Ketika Anjing Menggonggong Nama Tuhan
Oleh. Rohmat Sholihin*
http://www.petnyaku.com/health/nyaris-tewas-akibat-distemper-anjing-jalanan-menggerakkan-ekor-memohon-pertolongan/
Jangan marah dulu tuan pembaca yang budiman dengan judul
di atas. Ada cerita yang akan kutuliskan tentang anjing dan Tuhan. Hubungan
makhluk dengan Tuhannya, yang menciptakannya, meski kebenarannya masih belum
teruji tapi adakalanya kita renungkan sebagai tanda bahwa kita semua diuji oleh
kejadian-kejadian yang telah terjadi.
Suatu senja di
musim kemarau panjang, air tak lagi banyak, seluruh daratan hampir mengering,
matahari semakin lahap membakar daun-daun kering yang berserakan dihutan-hutan,
bumi semakin bertambah panas, asap kebakaran hutan juga semakin mengganggu,
pernafasan menjadi sesak dan mata kita juga semakin panas. Semua hewan-hewan
hampir kelaparan, tak jarang bangkai-bangkai hewan penghuni hutan binasa karena
kekurangan air. Tanaman diladang sedikitpun tak panen. Kelaparan dan kelaparan.
Setiap hari adalah kematian. Kematian menjadi salah satu kemenangan bagi jiwa
yang telah putus harapan. Betapa berharganya nilai setetes air dalam situasi
seperti ini. Emas atau sekarung uang takkan mempan untuk menukar setetes air
untuk bertahan hidup. Uang tak lagi berharga untuk membeli apa saja termasuk
harapan dalam hidup. Meski hidup bermuara pada kematian juga. Setidaknya nilai
kehidupan tetaplah berharga bagi setiap makhluk yang masih bernyawa.
Pendeta itu baru
saja mengambil air di danau untuk bersuci, tubuhnya bersih dan mengkilap,
bersinar cerah, secerah kedua matanya yang giat beribadah memuja sang pencipta
alam semesta. Pagi, siang, malam, selalu melakukan ritual-ritual untuk lebih
mendekatkan diri pada sang pencipta. Tak ada lagi kerjaan yang ia lakukan
kecuali hanya untuk terus berdoa dan bermunajat, menyepi dan menyepi dari
keramaian. Ia hanya tinggal seorang diri pada lembah kering dekat danau yang
telah ia jaga setiap hari. Airnya bersih dan selalu cukup untuk kebutuhan
hidupnya. Namun, disekitarnya pohon-pohon banyak yang mengering, tandus dan
mati. Tak tahu sebabnya, hanya ada satu pohon besar yang akarnya seperti ular
raksasa melingkar-lingkar, buahnya lebat, dahan dan daunnya menjulang tinggi ke
angkasa, terkesan pohon itu begitu angkuhnya. Pendeta menggantungkan hidupnya
pada pohon besar itu. Buah-buahnya yang manis menjadi suplai makanan
sehari-hari yang tak pernah habis. Sedangkan di sisi lain, banyak hewan-hewan
dan tumbuhan mati kelaparan karena kekeringan. Pendeta itu tak pernah
mengetahui bagaimana yang terjadi pada keadaan di sekitarnya, ia telah menjadi
lupa dengan kehidupan-kehidupan di sekitarnya, ia telah asyik dengan dunianya,
serasa ia telah hidup di surga. Tiba-tiba mata pendeta itu terbelalak, terkejut
dengan apa yang ia lihat di depannya, pemandangan yang tak biasa ia lihat,
seekor anjing kurus, kering, dekil, dan bau dengan mengendap-endap mendekati
air yang ada pada danau. Lidahnya menjulur-julur dengan nafasnya yang
tersengal-sengal, matanya merah menahan lapar, perutnya yang cekung seperti
setahun tak makan. Dengan ketakutan ia melihat pendeta itu, seakan-akan ada
ratap tangis penderitaan yang telah ia alami selama ini, kekeringan, kelaparan
telah ia hadapi dengan terengah-engah untuk melalui hidup yang serba susah,
teramat susah. Ia memandang sekali lagi, seakan-akan ingin mengucapkan permisi
untuk meminum air pada danau yang terlihat segar dan jernih. Namun, sebelum
lidahnya mencicipi air danau yang jernih, pendeta itu dengan suara keras
setengah membentak mencegahnya.
“Jangan, jangan kau minum
air bersih itu!”
Anjing dekil itu
menghentikan langkahnya.
“Pergi! Danau ini suci dan
airnya hanya untuk orang suci yang benar-benar dekat dengan sang pencipta.”
Anjing itu masih diam dengan
matanya yang sayu penuh harap memandang pendeta. Seakan-akan ia ingin
mengucapkan bahwa ia hanya butuh setetes air.
“Jangan, tubuhmu kotor,
najis, jika kau sentuh air itu, air yang ada di danau juga akan menjadi kotor
serta najis. Sudah pergi saja dari sini, sebelum aku melemparmu dengan batu.”
Anjing itu masih terdiam
penuh belas kasihan. Tubuhnya semakin lelah, mau berdiri dan berjalan
meninggalkan danau serasa tak mampu, tenaganya semakin rapuh. Ia memandang
sekali lagi pendeta itu dengan matanya yang luruh. Ia ingin menangis, namun air
matanya telah kering.
“Pergi!”
Tubuhnya semakin tak kuat.
Tak kuat, dan tak kuat. Ia hanya pasrah. “Tuhan, kenapa kau ciptakan aku dengan
tubuh yang najis begini? Kenapa setiap orang selalu memusuhiku? Bahkan
membunuhku. Sedangkan aku rela menjadi pelayan manusia dengan baik.” Batin
anjing itu dengan hati yang semakin putus asa.
“Sekali lagi pergi! Kenapa
kau masih terdiam di situ? Hai anjing najis, Apa kau tak dengar suaraku?”
Anjing itu hendak berdiri
namun tubuhnya tak kuat, tenaga yang telah ia miliki telah menghilang. Ia mau
menjulurkan lidahnya pada air danau. Namun, ia telah merasakan benda keras
menghantam punggungnya. Ia pun terjungkal dengan luka menganga pada punggungnya.
“Rasakan itu. Pergi kau
anjing busuk! Atau mau aku lempar lagi dengan batu.”
Anjing itu masih pada posisi
terjungkal, tubuhnya masih sangat lemah untuk berdiri dan berjalan, meski ada
kemauan untuk berdiri. Tapi, ia tak kuat, tenaganya telah hilang. Ia hanya
pasrah dengan tubuh lemah tak berdaya. Ia menatap bayangan di depannya yang
semakin tak jelas, kabur dan semakin gelap. Ia ingin bicara tapi percuma saja,
bayangan yang ada di depannya tak kan paham apa yang akan di bicarakan.
“Pergi kau anjing kutu!
Tubuhmu semakin bau, jangan mati di sini, siapa yang rela menguburkan tubuhmu
yang najis dan bau. Pergi! Sebelum aku memukulmu lagi.”
Anjing dekil itu semakin
pasrah, ia tak kuat bangkit apalagi berlari. Tubuhnya semakin menggigil menahan
penderitaan yang telah ia alami, berhari-hari tak ada makanan dan minuman yang
ia rasakan, ia bertahan hidup dari derita kehausan dan kelaparan. Alam ini tak
lagi bersahabat dengannya akibat dari ulah tangan-tangan manusia yang rakus.
Kerusakan-kerusakan telah diciptakan manusia tanpa sedikitpun merasa bersalah.
Gunung, laut, sungai, hutan, bahkan sumber mata air telah di eksploitasi, habis tak tersisa. Anjing itu
telah berhari-hari mencari tempat untuk berteduh dan sumber air untuk minum. Bukit
tandus, gunung, telah ia lewati hanya untuk mencari tempat yang ada airnya. Keluarga
anjing itu satu persatu mengalami tumbang karena tak kuat bertahan. Kesedihan dan
kegusaran hatinya ia luapkan dengan lolongan yang bertalu-talu seperti minta
petunjuk kepada Tuhan. Ia merasa bersyukur masih diberi nikmat hidup meski
dalam kelaparan, ia masih bisa menghirup udara bebas. Ia menatap lagi bayangan
yang semakin garang di depannya. Sekali lagi ia pasrah jika bayangan hitam yang
ada di depannya itu akan membunuhnya. Ia tak kuat bangkit dan berlari lagi,
sedangkan luka di punggungnya semakin menganga. Darah yang tak lagi segar hanya
keluar perlahan membasahi tubuhnya yang kurus dan kering kerontang. Dan ketika
bayangan hitam itu semakin dekat dan terkesan mengayunkan benda tajam untuk
melukai tubuhnya, tiba-tiba ia hanya bisa melolong tinggi dengan suara yang
nyaring, “Auuuuung, auuunnnng, auuuuung,….” Setelah itu tak terdengar lagi.
Pendeta itu bersimpuh di depan tubuh anjing dan menangis,
melolong-lolong seperti anjing. Ia menangis seperti orang yang telah kesurupan
iblis jahanam, ia menyesal atas dosa yang telah ia perbuat pada anjing kurus
dan dekil itu hanya karena ingin menjulurkan lidahnya pada air karena kehausan.
Pikirannya telah di rasuki iblis. Bahwa air danau yang bersih dan jernih tidak
rela di minum oleh anjing karena takut najis, hingga anjing itu binasa oleh
ulahnya. Hatinya semakin menyesal dan melolong-lolong seperti anjing. Pikirannya
masih terhantui oleh anjing dekil dan telinganya masih kuat merekam suara aneh
yang keluar dari mulut anjing sebelum mati, “auuuuung, auuuuung” ternyata suara
itu bukanlah lolongan seperti anjing pada umumnya, suara itu telah berubah
seperti doa anjing pada sang pencipta, “Tuhan izinkan aku kembali pada-Mu dalam
keadaan hati yang rapuh ini, meski tubuh yang tak berguna ini telah berusaha
sekuat tenaga bertahan dalam keadaan lapar maupun dahaga, aku kembali pada-Mu, Tuhan, meski diriku telah kau ciptakan penuh
dengan kotor dan najis, aku ingin kembali menghadap-Mu dalam keadaan suci.” Pendeta
itu masih menangis melolong-lolong lagi, ia hampiri dan ia bopong tubuh anjing
dengan luka di punggung yang menganga, tubuh anjing itu tak lagi bau, dari luka
yang menganga pada punggungnya itu terus mengeluarkan bau wangi yang tak ada habis-habisnya.
Bangilan, 26 Pebruari 2017.
*Penulis anggota Komunitas
Kali Kening Bangilan-Tuban.
Label: cerpen


0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda