Patmi dan 10 Tahun yang akan datang?
Oleh. Rohmat S*
https://beritagar.id/artikel/berita/ibu-patmi-peserta-aksi-dipasung-semen-berpulang
Patmi, 48, salah
satu seorang peserta aksi pengecoran kaki di depan Istana Merdeka,
menghembuskan nafas terakhir kemarin dini hari (21/3). Perempuan asal Desa
Larangan, Tambakromo, Pati, itu di duga meninggal karena serangan jantung.
Sontak, seluruh peserta aksi Kendeng Lestari berduka. Perempuan paruh baya yang
memperjuangkan masyarakat karst Kendeng, Jawa Tengah, untuk menentang
pembangunan pabrik semen di lingkungan mereka. Bersama dengan warga yang lain
dengan teguh menyuarakan aspirasinya bahwa pembangunan pabrik semen tersebut
memberikan dampak yang negatif pada kelangsungan lingkungan, terutama
kelestarian hutan dan sumber mata air yang berguna bagi kelangsungan warga
sekitar, untuk bercocok tanam dan memenuhi kebutuhan hidupnya akan air. Betapa
pentingnya sumber mata air dalam kehidupan kita dan masa depan kelangsungan
makhluk hidup beberapa tahun ke depan. Melihat kerusakan alam saat ini kian
memprihatinkan. Seperti; banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan masih ada
banyak lagi kerusakan-kerusakan alam akibat ulah tangan-tangan manusia melalui
eksploitasi besar-besaran.
Air merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan bagi
kehidupan dan kelangsungan hidup. Tiada kehidupan tanpa air, bahkan sebagian
ahli menggambarkan kehidupan itu adalah air.
Tidak ada satu interaksi kimia pun yang terjadi di dalam tubuh tanpa
melibatkan peran air yang sangat vital. Itulah salah satu faktor yang mendorong
upaya para ahli zaman sekarang berkat kemajuan penelitian tentang antariksa
untuk mencari kemungkinan terdapat air di planet-planet lain selain bumi untuk
memastikan kemungkinan adanya gejala hidup di planet itu. Dengan fitrah yang
diciptakan Allah, manusia merasakan adanya hubungan yang erat antara air dan
kehidupan. Oleh karena itu, Al-Qur’an diturunkan sesuai dengan fitrah manusia
itu. Allah berfirman :
Dan apakah orang-orang yang ingkar itu tidak mengetahui bahwa
langit dan bumi itu dahulu berpadu, lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup dari air. Maka mengapakah mereka tidak
beriman? (QS. Al-Anbiya’ : 30)
Pejuang
Patmi dan kawan-kawan dalam aksi
mengecor kakinya dengan semen di depan Istana Merdeka Jakarta, ingin
memberikan pesan dan tuntutan kepada pemerintah yang berkuasa bahwa pembangunan
pabrik semen di daerah gunung Kendeng sangat bertentangan dengan kelestarian
lingkungan alam terutama sumber mata air dan lahan mereka untuk menggantungkan
hidup akan mengalami kerusakan. Ada sumber mata air besar yang berada di lahan
sekitar gunung kendeng yang sangat bermanfaat untuk pertanian, hewan ternak dan
sumber kehidupan lainnya. Jika kerusakan itu di abaikan, kelak generasi muda
yang akan datang akan mengalami krisis air dan pangan karena lahan-lahannya
telah disulap menjadi lahan industri semen. Apa mereka kelak akan makan semen? Minum
dengan semen? Dan memandikan anak-anak dan hewan ternak dengan semen? Mengairi
lahan pertanian dengan semen? Masalah lingkungan alam inilah yang seharusnya
menjadi tolok ukur agar kita tidak gegabah mengambil kebijakan hanya
berdasarkan pundi-pundi materi namun di sisi lain banyak mengorbankan kalangan
masyarakat lainnya. Sungguh negara ini
telah mengambil kebijakan yang keliru ketika tetap terus melanjutkan operasi
pembangunan pabrik semen di daerah gunung Kendeng Pati-Jawa Tengah. Berdasarkan pasal 33 UUD 1945 melarang adanya
penguasaan sumber daya alam ditangan perorangan atau pihak-pihak tertentu,
dengan kata lain adalah monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang
pengelolaan sumber daya alam dianggap bertentangan dengan prinsip pasal 33 UUD
1945 tersebut. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga
monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya berada pada negara. Dalam
Pasal 33 ini menjelaskan bahwa perekonomian indonesia akan ditopang oleh 3
pelaku utama yaitu Koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan
Swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar,
serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan
(Indrawati,1995). Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2)
dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk
kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar
perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat, dan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jiwa dari Pasal 33 UUD 1945 yang
berlandaskan semangat sosial, menempatkan penguasaan terhadap berbagai sumber
daya untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara.
Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat
untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang
mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol tidak
tanduknya, apakah sudah menjalankan pemerintahan yang jujur dan adil, dapat
dipercaya (accountable), dan
tranparan (good governance).[1]
Dan logikanya, apakah selama ini masyarakat sekitar
gunung Kendeng merusak lingkungan alam? Saya kira orang akan menjawab, “tidak”.
Justru masyarakat gunung Kendenglah yang selalu menjaga kelestarian lingkungan
melalui bercocok tanam yang sudah dilakukan bertahun-tahun bahkan berhasil
menjadikan daerah Pati sebagai lumbung pangan masyarakat Jawa Tengah bahkan
nasional dengan julukan Bumi Mina Tani. Sehingga ketahanan pangan kita akan
selalu terjaga.
Dengan perjuangan Mbah Patmi terhadap kelestarian gunung
Kendeng hingga akhir hayat perlu mendapatkan apresiasi bagi kita bersama, ia
berjuang bukan untuk kepentingannya sendiri namun untuk kepentingan masyarakat
luas dan untuk kepentingan masyarakat dunia karena ia telah menyelamatkan
sumber mata air sebagai sumber kehidupan.
Kini mbah Patmi telah tiada. Sepuluh tahun yang akan
datang jika gunung Kendeng masih dapat dilestarikan, cucu kita dan masa depan
kelestarian lingkungan masih akan tetap lestari. Bumi, air dan kekayaan alam
masih menjadi hak bagi masyarakat untuk dapat dinikmati dengan seadil-adilnya. Jika
gunung Kendeng harus jatuh pada korporasi untuk dikuasai pasti akan lain lagi
ceritanya. Karena hidup bukanlah lagi untuk menikmati tapi akan saling mengejar
dan berebut untuk bisa menikmati. Selamat jalan mbah Patmi.
Bangilan, 16 April 2017
*Penulis anggota Komunitas
Kali Kening.
Label: Opini
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda