Sabtu, 25 Februari 2017

Ketika Anjing Menggonggong Nama Tuhan

Oleh. Rohmat Sholihin*

http://www.petnyaku.com/health/nyaris-tewas-akibat-distemper-anjing-jalanan-menggerakkan-ekor-memohon-pertolongan/


           Jangan marah dulu tuan pembaca yang budiman dengan judul di atas. Ada cerita yang akan kutuliskan tentang anjing dan Tuhan. Hubungan makhluk dengan Tuhannya, yang menciptakannya, meski kebenarannya masih belum teruji tapi adakalanya kita renungkan sebagai tanda bahwa kita semua diuji oleh kejadian-kejadian yang telah terjadi.
Suatu senja di musim kemarau panjang, air tak lagi banyak, seluruh daratan hampir mengering, matahari semakin lahap membakar daun-daun kering yang berserakan dihutan-hutan, bumi semakin bertambah panas, asap kebakaran hutan juga semakin mengganggu, pernafasan menjadi sesak dan mata kita juga semakin panas. Semua hewan-hewan hampir kelaparan, tak jarang bangkai-bangkai hewan penghuni hutan binasa karena kekurangan air. Tanaman diladang sedikitpun tak panen. Kelaparan dan kelaparan. Setiap hari adalah kematian. Kematian menjadi salah satu kemenangan bagi jiwa yang telah putus harapan. Betapa berharganya nilai setetes air dalam situasi seperti ini. Emas atau sekarung uang takkan mempan untuk menukar setetes air untuk bertahan hidup. Uang tak lagi berharga untuk membeli apa saja termasuk harapan dalam hidup. Meski hidup bermuara pada kematian juga. Setidaknya nilai kehidupan tetaplah berharga bagi setiap makhluk yang masih bernyawa.
Pendeta itu baru saja mengambil air di danau untuk bersuci, tubuhnya bersih dan mengkilap, bersinar cerah, secerah kedua matanya yang giat beribadah memuja sang pencipta alam semesta. Pagi, siang, malam, selalu melakukan ritual-ritual untuk lebih mendekatkan diri pada sang pencipta. Tak ada lagi kerjaan yang ia lakukan kecuali hanya untuk terus berdoa dan bermunajat, menyepi dan menyepi dari keramaian. Ia hanya tinggal seorang diri pada lembah kering dekat danau yang telah ia jaga setiap hari. Airnya bersih dan selalu cukup untuk kebutuhan hidupnya. Namun, disekitarnya pohon-pohon banyak yang mengering, tandus dan mati. Tak tahu sebabnya, hanya ada satu pohon besar yang akarnya seperti ular raksasa melingkar-lingkar, buahnya lebat, dahan dan daunnya menjulang tinggi ke angkasa, terkesan pohon itu begitu angkuhnya. Pendeta menggantungkan hidupnya pada pohon besar itu. Buah-buahnya yang manis menjadi suplai makanan sehari-hari yang tak pernah habis. Sedangkan di sisi lain, banyak hewan-hewan dan tumbuhan mati kelaparan karena kekeringan. Pendeta itu tak pernah mengetahui bagaimana yang terjadi pada keadaan di sekitarnya, ia telah menjadi lupa dengan kehidupan-kehidupan di sekitarnya, ia telah asyik dengan dunianya, serasa ia telah hidup di surga. Tiba-tiba mata pendeta itu terbelalak, terkejut dengan apa yang ia lihat di depannya, pemandangan yang tak biasa ia lihat, seekor anjing kurus, kering, dekil, dan bau dengan mengendap-endap mendekati air yang ada pada danau. Lidahnya menjulur-julur dengan nafasnya yang tersengal-sengal, matanya merah menahan lapar, perutnya yang cekung seperti setahun tak makan. Dengan ketakutan ia melihat pendeta itu, seakan-akan ada ratap tangis penderitaan yang telah ia alami selama ini, kekeringan, kelaparan telah ia hadapi dengan terengah-engah untuk melalui hidup yang serba susah, teramat susah. Ia memandang sekali lagi, seakan-akan ingin mengucapkan permisi untuk meminum air pada danau yang terlihat segar dan jernih. Namun, sebelum lidahnya mencicipi air danau yang jernih, pendeta itu dengan suara keras setengah membentak mencegahnya.
“Jangan, jangan kau minum air bersih itu!”
Anjing dekil itu menghentikan langkahnya.
“Pergi! Danau ini suci dan airnya hanya untuk orang suci yang benar-benar dekat dengan sang pencipta.”
Anjing itu masih diam dengan matanya yang sayu penuh harap memandang pendeta. Seakan-akan ia ingin mengucapkan bahwa ia hanya butuh setetes air.
“Jangan, tubuhmu kotor, najis, jika kau sentuh air itu, air yang ada di danau juga akan menjadi kotor serta najis. Sudah pergi saja dari sini, sebelum aku melemparmu dengan batu.”
Anjing itu masih terdiam penuh belas kasihan. Tubuhnya semakin lelah, mau berdiri dan berjalan meninggalkan danau serasa tak mampu, tenaganya semakin rapuh. Ia memandang sekali lagi pendeta itu dengan matanya yang luruh. Ia ingin menangis, namun air matanya telah kering.
“Pergi!”
Tubuhnya semakin tak kuat. Tak kuat, dan tak kuat. Ia hanya pasrah. “Tuhan, kenapa kau ciptakan aku dengan tubuh yang najis begini? Kenapa setiap orang selalu memusuhiku? Bahkan membunuhku. Sedangkan aku rela menjadi pelayan manusia dengan baik.” Batin anjing itu dengan hati yang semakin putus asa.
“Sekali lagi pergi! Kenapa kau masih terdiam di situ? Hai anjing najis, Apa kau tak dengar suaraku?”
Anjing itu hendak berdiri namun tubuhnya tak kuat, tenaga yang telah ia miliki telah menghilang. Ia mau menjulurkan lidahnya pada air danau. Namun, ia telah merasakan benda keras menghantam punggungnya. Ia pun terjungkal dengan luka menganga pada punggungnya.
“Rasakan itu. Pergi kau anjing busuk! Atau mau aku lempar lagi dengan batu.”
Anjing itu masih pada posisi terjungkal, tubuhnya masih sangat lemah untuk berdiri dan berjalan, meski ada kemauan untuk berdiri. Tapi, ia tak kuat, tenaganya telah hilang. Ia hanya pasrah dengan tubuh lemah tak berdaya. Ia menatap bayangan di depannya yang semakin tak jelas, kabur dan semakin gelap. Ia ingin bicara tapi percuma saja, bayangan yang ada di depannya tak kan paham apa yang akan di bicarakan.
“Pergi kau anjing kutu! Tubuhmu semakin bau, jangan mati di sini, siapa yang rela menguburkan tubuhmu yang najis dan bau. Pergi! Sebelum aku memukulmu lagi.”
Anjing dekil itu semakin pasrah, ia tak kuat bangkit apalagi berlari. Tubuhnya semakin menggigil menahan penderitaan yang telah ia alami, berhari-hari tak ada makanan dan minuman yang ia rasakan, ia bertahan hidup dari derita kehausan dan kelaparan. Alam ini tak lagi bersahabat dengannya akibat dari ulah tangan-tangan manusia yang rakus. Kerusakan-kerusakan telah diciptakan manusia tanpa sedikitpun merasa bersalah. Gunung, laut, sungai, hutan, bahkan sumber mata air telah  di eksploitasi, habis tak tersisa. Anjing itu telah berhari-hari mencari tempat untuk berteduh dan sumber air untuk minum. Bukit tandus, gunung, telah ia lewati hanya untuk mencari tempat yang ada airnya. Keluarga anjing itu satu persatu mengalami tumbang karena tak kuat bertahan. Kesedihan dan kegusaran hatinya ia luapkan dengan lolongan yang bertalu-talu seperti minta petunjuk kepada Tuhan. Ia merasa bersyukur masih diberi nikmat hidup meski dalam kelaparan, ia masih bisa menghirup udara bebas. Ia menatap lagi bayangan yang semakin garang di depannya. Sekali lagi ia pasrah jika bayangan hitam yang ada di depannya itu akan membunuhnya. Ia tak kuat bangkit dan berlari lagi, sedangkan luka di punggungnya semakin menganga. Darah yang tak lagi segar hanya keluar perlahan membasahi tubuhnya yang kurus dan kering kerontang. Dan ketika bayangan hitam itu semakin dekat dan terkesan mengayunkan benda tajam untuk melukai tubuhnya, tiba-tiba ia hanya bisa melolong tinggi dengan suara yang nyaring, “Auuuuung, auuunnnng, auuuuung,….” Setelah itu tak terdengar lagi.
            Pendeta itu bersimpuh di depan tubuh anjing dan menangis, melolong-lolong seperti anjing. Ia menangis seperti orang yang telah kesurupan iblis jahanam, ia menyesal atas dosa yang telah ia perbuat pada anjing kurus dan dekil itu hanya karena ingin menjulurkan lidahnya pada air karena kehausan. Pikirannya telah di rasuki iblis. Bahwa air danau yang bersih dan jernih tidak rela di minum oleh anjing karena takut najis, hingga anjing itu binasa oleh ulahnya. Hatinya semakin menyesal dan melolong-lolong seperti anjing. Pikirannya masih terhantui oleh anjing dekil dan telinganya masih kuat merekam suara aneh yang keluar dari mulut anjing sebelum mati, “auuuuung, auuuuung” ternyata suara itu bukanlah lolongan seperti anjing pada umumnya, suara itu telah berubah seperti doa anjing pada sang pencipta, “Tuhan izinkan aku kembali pada-Mu dalam keadaan hati yang rapuh ini, meski tubuh yang tak berguna ini telah berusaha sekuat tenaga bertahan dalam keadaan lapar maupun dahaga, aku kembali pada-Mu,  Tuhan, meski diriku telah kau ciptakan penuh dengan kotor dan najis, aku ingin kembali menghadap-Mu dalam keadaan suci.” Pendeta itu masih menangis melolong-lolong lagi, ia hampiri dan ia bopong tubuh anjing dengan luka di punggung yang menganga, tubuh anjing itu tak lagi bau, dari luka yang menganga pada punggungnya itu terus mengeluarkan bau wangi yang tak ada habis-habisnya.

Bangilan, 26 Pebruari 2017.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.





Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda