Rabu, 22 Maret 2017

Berenang Dalam Kubangan Lumpur

Oleh. Rohmat Sholihin*

http://www.halloriau.com/read-meranti-83954-2016-09-01-penyimpangan-seksual-di-kalangan-anakanak-meranti-marak-terjadi.html
            Sore itu agak sedikit gelap, karena mendung. Angin pelan-pelan menyapu pohon Mahoni Swietenia mahagoni yang lambat laun daunnya beriak-riak seperti gemericik air sungai depan Teras, tempat kita menikmati segelas jus dan berdiskusi. Seakan-akan isu penting ini harus dibicarakan dengan kepala dingin, tanpa emosi dan harus memberikan solusi yang cerdas serta cantik. Apa itu? Kawan kita telah menulis cerpen yang dahsyat. Dahsyat dalam kriteria, bisa menghapus jejak nilai-niali ke-fiksiannya. Padahal cerpen hampir bisa dipastikan adalah karangan fiksi, ciri dasar lain cerpen adalah sifat rekaan (fiksi). Cerpen bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi (nonfiksi), berdasarkan kenyataan kejadian yang sebenarnya. Cerpen benar-benar hasil rekaan pengarang. Akan tetapi cerita yang ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan. Ciri cerpen yang lain adalah sifat naratif atau penceritaan. Dengan diposkannya cerpen yang berjudul Alia Ingin Pergi ke Angkasa (AIPA), mendapatkan banyak respon dari banyak kalangan pembaca. Luar biasa, virus membaca sudah mulai menyerang. Pembaca semakin banyak yang suka dan merasa penasaran, bahasa gaulnya kepo. Rasa ingin tahu kisah didalamnya semakin liar, mulai dari menyumpah-nyumpah tokoh antagonis yang ada dalam cerita dan tentu saja penulisnya sangat sukses meracik kata-kata hingga bisa mengaduk-aduk perasaan pembaca.
“Harno?” kedua alisku bertaut, teringat dengan sosok muridku yang anak kepala desa dan baru lulus bulan Juli lalu. Bocah laki-laki dengan kulit gelap dan bekas jahitan di bibir atasnya. Alia mengangguk.
“Setiap pulang sekolah, Harno selalu menunggu Alia di pertigaan, bu.”
“Di pertigaan ?” rasa cemas mulai menjangkitiku dan Alia mengangguk pelan.
“Alia diganggu?”
“Iya bu, Harno selalu mengajak Alia ke kandang kerbau Mbah Darno.” Alia kembali terisak.
“Untuk apa, Alia?”
“Harno memaksa Alia, bu. Melihat film jorok di hp dan memaksa Alia menirunya.” Ucapnya sambil menggigit kuku-kuku tangannya.[1]

Pembaca dibuat terbelalak dengan kejadian dalan cerita pada petikan kalimat cerpen (AIPA) diatas. Ada ketimpangan pada nilai-nilai kehidupan yang seharusnya belum boleh terjadi pada dunia anak-anak. Yaitu melihat film porno atau adegan bercinta orang dewasa. Kekhawatiran kita sebagai orang tua adalah sikap ingin menirunya anak yang masih kuat, anak akan merasa lain ketika berhadapan dengan lawan jenisnya. Ada sesuatu keinginan yang kuat pada anak untuk mencoba hal seperti cerpen diatas karena faktor penasaran. Dan ketika hasrat itu “terlampiaskan” pada anak, tidak menutup kemungkinan ada unsur ketagihan dan selalu ingin mencobanya berulang-ulang ketika bertemu dengan teman lawan jenisnya, bisa-bisa akan menjadi penyimpangan seks dalam usia yang masih anak-anak. Sungguh berbahaya.
            Inilah suatu masalah serius yang harus dibahas dalam diskusi kecil ini. Antara penulisnya sendiri dengan beberapa teman pendengar setia dengan sesekali memberikan masukan-masukan, alangkah baiknya jika bla-bla-dan bla-bla-bla. Maaf belum aku sebutkan apa lebih tepatnya tentang bla-bla, dan bla-bla? Kurang etis dalam diskusi hanya menyebutkan kata-kata yang tak jelas, bla-bla-dan bla-bla. Begini, penulis agak sedikit resah dan bercerita jika cerpen (AIPA) diatas ditanggapi oleh beberapa pembaca sehingga ada beberapa pertanyaan dari mereka yang menggoda otak untuk merekamnya.
1.     Apakah cerpen (AIPA) itu berdasarkan kenyataan?
2.      Betul terjadikah cerpen (AIPA) ini?
3.      Mbak, itu kisah nyata ya?
4.      Wah, cerpen (AIPA) ini seperti kenyataan?
5.      Dst…
Dengan pertanyaan-pertanyaan diatas, penulis menjadi bingung sendiri dengan apa yang harus dilakukan? Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan diatas, penulis menjawab jujur dengan jawaban “iya”, jangan emosi dulu jika mendengarnya. Kita kembalikan lagi dengan kalimat diatas bahwa cerpen adalah fiksi namun tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang ada dalam cerpen adalah realita kehidupan disekitar kita. Karena cerpen mempunyai unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Meski bersifat fiksi tapi kehebatan penulislah yang menjadi viral tulisan itu sendiri. Penulis seperti mempunyai roh yang secara tidak langsung memasuki ranah penjiwaan yang mengurai akar permasalahan didalamnya, mengutak-atik, mengurangi serta melebihkan sesuatu hingga menjadi karangan yang menarik. Penulis itu seperti seorang yang visioner, apa saja yang ditulis oleh penulis adalah visi yang telah diuraikan sedemikian rupa dengan tujuan pembaca bisa memahami.
            Dan penulis kurang lengkap jika hanya bisa menuliskan saja. Penulis setidaknya harus bisa menjadi aktor bagi tulisan-tulisan yang telah ia tulis. Karena kesimpulan-kesimpulan yang ada pada tulisannya merupakan cerminan ide dan pikiran. Ada kalimat yang mengatakan : menulis adalah mengurai kebenaran. Jika sesuatu yang tak menarik, penulis pasti malas untuk menuliskannya. Karena kurang mempunyai nilai tawar yang tinggi bagi pembaca, apalagi media dan penerbit. Tulisan mempunyai ranah selera sendiri-sendiri seperti yang menuliskannya. Dan mempunyai penggemar sendiri-sendiri. Tulisan memberikan informasi penting bagi pembaca sesuai yang dibutuhkan.
            Kembali ke kasus diatas yang dikeluhkan si penulis cerpen (AIPA) yang atraktif dan berbakat, Linda Tria Sumarno (LTS), mengeluh dan memberi gambaran atas kondisi yang memilukan seperti pada isi cerpen (AIPA) bahwa penyimpangan-penyimpangan seks pada anak-anak dibawah umur harus mendapatkan perhatian khusus agar tidak menjadi kasus yang berlarut-larut dan semakin kompleks sedangkan bahayanya kasus seks dan pornografi pada anak akan menimbulkan beberapa efek, pertama, Anak-anak mulai melakukan aktifitas seksual.
Sifat dasar anak-anak adalah meniru. Mereka akan meniru apapun yang dilihat nya. Jika pornografi meracuni mereka, bukan tak mungkin mereka akan melakukan aktifitas seksual yang mereka lihat kepada anak yang lebih muda, bahkan teman sebayanya yang lebih lemah. Jika hal tersebut dibiarkan, anak bisa menjadi pelaku kekerasan seksual anak-anak, dimana hal ini biasanya disebabkan oleh dua simultan yaitu pengalaman dan exposure. Kedua, Sulit konsentrasi
Bagaimana bisa konsentrasi kalau yang ada dalam pikiran anak adalah pikiran-pikiran kotor. Belum lagi kalau anak belum paham sehingga yang ada dalam otak anak adalah berbagai pertanyaan seputar adegan atau tayangan porno yang baru dia lihat. Ingat loh ini konteksnya anak usia dini. Mana ada sih anak balita yang paham dengan adegan porno? Yang bahaya lagi, kalau sudah tertanam dalam otak maka untuk menghapus akan sangat sulit. Kenapa ? karena seks merupakan kebutuhan dasar manusia. Anak yang sudah menemukan kenikmatan seks sebelum waktunya dan tertanam secara mendalam dalam pikirannya akan sulit untuk dihilangkan. Kasihan kan padahal masa depannya masih panjang, masih banyak dibutuhkan konsentrasi-konsentrasi dalam hidupnya. Ketiga, Kecenderungan melakukan pelecehan seksual.
Mengenal pornografi terlalu dini juga dapat membuat seseorang melakukan kejahatan seksual seperti pelecehan seksual. Hampir 77% pelaku pelecehan terhadap anak laki-laki, dan 87 % pelaku pelecehan terhadap anak perempuan mengaku kebiasaan melihat pornografi lah yang mendorong tindakan kriminal mereka. Keempat, menangkap pesan yang salah.
Pornografi bisa menimbulkan pesan yang salah bagi generasi muda terhadap hubungan antar mereka kelak. Mereka akan beranggapan bahwa kasih sayang antara ia dan pasangannya diukur oleh kepuasan seksual yang bisa mereka raih. Hal ini disebabkan sifat pornografi itu sendiri yang memaparkan seksualitas tanpa pertanggungjawaban. Contoh: Anak bisa saja jadi tidak percaya diri, kenapa? Karena frame yang dia lihat dari maraknya tayangan TV atau bahkan lingkungan disekitarnya, ” kalau mau cantik dan punya banyak teman ya harus berpakaian terbuka ”, ” kalau berpakaian tertutup kuper gak gaul, ndeso ”. Besok-besok anak akan muncul PD-nya ketika berpakaian minim dan terbuka. Kelima, meningkatnya jumalah kehamilan usia dini.
Tindakan seksual yang disaksikan anak, serta dorongan seksual yang secara alamiah dimiliki anak, akan membuatnya penasaran untuk kemudian melakukan sendiri tindakan seksual tersebut. Jika hal ini terjadi, kehamilan diluar nikah pada usia dini sangat mungkin terjadi. Sebuah penelitian penyebutkan bahwa anak laki-laki yang ter-ekspos oleh pornografi sebelum usia 14 tahun akan lebih aktif bahkan kecanduan seks saat dewasa nanti. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa diantara 932 pecandu seks yang di teliti, sebanyak 90% laki-laki dan 77% perempuan mengakui bahwa pornografi berperan besar pada kecanduan mereka. Begitu bahayanya pornografi, yang bukan hanya bagi anak anda saat ini, namun juga bagi kehidupan mereka mendatang, maka dibutuhkan pengawasan dari anda, agar anak-anak anda tidak teracuni dengan pornografi di usia yang tidak seharusnya. Jadi mulai sekarang, dampingi putra-putri anda saat hendak menonton televisi, bermain internet, ataupun memilih bacaan untuknya. Keenam, penyimpangan seksual. Anak balita atau anak usia dini yang belum waktunya sudah melihat adegan atau tayangan hubungan intim suami istri atau tayangan–tanyangan porno lainnya, dan tidak ketahuan orangtua sehingga tidak langsung diberi pemahaman (dengan bahasa yang mudah dipahami anak tentu saja) ketika dewasa kelak bisa mengalami penyimpangan seksual, karena yang ada dalam benak anak adegan itu jorok, sakit, seram dan lain-lain. Kecanduan adalah kondisi yang mana secara fisik dan kimia otak memaksa seseorang melakukan suatu perilaku tertentu tanpa adanya keterlibatan pikiran atau hati nurani. Tapi karena kekuatan dari sistem limbik otak (salah satu sistem pada struktur otak) dan kapasitas untuk menaungi bagian moral dan rasional dari otak, banyak orang yang mengklaim bahwa pornografi adalah perilaku yang normal atau sebagai hiburan semata. Pada dasarnya, satu-satunya perbedaan antara kecanduan narkoba, seperti heroin atau kokain dengan pornografi adalah cara memasuki sistem. Otak merespons informasi yang diterima melalui mata lebih cepat ketimbang dari sumber lain. Informasi visual diproses di sistem limbik dalam waktu nanodetik (sepuluh pangkat minus sembilan detik). Inilah sebabnya mengapa kecanduan pornografi menjadi masalah besar. Informasi visual diproses lebih cepat daripada informasi indera yang lain, bahkan respons heroin atau kokain sekalipun jauh lebih lambat. Selain visual, hormon oksitosin juga berperan pada kecanduan pornografi. Oksitosin dapat menciptakan rasa bersatu dan kebersamaan selama berhubungan seksual.[2] Sedangkan menurut nilai-nilai agama Islam bahwa melakukan hubungan seks sebelum menikah secara resmi dengan pasangannya adalah berzina, dan dosa besar, bertentangan dengan unsur agama. Tidak main-main kalau zina itu dalam hukum Islam hukumannya adalah rajam dan pengasingan. Tapi hukum Islam di negara kita tidak memberlakukan itu karena hukum di negara kita adalah Pancasila. Tapi orang-orang terdahulu, orang tua kita dan masyarakat selalu melarang perzinahan dan masyarakat akan mengucilkan mereka, bahkan juga ada yang diarak keliling kampung secara ramai-ramai. Dalam agama Islam, perzinahan adalah sesuatu keburukan dan haram hukumnya. Seiring perkembangan zaman, hampir semua norma-norma itu telah berubah, faktor globalisasi yang ditandai dengan perkembangan arus informasi dan kecanggihan alat informasi yang menggiring hal-hal tabu yang kami maksud yaitu berzina adalah perbuatan yang menjadi tidak tabu lagi dan juga telah menjadi gaya hidup.
Dan salah satu gejala dari akar perzinahan bisa juga dengan beredarnya film-film  porno dan mudah sekali kita mengaksesnya dari internet. Buktinya hampir semua insan pernah melihat film horor, eh bukan, itu hanya istilah jika dipakai nyeletuk saja, yang benar adalah film porno atau blue film. Dan pengaruhnya besar pada kejiwaan kita, ada prosentase tersendiri, jika kita melihat film porno itu, setidaknya, kecil atau besar niat hati pasti ingin melakukannya, karena faktor penasaran, juga karena memang normal sebagai manusia.  Hanya bagaimana manajemen qolbu kita yang telah dibentengi oleh keimanan dan ketaqwaan seseorang yang bisa mencegah hal itu. Termasuk tokoh Harno dalam cerpen (AIPA) ini yang menjadi korban gadget canggih untuk menyimpan gambar atau film porno, dan tokoh Harno adalah tokoh yang digambarkan oleh penulis sebagai contoh tokoh pelaku penyimpangan seksual pada usia anak-anak, tentu saja mewarisi sifat kelabilan pada jiwanya. Sedangkan korban yang lain adalah tokoh protagonis Alia yang harus menanggung beban kejiwaan dari pelaku penyimpangan seks oleh tokoh Harno. Cerpen ini salah satu wakil cerpen yang bisa mewakili kreatifitas ide dalam menyuarakan penyimpangan-penyimpangan seks pada anak-anak di Indonesia yang juga cukup marak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai latar dalam cerpen (AIPA) adalah dunia sekolah pada tingkat dasar dan berada di daerah pedalaman. Hal ini cukup membuktikan bahwa pengaruh gadget canggih yang ada fitur internet-nya dan bisa digunakan untuk mengakses informasi-informasi melalui internet sangatlah berdampak negatif pada anak. Meskipun dampak postifnya juga luar biasa. Dan ini terjadi pada daerah pedalaman yang asalnya jauh dari bising kesibukan kota dan juga budaya-budaya perkotaan. Kini, juga telah berubah menjadi pengaruh kota, karena beberapa faktor lain selain internet juga gaya hidup masyarakat urban yang telah hidup di kota-kota besar akibat pergaulan, pekerjaan dan juga pendidikan.
“Aku ingin menjadi angkasawan,” sebuah celotehan khas anak-anak keluar dari mulut mungil gadis berumur tujuh tahun sambil bergelayut manja di pundakku. Alia nama gadis itu. Gadis yang selalu saja menarik perhatianku dan juga murid paling cerdas di kelas. Ya, aku seorang guru di sebuah SD yang berada di daerah pegunungan dan jauh dari peradaban kota.[3]

Dan ada lagi petikan keceriaan anak-anak desa yang membuat gurunya terhanyut akibat begitu cepatnya pola pikir anak dalam menyerap arus informasi, hingga membuat ketidakpercayaan gurunya atas perkembangan daya khayal anak didik tersebut. Begitu kuat penulis dalam menuliskannya.
“Alia ingin pergi ke angkasa bu, melihat semua planet dengan naik roket, Alia ingin melihat ayah dan emak dari angkasa, Alia juga ingin memasak di sana bu, di angkasa,” hampir saja bolpoin yang ku pegang jatuh mendengar suara riangnya tentang impian-impiannya. Seketika senyumku melebar. Suatu hal yang mewah ketika di daerah terpencil yang berada di tengah hutan dan begitu miskin jaringan internetnya, seorang anak kelas 1 SD bercita-cita menjadi angkasawan, naik roket dan melihat planet. Berbeda sekali dengan teman sebayanya atau bahkan kakak kelasnya yang lebih memilih cita-cita menjadi petani, tentara atau guru sepertiku. Mungkin ia banyak membaca buku di perpustakaan, batinku.[4]
Namun, nilai-nilai kekolotan sebagai ciri nilai tradisi masyarakat pedalaman masih sangat kuat bahkan sangat sulit dihilangkan. Bahkan kekolotan dan cenderung temperamen masyarakatnya juga merupakan bagian penggarapan penulis yang kuat ditonjolkan. Dan ini ditemukan pada tokoh ayah Harno yang dengan tega mengadili anak kecil korban yang bernama Alia, anak polos dan sederhana dengan ide-idenya yang gemas harus di siksa dengan cara orang dewasa hanya sebab ayah Harno bersikap egois tidak menyelesaikan permaslahan dengan akal pikirannya yang sehat. Anak sekecil Alia harus dipaksa untuk mengaku bahwa ia sebagai penyebar fitnah. Hanya karena menuduh anaknya yang bernama Harno tidak melakukan hal senonoh padanya. Sedangkan ayah Alia terpasung oleh hukum adat yang begitu kuat mengikat secara turun temurun,
“Biar saja bu guru, siapapun di desa ini harus dihukum jika mulai berkata bohong dan membuat fitnah. Juga anak kecil itu,” dengan suara yang begitu sakit di telingaku, bapak Harno menunjuk gadis kecil yang menggigil, ku tatap sendu wajah yang semakin pucat itu. Alia, rintihku. Terlihat matanya menatapku penuh harap. Seketika airmataku mengalir.
“Iya benar, hukum adat harus ditegakkan. Biar direndam sampai sore, biar leluhur tidak murka.” Terdengar suara lelaki tua yang berdiri di belakangku.
“Masih kecil sudah menyebar fitnah.”
“Biar kapok.”
“Bikin malu bapak Harno, masak Harno dituduh yang tidak-tidak.”
Silih berganti suara-suara itu menggema memenuhi udara. Terlihat beberapa ibu-ibu yang menggendong anaknya menyeka air matanya. Segera kudekati bapak Alia yang mematung di bawah pohon randu.
“Pak, apa yang bapak lakukan. Tolong Alia. Keluarkan Alia dari sendang.” Dengan tajam kupandang mata bapak Alia. Bapak Alia tetap membisu sedang, emak Alia meraung dengan kaki dan tangan dipegang oleh beberapa warga.
“Pak, tubuh kecil Alia tidak akan kuat menahan dingin. Lihat pak, tubuhnya begitu menggigil dan mulutnya membiru.”
“Jangan ikut campur bu guru, hukum adat tetap harus dilakukan. Meski Alia masih anak-anak. Bikin malu keluarga, menyebar fitnah.” Bapak Alia berkata datar. Sedang Harno menundukkan wajahnya yang mengkilap tertempa sinar matahari.
“Tapi Alia berkata jujur. Sedikitpun tidak berbohong. Lihat Alia, pak. Alia bisa mati kedinginan,” ucapku dengan nada tinggi. 
“Sendang Arum tidak akan memakan anak cucunya sendiri,” suara parau bapak Alia.[5]

Memang cerita ini termasuk cerita yang super tragis dan menyita perasaan yang mencabik-cabik nurani sebagai ciri khas kepenulisannya. Penulis sukses menyapa pembaca namun juga ada nilai kekhawatiran pada cerpen ini sebagai alur pemberontakan penulis atas kasus penyimpangan-penyimpangan seks pada anak-anak yang marak terjadi di sekitar kita. Intinya atas pertanyaan-pertanyaan di atas bahwa apakah cerpen ini nyata atau tidak? Itu tidak penting, dan yang terpenting mari kita bersama-sama membangun budaya positif pada anak dengan mengawasi dan memperhatikan sepenuhnya pada perkembangan anak. Jangan sampai kita kecolongan seperti kisah cerpen diatas. Meskipun itu sulit, seperti berenang dalam kubangan lumpur, namun tidak menutup kemungkinan jika kita berusaha secara nyata dan sungguh-sungguh, insyaAllah hasil baik akan kita capai. Tidak harus menunggu proses penanganan dari pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang harus turun ke lapangan untuk menanganinya, lebih baik diri kita sendiri ikut berupaya dengan keyakinan yang kuat bahwa itu adalah bagian hidup kita yang ada ditengah-tengah kita. Kurang manusiawi jika kita hanya melihat tanpa berbuat apa-apa, kita harus bertindak dengan berbagai macam penyelamatan melalui kegiatan pelatihan-pelatihan yang positif karena itu marabahaya yang suatu saat bisa mengintai kita. Diskusi di Teras itupun selesai ditelan senja yang semakin pekat, dan suara adzan Maghrib bertalu-talu mengajak setiap insan untuk bersyukur dan bersujud kepada-Nya. Akupun melenguh dan sebaiknya?........

Bangilan, 22 Maret 2017

*Penulis anggota komunitas Kali Kening Bangilan.







[1] http://kalikening.blogspot.co.id/2017/03/alia-ingin-pergi-ke-angkasa.html
[2] https://www.facebook.com/permalink.php?id=78371954108&story_fbid=10151933460314109
[3] http://kalikening.blogspot.co.id/2017/03/alia-ingin-pergi-ke-angkasa.html
[4] http://kalikening.blogspot.co.id/2017/03/alia-ingin-pergi-ke-angkasa.html
[5] http://kalikening.blogspot.co.id/2017/03/alia-ingin-pergi-ke-angkasa.html

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda