari yang telah bermain dan
mandi di airnya yang bening. Ada senja mewakilkan panorama indah berwarna biru,
sebiru syair Joyojuwoto, Kali Kening
Dalam Senja Biru. Syair indah. Penuh makna dan menggoda hati untuk berbisik
bahwa kita memang telah menjadi bagian dari pengembara jiwa, cinta, rindu dan
masa lalu yang telah menghias dalam bingkai kenangan. Terlalu cepat masa-masa
kecil yang penuh dengan canda dan tawa berlalu, meninggalkan beribu-ribu kisah
yang belum sempat kita tulis dalam surat
kapsul dan kita tanam dalam tanah. Beberapa tahun kemudian kita gali lalu
kita baca lagi dengan seksama di bawah pohon bambu, dengan angin yang menyapa
rumput-rumput ilalang dan gemericik kali kening yang syahdu. Duh, hati ini
terbakar oleh emosi kata-katamu yang menusuk hati. Merona, menyihir rumput dan ilalang di kaki bukit. Ini adalah senja
biru, katamu
Senja yang tercipta dari senyum bidadari. Saat mengeja rindu yang menggebu
Pada beningnya air kali. Di sini, di pinggiran kali kening ini
Jejak itu masih tampak. Pada batu-batu kali, pada pasir. Dan pada keheningan lubuk. Kuatnya syair itu hingga harus mengheningkan cipta ketika melewati jembatan Kali Kening.
Senja yang tercipta dari senyum bidadari. Saat mengeja rindu yang menggebu
Pada beningnya air kali. Di sini, di pinggiran kali kening ini
Jejak itu masih tampak. Pada batu-batu kali, pada pasir. Dan pada keheningan lubuk. Kuatnya syair itu hingga harus mengheningkan cipta ketika melewati jembatan Kali Kening.
Sungai yang telah menceritakan seribu kisah, lambat laun mulai pudar,
orang-orang hanya berlalu-lalang, acuh tak acuh pergi tanpa kabar. Ia telah
menjadi lupa bahwa jasad mudanya dulu pernah terguyur air beningnya saat mandi.
Kaki lincahnya yang dulu penuh lumpur saat berlari mengejar layang-layang
dengan ranting bambu kering, tangannya dengan cekatan menyibak gundukan tanaman
air yang banyak tumbuh dipinggirnya untuk menangkap udang, dan lentik matanya
saat memandang nyiur ilalang melambai-lambai dengan suara seruling penggembala.
Semua itu telah berlalu dengan haru.
Motorku mulai melambat ketika dihadapan terlihat sebuah bangunan bermotif
warna hitam-putih dengan atap esbes.
Didepannya banyak motor yang telah diparkir rapi dan sebuah mobil biru tua
dongker, mobilnya keren, meski terkesan selera tua, namun kenyamanan dan tahan
bantingnya serta kualitasnya sudah teruji itu menandakan bahwa yang punya
seorang idealis. Kuselipkan motorku diantara motor-motor lainnya. Akupun masuk
ke ruangan yang telah ramai dan penuh dengan aroma tawa, ceria dan bahagia,
bahagia bisa berbincang tentang sajak dan puisi pada senja hari. Kali Kening
mulai hening dengan semilir angin dan gemulai nyiur ilalang menari-nari, indah
tak terperikan, syahdu bukan buatan, akupun terkapar, tak dapat berkata-kata,
hanya bisa berimajinasi bahwa hari-hari semakin berat, terlelap dalam balutan
kata-kata yang semakin tajam menghujam. Luar biasa. Kali Kening semakin liar
diantara ilalang-ilalang, melambai-lambai. Tak terasa senja mulai memudar,
gelap mulai merayap, semoga bulan merah
tak lagi tampak, biarkan ilalang dengan indahnya saja yang bersajak.
*Penulis anggota
Komunitas Kali Kening.
Label: Essai
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda