“Hikayat Haji Mouxani”
Oleh.
Rohmat S*
http://www.daaruttauhiid.org/artikel/read/artikel-islami/214/ayo-merdeka-dari-kebakhilan.html
Hari
sudah hampir gelap. Sudah seharian Kang Mo bekerja diladang milik Tuan Haji.
Sudah saatnya untuk berkemas-kemas pulang, namun ia menunggu Tuan Haji datang
menghampiri dan menyuruh lekas pulang. Ia tak berani meninggalkan pekerjaan
tanpa ada perintah langsung atau izin secara langsung dari Tuan Haji. Maka Kang
Mo memberanikan diri dihadapan Tuan Haji lalu berkata pelan penuh hormat.
“Aku
harus pergi sekarang tuan?. Kelapa-kelapa dari kebun Tuan sudah aku ambil
semua, tak terkecuali yang ada disebelah sungai pojok itu. Dan sekarang
kelapa-kelapa yang berjumlah sekitar 200 buah sudah aku masukkan pada gudang
Tuan. Dan untuk daun-daunnya juga sudah aku rapikan semuanya. Jika berkenan
sekarang bisa dilihat sendiri Tuan.” Aku jelaskan kerjaku seharian pada Tuan
Haji.
“Hemm...bagus
Mo. Ini upahmu. Besok datang lagi kesini karena masih ada pekerjaan untukmu
yaitu membersihkan ladang yang bersebelahan dengan kebun ini. Itu lihat pohon
pisang yang tumbuh seperti tak terurus dan terkesan liar. Aku ingin besok harus
rapi, tak ada daun-daun yang banyak berserakan dan tercecer, kumpulkan dan
bakar saja daun-daun pisang yang sudah kering itu.” Perintah Tuan Haji.
“Baik
Tuan, besok aku akan datang pagi-pagi ke ladang Tuan. Sekarang saya mohon
permisi.” Seketika tubuh Kang Mo terbungkuk-bungkuk hilang ditelan kelokan
jalan. Hanya seorang diri Tuan Haji, juragan tanah itu berdiri diatas ladangnya
yang sangat luas. Ladang hasil peninggalan kakek buyutnya yang tak habis
dimakan tujuh turunan. Ia melihat ke arah selatan pada hamparan kebun tebu (Saccharum officinarum) miliknya, kurang lebih 7 hektar yang sebentar lagi akan panen.
Tak usah susah-susah mengurusnya, pihak
pabrik akan datang mengurusnya. Tuan Haji
hanya terima bersihnya saja dari uang pelelangan dengan pihak pabrik.
Dengar-dengar ada 500 juta uang masuk ke Tuan Haji. Benar-benar juragan yang
mujur, punya tanah yang luas, produktif. Anak tak ada, hanya bini yang
jumlahnya tiga dalam serumah. Ia pria yang tidak punya anak namun ia telah
adopsi anak dari keponakan salah satu dari istrinya yang ketiga, istri yang
paling ia senangi. Anak adopsi itu perempuan. Cantik rupanya seperti tantenya.
Ia memberi nama Fisa. Tak lebih tak kurang. Singkat. Hanya Fisa, akan tetapi
berkat dorongan si istri ketiga untuk menambahkan imbuhan Na, sehingga jadi
Nafisa. Tuan Haji menyetujuinya tanpa
banyak omelan. Karena ia penurut didepan istri ketiganya, tak berkutik dan tak
berdaya. Istri ketiga ini masih muda, energik, cerdas dan pintar dalam
menghadapi seseorang, kolega bang Haji sendiri, tetangga, pekerja dan para
pelanggan-pelanggan tebu dan palawija milik bang Haji. Semua urusan intern atau
rumah tangga dan perencanaan pembelanjaan dalam kebutuhan sehari-hari istri
ketiga inilah jagonya. Dan semua istri Tuan Haji yang hidup dalam serumah itu
punya peran masing-masing. Istri pertama mengurusi perusahaan batiknya, istri
kedua mengurusi peternakan sapi perah dan produksi susunya. Setiap pagi, mereka
sudah berduel dengan kesibukan masing-masing. Tanpa ada rasa iri karena semua
sudah berjalan dengan semestinya. Tuan Haji sendiri sudah mengatur semua itu
sejak pertama menikahi ketiga perempuan itu. Planning yang bagus dan
terorganisir. Semua berjalan seperti apa yang ia harapkan, ia kehendaki, dan ia
permainkan dengan sesukanya. Benar-benar seorang lelaki yang jantan, hidup
dengan tiga istri yang semuanya cantik tak terperikan.
Dilihat
dari sejarah nenek moyang Tuan Haji
merupakan keturunan dari pedagang Cina muslim yang kawin dengan gadis
pribumi asal Sunda. Wajahnya kecinaan namun kulitnya agak sedikit kecoklatan.
Ibunya Fatima anak juragan kelapa namanya Haji Basran. Bisa diambil kesimpulan
bahwa Tuan Haji sudah kaya sejak dari lahirnya. Keturunan dari kaum pedagang
dan juragan tanah yang sukses. Ada cerita sedikit tentang ayahnya yang pernah
menghalau begal-begal yang ingin merampas barang dagangnya ketika dihutan jati
peteng, anak buah dari komplotan pembegal yang sangat ditakuti oleh seluruh
pedagang yang akan melewati hutan Jati Peteng
yang terkenal angker dan lebat, angker bukan banyak setan atau iblisnya,
namun angker karena menjadi arena markas begal Jayaloka yang dipimpin oleh Marsimo. Terpaksa ia menghadapi
komplotan itu yang jumlahnya sekitar 15 orang yang langsung dipimpin oleh
Marsimo. Sedangkan Khouw Lee Shuo hanya melawan dengan kekuatan 5 orang.
Kekuatan yang tak sebanding, 1 dibanding 3. Akan tetapi meskipun kekuatan tak
sebanding, Khouw dan anggotanya tak gentar. Terpaksa harus melawannya dengan
keberanian yang tinggi serta hati-hati. Khouw dan pengawalnya menyebar membuat
jarak masing-masing 3 meter agar bisa membagi musuhnya, 1 lawan 3. Ternyata
Khouw adalah jagoan silat dengan jurus-jurus kungfunya yang mematikan. Dengan
waktu yang tidak lama 2 lawan Khouw nyungsep dengan mengerang kesakitan dan tak
berani melawan lagi. Sedangkan anak buah Khouw tak kalah hebatnya,
masing-masing juga telah melumpuhkan musuhnya. Ada yang kakinya terkilir,
tangannya tak dapat digerakkan karena tulangnya patah, semua mengerang
kesakitan. Tinggal ketuanya Marsimo yang berhadapan dengan Khouw. Keduanya
sama-sama mengambil sikap kuda-kuda, lalu keluarlah jurus-jurus mematikan dari
keduanya. Saling mengelak dan menyerang mencari titik kelemahan masing-masing.
Setelah beberapa menit waktu berjalan, keduanya mulai ngos-ngosan mengatur
nafas. Lalu bertarung lagi, hingga pada titik kelemahan Marsimo sembrono dengan
memaksakan tendangan serkel atau berputar kearah Khouw yang posisinya lebih
menguntungkan lalu tubuh Khouw disodorkan ke depan sedikit dan dengan tinjunya
diarahkan ke posisi lambung sebelah kanan Marsimo, Marsimo terjuntai tak bangun
lagi karena pingsan. Anak buah Marsimo pada bersujud minta ampun. Komplotan
Marsimo yang garang telah dilumpuhkan oleh Khouw. Dan kabar ini langsung
terdengar seantero kampung dari pelosok ke pelososk hingga nama Khouw tenar
sebagai jagoan yang telah membebaskan seluruh kaum pedagang dari tindakan
kekerasan komplotan Marsimo. Jagoan kungfu yang baik hati serta tidak angkuh.
Setiap hari banyak orang berdatangan untuk silaturrohmi ke rumah Khouw,
terutama kaum pedagang-pedagang kaya. Ada banyak oleh-oleh dan barang yang
telah diberikan kepada Khouw sebagai rasa terima kasih yang teramat besar
karena terbebas dari pemerasan komplotan Marsimo. Sibuk melayani tamu-tamu
akhirnya Khouw mulai enggan berdagang lagi dan semua urusan berdagang
diserahkan kepad anak buahnya yang ikut
bertempur membebaskan komplotan Marsimo. Khouw hanya melayani tamu-tamu yang
banyak meminta saran dan masukan tentang masalah-masalah yang mereka hadapi,
bisa dibilang naik statusnya menjadi
orang pintar. Tak usah repot-repot sibuk ngurusi barang dagangan karena
semua kebutuhannya sudah diserahkan pada anak buahnya. Tak lama hidup Khouw
makin hari makin jaya diudara, uangnya banyak, dan telah menjadi orang yang sukses
dan kaya di kampungnya sampai sekarang, yang saat ini jatuh pada anak lelakinya
yang tunggal bernama Mouxani.
Namun
Mouxani agak sedikit beda dengan ayahnya yang sangat dermawan. Mouxani kurang
bisa dikatakan golongan dermawan, ia lebih asyik dengan menumpuk hartanya yang
jumlahnya miliaran itu. Kekayaannya ditumpuk di bank yang terpercaya. Bunganya
ia nikmati tak kan bakal habis. Ia juga kurang peka terhadap lingkungan
sekitarnya. Egois. Tak pernah ia turun tangan untuk tanggap terhadap
masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat sekitarnya. Acuh tak acuh. Banyak
orang yang sudah tak betah untuk melihat mukanya karena pelitnya selangit.
Namun, ia orang kaya bisa berbuat sesuka hati. Termasuk memerintahku bekerja
diladang ini. Walaupun banyak masyarakat sekitar yang sudah kapok kerja di
tempat Mouxani karena sikapnya yang menjengkelkan itu.
Dulu
sebelum aku kerja di tuan Mouxani, ada kang Sidin yang telah menjadi pekerja
tuan Mouxani. Ia dikeluarkan secara paksa oleh tuan karena ia membawa pulang
pisang setandan dari kebun Tuan Haji, ia tak mengira akan terjadi pemecatan
yang sangat memalukan keluarganya itu. Pisang raja setandan yang telah ia ambil
habis dimakan codot dan ia mengira tuan Mouxani tak kan mau membawanya pulang.
Maka Sidin berani membawanya. Ternyata bencana memalukan itu terjadi juga.
Sidin dilabrak Tuan Mouxani dengan membawa si centeng kampung yang bernama Bang
Said, centeng itu telah dibayar dengan
bayaran lebih mahal daripada harga pisang yang telah dimakan codot itu.
Sidin dihajar tanpa ampun oleh Bang Said dan anak buahnya. Seminggu Sidin tak
keluar rumah karena tubuhnya lebam semua habis kena pukulan dan tendangan Said
dan anak buahnya. Setelah tubuhnya sembuh, Sidin dan anak istrinya tiba-tiba
pergi entah kemana. Rumahnya kosong tak berpenghuni. Terkunci rapat dari dalam.
Sebulan kemudian berita Sidin mulai terdengar bahwa ia dan anak istrinya telah
pergi bertransmigrasi ke pulau Kalimantan. Hijrah ke pulau seberang dengan
membawa dendam pada tuan Mouxani yang pelit. Cerita kepergian Sidin itu
diceritakan secara folklore oleh Dasikem, tetangga rumahnya yang dipercaya oleh Sidin untuk menitipkan
kunci rumahnya, sebelum pergi jauh ke pulau Kalimantan banyak cerita yang
keluar dari mulut Sidin dengan kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam,
hanya karena pisang busuk yang telah dimakan codot harus membawa luka yang
begini pedih. Bahkan Haji Mouxani mengancamnya akan menyetubuhi istrinya si
Ineng yang juga tak kalah cantik dengan istri Haji Mouxani itu. Masalah inilah
yang sangat memberatkan Sidin sekeluarga dan demi masa depan hidupnya yang
lebih aman dan tenteram ia harus memutuskan untuk pergi berhijrah ke pulau
Kalimantan dengan program transmigrasi.
Kini
aku yang telah menggantikan Sidin malang itu untuk bekerja di tuan laknat ini.
Aku juga merasa terbebani oleh desas-desus dari orang-orang sekitar bahwa
nasibku bakal tak ada bedanya dengan Sidin. Salah sedikit bakal dihajar oleh
centengnya Tuan Mouxani yang terkenal raja tega itu. Makanya aku tak mau
membawa apapun kecuali tidak dari pemberiannya sendiri, meskipun tuanku ini tak
pernah memberiku hasil ladangnya kecuali terkadang diberi upah yang tak
seberapa. Selesai upah itu dibayarkan selesai sudah masalahnya. Karena
hubunganku dengan tuan Mouxani tak ubahnya hubungan antara budak dan majikan.
Masalah kerjaan selesai ya sudah, bayar, selesai, tak dibayar, anggap selesai.
Tugas besok biarkan besok. Apa kata tuan, jika besok masih dikehendaki bekerja
itu tandanya masih dibutuhkan. Peralatan kerja yang pinjam dari tuan harus dikembalikan
pada tempat semula dan dalam keadaan bersih. Jika tidak jangan harap dapat
upah. Mengenai konsumsi harus bawa sendiri dari rumah. Kerja di Tuan Haji tak
ada konsumsi.
Kenapa
tuan bisa begitu pelit? Tanyaku dalam hati. Apa sebabnya?, rezeki melimpah, gen
keturunan juga bukan, pernah melarat juga tidak. Apa memang sudah begitu ya.
Apa Allah menguji imannya bagaimana dia menggunakan hartanya yang melimpah itu.
Apa harta itu digunakan untuk menolong atau untuk menyiarkan kebaikan atau
malah sebaliknya digunakan menindas dengan semena-mena. Aku utak-atik sendiri
pertanyaan itu dalam otakku yang ingin mengerti. Aku hubungkan dengan
cerita-cerita sejarah yang biasa dibahas dalam pengajian rutin di masjid
kampung oleh pak Yai Abdul, tentang kisah-kisah orang yang kikir dan sombong.
Aku ingat-ingat kisah-kisah itu mulai
dari Fir’aun, Tsa’labah, Qorun yang sirna kekayaannya dan kesombongannya.
Dizaman sekarang apa Allah masih memberlakukan hukum dan azabnya bagi orang-orang
yang menyimpang. Hanya Allah yang tahu dan menentukan, aku hanya merenung saja
tentang tuan. Apa sudah sama kasusnya Tuan Mouxani dengan Fir’aun, Tsa’labah
maupun Qorun. Tuan Mouxani juga pernah pergi haji ke Baitullah untuk
menyempurnakan Islamnya, paling tidak lebih tahu dan paham tentang agama yang
ia yakini. Berarti masih ada iman dalam hatinya. Dia tidak musyrik. Hanya tak
mau tahu masalah yang ada disekitarnya. Acuh tak acuh dengan tetangga-tetangga
yang membutuhkan bantuannya. Egois. Dia tak sadar jika dia juga butuh orang
lain untuk membantu pekerjaannya. Membersihkan kebunnya yang luas, mengurusi
kebun tebunya, mengurusi ternaknya, dan masih banyak lagi pekerjaan yang dia
lakukan. Jika diselesaikan sendiri takkan selesai. Tubuhnya tak kan kuat.
Karena kekuatan tubuhnya tak sepadan dengan jumlah pekerjaan yang harus
diselesaikannya dengan waktu yang bersamaan. Mana bisa membagi waktunya.
Keterbatasan tenaga manusia yang seharusnya menjadi renungan Haji Mouxani bahwa
manusia hanyalah makhluk yang lemah yang tak bisa berkutik jika Allah mencabut
nyawanya. Jika telah mati selesai sudah episode hidupnya kecuali amal ibadahnya
yang tak kan ada putusnya, yaitu anak sholeh, shodaqoh jariyah dan ilmu yang
bermanfaat. Pikiranku masih menerawang tak karuan meskipun otakku tak nyambung
tetap aku cari penyebab fakta tentang Haji Mouxani ini. Manusia dari planet
mana yang telah terdampar dikampung miskin ini. Nasibnya mujur dengan menjadi
tokoh hartawan yang hampir tak ada pesaingnya yang serasa tak akan ada kematian
esok hari, hidup kekal dengan kebahagiaan yang mutlak. Haji Mouxani orang pada
memanggilnya. Aku hanya bisa berharap semoga Allah selalu menjauhkan mara
bahaya dari perbuatan Haji Mouxani, aku telah masuk ke sarang macan yang setiap
hari bergumul melakukan aumannya berupa perintahnya yang harus aku turuti tanpa
pembantahan sedikitpun. Aku adalah orang yang dipilih oleh Haji Mouxani sendiri
sejak kang Sidin telah pergi. Banyak orang berdoa semoga tak jadi pilihan Haji
Mouxani itu. Mungkin doanya melebihi kapasitas apapun selain hidup sejahtera
dan aman dunia – akhirat. Dengan cekatan aku buka buntalan kantong uang dari
Haji Mouxani, bukan kepingin tahu berapa jumlah isinya tapi apa benar uang itu
asli apa hanya berupa kertas saja. Karena tak hanya sekali uang itu berubah
jadi daun. Bukan takhayul tapi memang dari awal dikasihkan berupa daun, terlalu
takut memandang wajahnya yang garang aku hanya merasakan bahwa pori-pori
telapak tanganku mengatakan bahwa itu bukan uang tapi kasar seperti daun
kering. Aku hanya diam tak berani melawan. Dan melawan berarti celaka siap
menghampiriku. Apalagi lapor pada pihak keamanan bahkan akan runyam dibuatnya.
Karena pihak keamanan telah tunduk oleh sogokan Haji Mouxani yang telah
menjadikan mereka anjing-anjing Tuan Haji yang kapitalistis ini. Semua kebutuhannya
telah disediakan oleh Haji Mouxani hanya untuk menggonggong dan melolong untuk
menakuti rakyat yang telah menjadi budak. Sudah tak ada celah untuk mengadu
kepada siapapun, berani mengadu berani menantang maut. Dalam hati kecil
membenarkan tindakan nekat Kang Sidin yang pergi tanpa pamit oleh siapapun
kecuali pada orang yang telah dipercayainya. Tapi aku tak ada nyali seperti
Kang Sidin, biarkan aku tetap disini menjadi budak oleh Haji Mouxani yang
serakah. Walau harus mati sekalipun aku tak kan meninggalkan kampung halamanku,
tempat aku berteduh dan menuangkan harapan hidup yang serba tak jelas ini.
Jika
dibaca secara nalar dengan memakai otak yang waras tanpa ada rasa takut
terhadap bayang-bayang centeng murahan Haji Mouxani. Peran dan kerakusan serta
keteledoran Haji Mouxani bisa dikalahkan dengan kebersamaan dan persatuan orang
kampung yang telah kecewa dengan ini semua. Haji Mouxani bisa disingkirkan
dengan segera dari kampung ini jika semua lapisan rakyat bersatu. Tak ada yang
mustahil jika semua bersatu, gunung dan lautpun bisa dibikin jika ada rasa
kesatuan. Untuk istrinya biarkan tetap bekerja seperti sedia kala untuk
mengurus semua usahanya. Istrinya tetap orang baik yang secara diam-diam sering
membantu warga yang kekurangan. Namun usahanya itu tak diketahui oleh sang
suami jika diketahui bisa celaka seumur hidup. Tak bisa dibayangkan jika suatu
saat perbuatan istri-istrinya itu diketahui oleh Haji Mouxani, bisa-bisa
digantung, dihukum pices. Karena sudah berkhianat dengan suaminya.
Sedangkan
untuk menyatukan warga kampung ini aku masih bingung dan harus mulai dari mana,
belum mulai saja mungkin sudah diketahui oleh Haji Mouxani karena
antek-anteknya tersebar seantero kampung ini bahkan juga kampung-kampung lain
yang bertetangga dengan kampung ini. Benar-benar sulit bagiku karena belum
pernah mencoba menyatukan aspirasi teman-teman dikampung ini apalagi mengajak
bersatu. Tapi mencoba tak ada salahnya yang salah hanya diri kita yang tidak
berani mencoba, mencoba perlu dibutuhkan keberanian dan kemauan yang kuat untuk
memulai. Dan memulai selalu dibebani oleh pikiran-pikiran yang buruk dan salah
tingkah, pikiran tak bisa tenang karena belum bisa berdamai dengan kebiasaan.
Baiklah aku akan mencoba membangun gerakan dari bawah dan sangat rahasia dengan
mencoba berunding dengan teman-teman yang pernah di sakiti oleh Haji Mouxani
itu. Siasat dan strategi ini harus disusun dengan serapi-rapinya agar jangan
sampai bocor ke telinga banyak orang karena melihat banyaknya pembisik-pembisik
Haji Mouxani.
*****
Mendekati kawan-kawan
seperjuangan
1. Kang Sodri
Langkah-langkah
yang sangat tepat adalah dengan mendekati kawan-kawan lama yang dapat diajak berjuang bersama karena
membentuk gerombolan yang dapat diajak bergerak
haruslah kawan yang loyal terhadap diri kita. Dan siang besok sehabis
membersihkan kebun pisang aku akan berkunjung ke ladangnya Kang Sodri yang
kabarnya telah membuka hutan Jati milik Perum Perhutani dikawasan hutan Jati
Alam I yang letaknya agak jauh dari kampung,
lokasinya berada ditengah hutan dan kemungkinan kecil bocornya rahasia
percakapan sangat kecil. Kang Sodri juga salah satu korban dari Haji Mouxani
karena pernah disiksa bersama centeng-centengnya dikebun tebu, hanya karena ia
lupa tidak membawa bekalnya. Bekal yang telah disiapkan oleh istrinya
tertinggal dirumah sedangkan pada waktu makan siang ia merasa lapar setelah
merapikan kebun tebu milik Tuan Haji dan ia mengambil satu pohon singkong
dipinggir kebun lalu dibakar tanpa sepengetahuan tuan Haji. Asapnya mengepul ke
angkasa dibawa oleh angin dan tak lama Tuan Haji bersama centengnya datang
dikira kebun tebunya telah terbakar. Dengan tanpa basa-basi Tuan Haji menyuruh
para centengnya.
‘Hajar
itu kunyuk busuk, pencuri dan pembuat onar dikebun tebuku.” Jari telunjuknya
diarahkan ke Kang Sodri. Tanpa menunggu lama centeng-centeng itu berlarian
menerjang tubuh kang Sodri yang telah bersujud mohon ampun.
“ampun-ampun
Tuan Haji aku telah lupa tidak membawa bekal, bekalku ketinggalan dirumah.”
Jerit Kang Sodri pada Tuan Haji. Tak lama tubuh yang pasrah bersujud itu pun
terpental terkena tendangan oleh para centeng-centeng Tuan Haji. Hanya
terdengar pekikan sebentar dari mulutnya lalu tubuh Kang Sodri pingsan
terjerambab pada sungai irigasi tebu yang telah ia bersihkan. Tubuhnya penuh
lumpur karena tersungkur. Dan tanpa dosa sedikitpun Tuan Haji berlalu sambil
meludahi Sodri yang pingsan. “cecunguk gembel.” Katanya dan berlalu. Begitulah
nasib Kang Sodri sebagai buruh tani yang mengenger pada seorang tuan kaya yang
sedikitpun tak punya rasa kemanusiaan. Orang sebangsaku yang selalu sial oleh
nasib sosial yang berada pada level proletar. Level bodoh karena hidup serba
kekurangan dan tak punya akal untuk berani berubah untuk mencapai sejahtera.
Jangankan bicara sejahtera, bagi mereka kata sejahtera adalah barang mahal dan
langka yang hanya bisa dikonsumsi oleh kaum borjuis yang punya kesempatan dan
modal besar untuk berperan ganda. Berperan sebagai konsumen dan berperan
sebagai produsen. Sampai kiamatpun akan selalu menuai profit. Karena profit hanya
ada dikepala mereka setiap menit, profit telah menjadi tuhannya karena telah
masuk dalam hatinya sebagai iman.
Kang
Sodri kaget melihatku telah menghampiri gubuknya yang sederhana yang terbuat
dari kayu seadanya, atapnya dari ilalang yang dikeringkan terlebih dahulu.
Setelah kering baru ditata secara teratur dan teliti jangan sampai ketika
memasangnya keliru karena air hujan akan masuk dan membasahi dalamnya. Rumah
sahabatku yang jauh dari pemukiman warga, menyendiri bersama istri dan kedua
anaknya. Ia menyambutku dengan ramah tanpa dibuat-buat, tulus dari hatinya
karena orang kecil seperti kami hanya tahu untuk dididik bersikap jujur dan
teposeliro agar tak punya niat untuk melawan karena tak ada keberanian.
“Apa
kabar Kang! Sudah hampir 20 tahun kita tidak bertemu.” Sapa kang Sodri padaku
sambil menjabat tanganku erat-erat.
“Kabarku
baik kang. Ya kang 20 tahun bukanlah waktu yang sebentar, dua dasawarsa kita
telah berpisah dan tidak pernah saling bercanda dan aku masih seperti yang dulu
yang suka mengobrol ngelantur kesana-kemari tak juntrut akhirnya, he..he..
namun yang berubah dari diriku dan dirimu ternyata kita bertemu sudah bukan
pada masa muda lagi yang tenaga masih sangat energik kita bertemu dengan rambut
yang mulai beruban, tapi tidak apa-apa kang Tuhan masih memberikan kita
kesempatan untuk saling berbagi dan itu harus kita syukuri.”jelasku senang
sekali.
“Hanya
Kang Sidin yang telah pergi jauh ke pulau seberang. Dan entah apakah kita masih
bisa bertemu atau tidak.” Timpal kang Sodri dengan nada setengah putus asa.
Matari
masih bersinar terang yang sinarnya banyak diuraikan oleh dedaunan hutan jati
yang masih lebat sehingga sinarnya tak banyak yang mampu menerobos pohon-pohon
yang ada dihutan. Dan hari makin gelap saja seperti mendung yang ada dalam
hatiku. Karena belum menemukan titik terang terhadap permasalahan yang aku
hadapi yaitu menyingkirkan kebejatan tuan haji. Maka pada kesempatan ini aku
beranikan niatku untuk membeberkan kegundahan hatiku pada kang Sodri. Kang
Sodri langsung mengernyitkan kedua alisnya, mukanya tegang, antara pucat dan
gelisah ia mulai angkat bicara.
“Ini
pekerjaan berat dan penuh resiko. Taktik dan cara harus disusun dengan matang.
Jangan sampai jika niat ini serius akan tetapi terlunta-lunta ditengah jalan
hancurlah kita sendiri. Bagaikan menyuguhkan tubuh kita ke dalam kandang macan,
akan tercabik-cabik, hancur lalu mati sia-sia karena tujuan tak tercapai.”
Katanya agak putus asa. Lalu ia mengambil air putih yang ada di kendi dan
dituangkan ke dalam gelas dan mengajakku minum. Tak lama istri kang Sodri yang
masih kelihatan muda dan segar keluar dari gubuk sambil membawa dua gelas yang
telah terisi kopi hangat dan makanan singkong rebus yang masih mengepul
asapnya. Dari jawaban kang Sodri bisa aku tangkap bahwa pada hati kecilnya ia
setuju akan tetapi perlu untuk mencari cara yang ampuh untuk mengerjakannya.
Aku pun manggut-manggut mengamininya.
“Begini
saja kang, masalah tuan haji mari kita bahas secara detail dengan melihat
perkembangan dan terus mencari titik lemahnya, teman-teman yang pernah menjadi
korban kita satukan untuk mencari kekuatan, orang-orang kampung yang tidak
terlalu mengurusi juga kita pengaruhi dengan menebar kebencian pada tuan haji
yang ulahnya selalu bikin ribut. Aku kira orang kampung akan bisa melihat
kenyataan itu. Melihat kekuatan lawan juga sangat besar, centeng-centengnya
yang jumlahnya banyak dan mereka dibayar oleh tuan haji sehingga telah menjadi
pekerjaan sebagai kaki tangan tuan haji itu. Yang sekali tunjuk perintah tuan
haji mereka langsung bergerak.” Jelasku untuk meyakinkan pada kang Sodri.
“Sebaiknya
memang harus begitu kang. Kita satukan dulu orang-orang yang telah menjadi
korban tuan haji, kita buat kelompok terselubung, rahasia, tapi terus bergerak
dan berhubungan antara satu dengan yang lain. Sehingga sangat solid dalam
pergerakan nanti.” Pertegas kang Sodri padaku.
“Baik
kang, biar aku sendiri yang mencoba menghubungi teman-teman yang lain yang bisa
diajak kerja sama. Dan nanti kita akan terus mencoba bertemu dan berkomunikasi
untuk membangun siasat yang jitu untuk hancurkan tuan haji. Aku akan
menghubungi kang Talib, kang yono, kang Kono dan mbah Yon dalam waktu dekat ini
kang.” Jelasku pada kang Sodri yang telah melahab ubi rebus yang masih
mengepulkan asap itu. Menyeruput kopi lalu menghisap rokok. Tak lama istrinya
keluar juga ikut ngobrol namun obrolannya sudah beralih seputar pengalaman
membuat ladang ditengah hutan yang tak punya tetangga. Obrolan tentang tuan
haji harus dirahasiakan dulu supaya tetap tersimpan dan tidak ada yang tahu
meskipun itu orang dekat, istri sendiri.
Lalu,
Istriya menceritakan kisah yang amat dramatis yaitu ketika pertama kali singgah
dihutan jati alam I untuk membuat tempat tinggal sambil membuka ladang untuk
tanam jagung dan tanaman-tanaman yang lain yang bisa ditanam untuk diambil
hasilnya dalam waktu dekat.
“Hati ingin menangis, menjerit, dan marah
namun pada siapa luapan emosi harus diluapkan. Akhirnya pada kerja tubuhlah
rasa marah harus diluapkan yaitu dengan bekerja keras membuka ladang semak yang
penuh resiko, resiko dari gigitan ular berbisa, sengatan kelabang dan
kalajengking, belum lagi kemarahan dari babi hutan yang mengandalkan
serudukannya. Beberapa hari harus hidup dalam ketegangan dan kekhawatiran yang
sangat besar tapi setelah beberapa bulan hati kami perlahan-lahan mampu
menguasainya. Setelah itu hasil tanam kami seperti singkong, ubi jalar, jagung,
pisang, mulai membuahkan hasil yang melimpah sehingga kami merasa bersyukur dan
mampu menghilangkan ketakutan akan kelaparan dan kematian.” Ceritanya padaku dengan
ekspresi bangga.
“Ya,
begitulah hidup yang sejati mbok, tak luput dari resiko yang tinggi terhadap
kekhawatiran dan tantangan yang harus dilawan dengan keberanian untuk mengambil
keputusan yang terbaik. Dan bagiku yang paling sulit adalah mengambil keputusan
yang terbaik dengan keberanian.” Jawabku pelan. Dan kulihat mbok hanya senyum
mengiyakan.
Sedangkan
hari terus beranjak semakin sore dan sore. Lalu gelap. Namun, gubuk sederhana
ini masih terus memberikan kehangatan dan kedamaian yang memberikan kesimpulan
bahwa penghuninya adalah orang-orang yang damai dan bersahabat. Aku putuskan
untuk bermalam saja dan esok pagi-pagi buta aku harus segera balik dan harus
sampai diladang milik tuan haji untuk membersihkan dan merapikan pohon pisang.
Aku
membaur dengan keluarga sederhana ini dengan perasaan senang. Suasana makan
malam yang tak pernah kulupakan sepanjang hidup, makan malam dengan keluarga
yang tak pernah memikirkan padatnya kota dan hiruk pikuk kehidupan yang serba
tak jelas ini. Masa bodoh dengan itu semua. Keluarga ini punya kehidupan
sendiri yang tak mau mengganggu urusan orang lain dan sebaliknya keluarga ini
juga tak mau diganggu, titik, pada kesimpulanku begitu. Maka berbuatlah sebaik
mungkin dan seramah mungkin dengan orang yang hidupnya telah menyingkir dari
tengah-tengah masyarakatnya yang telah mencibirkannya. Karena yang ia butuhkan
bukan uang atau jabatan tapi ia hanya minta rasa empati atas kekurangannya
maupun kelebihannya.
Diberanda
gubuk obrolan masih berlanjut, sedang anak dan bini kang Sodri berada didalam
gubuk. Angin malam menusuk jantung, dingin sekali. Tak kubiarkan tubuhku kaku
kedinginan, kututupi tubuhku dengan sarung. Kang Sodri asyik memainkan asap
rokok. Rokok mau habis baru idenya keluar lagi. ia membuka percakapan dengan cerdas.
Cerdas karena sesuai dengan perasaan hatiku.
“Waktu
aku dilabrak tuan haji, dunia seperti berhenti berputar. Tubuhku gemetar dan
nyaliku menciut. Yang aku takuti bukan tuan hajinya tapi mulutnya yang salah
ucap, untung dia mengucapkan hajar. Jika dia mengucapkan bunuh mungkin aku
sudah lama mati. Centeng-centeng itu begitu penurut sama perintah tuan haji.
Over penurut seperti simbiosis antara binatang dengan tuannya. Akulah korban
yang kesekian kali, bisa juga yang keduapuluh kali atau yang ke berapa. Karena
hampir tiap hari selalu ada penyiksaan bagi budak yang membangkang. Untung masih diberi hidup oleh sang pencipta
yang maha kasih. Sehingga aku masih hidup. Berapa budak-budak yang telah
dibunuh oleh tuan haji. Yang kematiannya dibuat seperti kecelakaan. Gantung
diri, tercebur sungai, tercebur jurang, gak ada yang wajar.” Lalu sambil
melirik ke arahku dia bicara lagi.
“Tapi
kamu tidak usah takut kang Mo. Pasrahkan saja pada yang maha kasih. Hidupmu
akan lebih tenang. Biarkan saja tuan haji bicara apa saja asal kamu jangan
sampai membantah, mangambil barangnya, dan seakan-akan semua berjalan seperti
biasa.” Nasehat kang Sodri padaku seakan-akan ia tahu apa yang kurasakan,
karena ia juga pernah menjadi budak tuan haji. Dan semua orang kampung hampir
telah menjadi budak tuan haji.
“Iya
kang. Tapi aku harus tetap melawan dengan cara diam-diam. Bukankah melawan
adalah kodrat sikap manusia. Bahkan juga binatang sekalipun. Terjepit dan sakit
dia akan melawan dengan sebatas kemampuannya. Entah dengan gigitan, sengatan,
lilitan, cakaran, terkaman, cekikan, dan masih banyak lagi cara-cara melawan.
Intinya ia terbebas dari sakit atau penderitaan itu. Terkadang orang akan
memilih mati saja dari pada dijajah asal jangan bunuh diri karena putus asa.”
Aku berikan argumentasi tentang perlawanan kepada kang Sodri.
“Boleh
manusia itu melawan apa saja tapi ia tak kan mampu melawan dirinya sendiri
karena manusia punya nafsu dan biangnya lupa ia akan terlena lalu jatuh dan
selesai sudah ceritanya. Aku kira tuan Haji berakhir begitu. Sekuat-kuatnya
manusia pasti akan ada lemahnya. Sebesar imperium Romawi jatuh juga, sehebat
raja Firaun kalah juga.” balas kang Sodri.
Mereka
telah jauh diskusi tentang rencana penjatuhan tuan haji yang semena-mena
terhadap rakyat tertindas atau miskin, rakyat yang membutuhkan uluran tangan
berupa mata pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan untuk kesejahteraan dihari
depannya. Mereka juga membutuhkan kenyamanan dalam hidup yang sudah serba sulit
karena kebutuhan-kebutuhan untuk mereka memang sangat sulit. Mereka sangat
sedih dan gusar, kecewa jika harus untuk meraih hak yang telah menuntaskan
kewajibannya harus tersekat oleh kelakuan yang curang dari orang yang telah
mereka anggap dewa kehidupan karena mempunyai lapangan kerja yang luas dan tak
ada habisnya. Mereka bekerja menjadi kuli yang membantu proses pengelolaan
kekayaannya namun tak mendapatkan haknya sesuai apa yang telah mereka kerjakan.
Mereka jarang dibayar. Sungguh dzolim tuan haji yang pernah menunaikan ibadah
Islam yang sempurna yaitu pergi beribadah ditanah suci Makkah. Tapi perilakunya
sehari-hari sebagai cerminan watak dan iman tidak juga tampak penuh kebaikan
namun sebaliknya hidupnya serba masygul
dan suka menindas orang-orang yang tak berdaya.
Memang
keadilan harus selalu ditegakkan, keadilan tidak datang dengan mudah tanpa
perjuangan. Apa yang benar harus selalu dijunjung yang salah diluruskan. Begitu
seharusnya filosofis hidup ini jangan asal menebang tanpa kemanusiaan yang
membuat banyak orang menjadi sengsara. Bagaimanapun juga nenyengsarakan banyak
orang adalah perbuatan yang tidak dibenarkan ajaran agama apapun. Jika ada
agama yang membenarkan itu berarti bukan agama tapi aliran yang sesat. Karena
semua agama pada dasarnya mencintai kedamaian dan cinta kasih antar bangsa-bangsa
dijagat ini. Bukan saling memusuhi yang hanya dengan permasalahan sepele yaitu
untuk mencari kesempurnaan saja. Mengaku bahwa ini adalah agama yang paling
sempurna dan bukan agama yang lain. Padahal banyak kelemahan yang hinggap
secara tak sadar pada banyak umatnya.
Dan
malam semakin larut saja meninggalkan jejak-jejak fenomena alam. Kedua manusia
yang hatinya tertindas itupun akhirnya tidur juga. Tak ada lagi
celoteh-celoteh, asap rokok. Hanya desahan nafas tidur mereka yang nyenyak.
Senyenyak jiwanya yang telah sedikit bebas dari tekanan tuan Haji. Dan tak
sia-sia usaha kang Mo mendekati kang Sodri untuk diajak bergerak menyingkirkan
tuan Haji yang serakah.
*******
Langkah
berikutnya yang harus ditempuh oleh Kang Mo untuk menghubungi Kang Wito. Orang
yang pernah juga disiksa oleh tuan Haji dengan cara diseret dengan kudanya
dengan diarak keliling desa. Hanya dengan permasalahan yang sangat kecil yaitu
dengan masuk ke rumah tuan Haji untuk memberikan beberapa tandan pisang tanpa
permisi karena istri dan tuan Haji tak ada dirumah. Istri dan tuan Haji sedang
melakukan kunjungan peternakan ayam petelur yang ada dikampung sebelah.
Sehingga rumahnya kosong karena istrinya telah sibuk bekerja ditempatnya
masing-masing. Tuan Haji yang pelit iru mengira bahwa kang Wito masuk ke rumah
tanpa ada izin telah mengambil barang-barang milik tuan Haji. Ketika di cek
ternyata tak ada barang satupun telah hilang. Namun nhasil dari pengecekan itu
tidak cukup memberikan posisi aman pada kang Wito dari tuduhan tuan Haji yang
raja tega.
Tuan
Haji tetap saja marah dan marahnya semakin menghebat saja. Para centengnya
dikerahkan untuk mengambil kang Wito dimanapun berada untuk dihadapkan pada
tuan Haji. Detik itu juga kang Wito dibawa ke rumah tuan Haji. Dan tak lama
tuan Haji memerintahkan kepada para centengnya untuk diseret dengan kuda tuan
Haji. Tubuh kang Wito dedel duel atau
hancur lebur, tubuhnya lebam dan banyak luka yang mengeluarkan darah. Kang Wito
pingsan. Setelah sadar fisik kang Wito semakin lemah dan membutuhkan perawatan
yang intensif dari pihak keluarganya. Seharusnya dibawa ke rumah sakit tapi
pihak keluarganya tak ada uang akhirnya dirawat dirumah dengan segenap hati
yang sangat marah. Marah saja tak cukup tapi apa artinya marah jika tak berani
melawan, marah yang terpendam dalam hati hanya akan membuat hidup semakin
pendek saja. Mau tak mau marah itu harus dialihkan untuk memikirkan hal yang
lain sehingga marah itu akan mengalir
seperti air yang dapat menghanyutkan apa saja yang dapat dihanyutkan dan
marahpun harus ikut mengalir juga. Kurang lebih setahun Kang Wito tak bisa
bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Keluarganya kini harus prihatin,
Kang Wito merupakan nahkoda kapal dalam keluarga yang harus lihai membawa
kemanapun kapal akan berlabuh, kini ia sakit dan nahkoda harus segera untuk
diganti jika tak segera diganti kapal akan menemui mara bahaya, bisa menabrak
karang, bisa tertelan badai, dan juga bisa kehabisan bahan bakar ditengah
samudera lepas. Dengan cekatan istrinya mengganti peran Kang Wito sebagai
nahkoda sementara sambil merawat Kang Wito agar mampu sembuh dan bekerja
seperti biasa. Yang sangat memprihatinkan kenapa pihak keamanan tak segera
mengambil tindakan atas kejadian penganiyayaan terhadap diri Kang Wito. Ada
kejanggalan memang. Pihak keamanan selalu cuci tangan atas kejadian itu.
Sebagai alasan bahwa tak ada laporan atas kejadian itu dari pihak keluarga
korban. Dan pihak keamanan menganggap bahwa permasalahan sudah selesai dengan
cara kekeluargaan karena pihak Kang Wito tak berani lapor. Berani melapor besok
keluarga Kang Wito dijamin akan mati semua. Ancaman Tuan Haji selalu begitu.
Sehingga pihak keluarga Kang Wito diam tak berani berkutik. Dan Tuan Haji
segera melancarkan kelicikannya dengan membuat perkara jadi berubah dengan
mengkambing hitamkan Kang Wito yaitu telah mengakui mencuri barang milik Tuan
Haji. Tuan Haji pun berlagak sebagai orang yang penuh dengan hati bijak telah mengikhlaskan dan memaafkan atas
perkara itu. Benar-benar badut yang licik penuh trik. Dan masalah dengan aparat
keamanan pun selesai. Tuan Haji tersenyum puas penuh kemenangan. Hartanya tak
sedikitpun berkurang. Kang Wito tetap saja kalah. Tak berkutik sedikitpun.
Biaya untuk pemulihan kesehatan dirinya dia sendiri yang tanggung. Tak ada ganti
rugi atau pesangon. Semua sudah jelas dan gamblang bahwa masalah ditutup secara
kekeluargaan dan tak ada biaya untuk ganti rugi sebagai ganti pengobatan dari
Tuan Haji untuk Kang Wito.
Dengan
hasil begitu Kang Wito menjalani penderitaan yang sangat berat tanpa pengobatan
di rumah sakit. Ia mendapat pengobatan dari tabib yang baik hati secara gratis
karena kasihan melihat kondisi Kang Wito. Terapi-terapi penyembuhan terus
dilakukan dengan kesabaran dan ketelatenan dari diri Kang Wito, perlahan-lahan
kondisinya mulai membuahkan hasil, semangat yang besar untuk sembuh mendorong
Kang Wito semakin membaik. Dan kurang lebih enam bulan Kang Wito mulai
beraktifitas kecil-kecilan untuk melatih naluri kerja dalam tubuhnya.
Pelan-pelan tubuhnya dilatih untuk mengenali keadaan sekitar. Kakinya yang
patah dilatih lagi terapi berjalan, tangannya ia gerak-gerakkan lagi untuk
melatih ketangkasan, otaknya yang trauma dilatih lagi untuk belajar menerima,
hatinya yang marah dilatih lagi untuk belajar mengendalikannya. Walau pertama
sangat sulit tapi harus bisa untuk bangkit dari keterpurukannya. Pelan-pelan
dengan kesabaran, hidup memang selalu harus pandai bersabar jika ingin menang
melawan diri sendiri. Tak ada kesabaran dalam hati punahlah harapan untuk bisa
menguasai diri sendiri, apa yang terjadi? Perlahan-lahan diri ini akan terkoyak
termainkan oleh nafsu dan binasa.
Dengan
perjuangan yang berat Kang Wito mampu mengalahkan rasa sakit yang ada dalam
dirinya. Setelah sekian lama diterapi oleh sang tabib dirinya dinyatakan sembuh
dari penderitaan yang dideritanya. Kang Wito tak kuasa menahan haru, sedih,
bahagia, semua emosinya tercampur aduk, tak henti-hentinya ia berterima kasih
kepada sang tabib. Ia ingin apa saja yang ia punya ditumpahkan kepada sang
tabib sebagai rasa berterima kasih. Namun, sang tabib cukup hanya tersenyum dan
berkata lirih : “Hidup memang sudah berat kang, jangan kau beratkan lagi dengan
beban-beban yang terus membebani tulang punggungmu, berterima kasihlah kepada
sang pencipta alam semesta ini yang telah memberikan kesembuhan kepadamu Kang,
tak ada kesembuhan yang datang kecuali atas izin-Nya dan manusia hanyalah
sebagai perantaranya saja. Maka kita harus membuang sifat sombong.” Setelah
berkata dengan hati yang tenang dan mantab sang tabib berlalu meninggalkan Kang
Sodri sendirian. Dan bayangan tubuh mulianya hilang ditelan tikungan jalan
berkelok.
Kang
Wito masih saja merenung dan tak bisa berkata-kata, tubuhnya bagaikan patung
pahatan sang tabib yang telah disulap menjadi hasil karya seni yang bagus
kembali setelah tubuhnya tak mampu berbuat apa-apa bagaikan bahan baku yang
hampir menjadi sampah saja dan hilang dibuang ke sungai yang telah penuh dengan
sampah-sampah busuk yang beresiko mampat airnya, tak bisa mengalir. Dari sampah
busuk yang ada disungai itu sang tabib muncul membawanya sebagai orang
penyelamat, ia hadir sebagai pahlawan bagi dirinya, bagi keluarganya. Sehingga
ia beserta dengan keluarganya mampu hadir kembali menyapa hari yang penuh harap
lagi.
Pasca
kesembuhan Kang Wito mencari tempat yang aman dengan cara hijrah atau pindah
dari kampungnya. Ia menuju ke selatan sejauh mungkin, menuju hutan dikaki
gunung. Ia menjadi orang buangan yang telah berani hidup terasing dari
kebiasaannya. Apa boleh buat demi keselamatan keluarganya. Hijrah adalah
pilihan yang tepat bagi seseorang jika hidupnya semua terancam.
Aku
ingin menjenguknya sekarang, setelah sekian lama hidupnya tak ada kabar lagi di
sekitar kampung laknat ini. Dan Tuan Haji sudah menganggapnya mampus dari muka
bumi ini. Bumi manusia yang banyak masalah dari manusia itu sendiri, masalah
yang terus berputar membentuk siklus mata rantai masalah terus berputar di bumi
ini. Dan manusia tak sadar dengan kesalahan-kesalahan yang terus terulang
beberapa kali masih saja terulang lagi. kesalahan-kesalahan itulah yang akan
membunuhmu Tuan haji. Maka aku beranikan percakapan yang sangat kaku setelah
kerjaan aku selesaikan semuanya. “Maaf Tuan Haji, bolehkah aku minta waktu izin
untuk beberapa hari demi keperluan untuk menjenguk sanak saudara yang sedang
sekarat?.” Kata-kataku keluar dengan gemetar.
“Setengah hari saja tak boleh lebih dari itu.”
Jawabnya singkat.
Aku
mengangguk saja dan tiada sedikitpun membantah sebagai tanda setuju. Aku
langsung meninggalkan Tuan Haji sendiri di kebun tebunya yang luas. Dan tak
lama tubuhku hilang ditelan tarian pohon tebu yang gemulai oleh angin
sepoi-sepoi. Aku masih membatin tentang waktu setengah hari dari Tuan Haji.
Betapa sedikitnya waktu izin itu. Tak apalah aku harus terus melangkah saja
dengan tekad baja bahwa rencanaku harus terwujud. Meski sebentar bertemu dengan
Kang Wito aku harus menceritakan dengan cepat dan tepat langsung pada topiknya
yaitu tentang konspirasi penyingkiran Tuan Haji dari muka bumi. Lebih kasarnya
membunuh dengan halus, dengan cara dan terencana. Karena harus dengan cara
itulah aku bisa lega dan dendamku bisa terwujud. Aku tetap putuskan untuk pergi
berkunjung ke rumah Kang Wito hari ini juga. Kapan lagi jika bukan sekarang,
aku tak punya banyak waktu. Waktuku berkunjung hanya setengah hari sampai
besok, dan aku sudah harus bekerja kembali seperti biasa di kebun Tuan Haji.
Bekal hari ini yang ku pakai tak banyak paling sebungkus nasi dan sekantong
tembakau yang telah aku keringkan, Istriku yang setia dirumah akan menyiapkan
semuanya. Dan hari menjelang petang aku harus berjalan ke hutan menuju ke arah
selatan di kaki gunung. Aku sadar betapa resikonya menempuh perjalanan ke hutan
ke arah selatan dalam keadaan malam dan sendirian. Penerangan pun mulai aku
atur, dengan cara yang sederhana mengambil sebatang daun pepaya/kates (jawa)
lalu batang yang bolong aku isi dengan minyak tanah dan aku sumbat dengan kain
yang sudah tak terpakai atau kain gombal.
Malam itu pun aku berangkat. Rasa
takut harus aku buang jauh, rasa lelah biarkan menjadi bagian dari diriku yang
telah terobsesi besar, rasa lelah akan sirna dengan sendirinya terhapus oleh
semangat yang menyala-nyala, rasa ragu harus aku enyahkan dari pikiranku,
pikiranku harus terfokus pada satu harapan menjatuhkan ketiranian Tuan Haji.
Dan salah satu cara itu adalah berkonspirasii dengan orang-orang yang disakiti.
Tak terasa jalanku telah menempuh hampir masuk separuh hutan yang gelap,
melewati jalan tikus yang agak sedikit licin sedangkan lampu minyak dari
pelepah pepaya masih sangat membantu untuk menerangi, remang-remang jalan masih
bisa aku lihat, dan mudah-mudahan tak terjadi gangguan di jalan yang sangat
sepi ini. Udara dingin mulai kurasakan, lapar juga mulai mengganggu, namun
belum ada tempat beristirahat yang nyaman sesuai hati, masih sangat ingin terus
melanjutkan perjalanan ingin cepat sampai karena waktu yang sangat sempit. Dan
malam ini aku harus segera bertemu dan berbincang dengan Kang Wito. Esok
harinya aku sudah harus berada di kebun Tuan Haji lagi untuk melanjutkan pekerjaanku.
Baru sampai pada kelokan jalan tikus
yang rumit tubuhku terasa semakin ringan, melayang, seperti tak punya massa.
Mungkin ini pertanda energi dalam tubuhku sudah sangat menipis. Dan jika aku
paksa terus berjalan kemungkinan besar tubuhku tak kan pernah sampai ke rumah
kang Wito, tubuhku bisa terkulai lemas dan pingsan, bahkan tak kan bisa bangun
selamanya alias mati akibat dehidrasi, atau juga dimangsa sekawanan anjing
liar. Mampus lah aku!. Maka aku putuskan segera untuk mencari tempat yang nyaman
dibawah pohon sekalian istirahat sejenak.
Sampailah aku di bawah pohon Kluwek (Pangium edule Reinw ex Blume dari suku Achariaceae), pohon setengah liar
yang menjulang tinggi yang khasiat bijinya dapat diolah untuk menjadi bumbu
masakan rawon. Pohon ini mempunyai ukuran besar dan menjulang tinggi. Sangat
cocok aku beristirahat dibawahnya yang sinar rembulan dapat menerangi
sekitarku. Aku keluarkan perbekalan sederhana yang telah disiapkan istriku
dirumah. Ada nasi dengan sambel terasi dan tempe bacem sebagai laukku, air
putih satu botol dan kopi dalam bungkusan plastik, tembakau juga aku bawa.
Tanpa basa-basi aku mulai makan dengan lahapnya tak perduli dengan kepala yang
masih agak pening akibat terlalu lapar. Perut kenyang rasa pusing akan hilang
dan tubuh akan kembali kuat. Sekejap nasi yang dibungkus didaun pisang itu
habis ku makan. Air putih yang dibotol juga tinggal separo, aku duduk sebentar
mengambil nafas, aku luruskan kaki ini supaya tak terlalu tegang, kopi aku
teguk, rokokpun aku nyalakan. Asapnya mengepul mengitari udara disekitarku yang
dingin. Nyamuk mulai beterbangan terusik dengan asap rokok, kulihat banyak biji
kluwek yang berserakan dan tak ada yang mengambilnya, maklum tempatnya dihutan
dan orang enggan mengambilnya. Aku ambil beberapa biji yang kelihatannya masih
segar, segar karena kulihat baru saja jatuh dan bijinya berserakan. Ku masukkan
ke dalam kantong perbekalan yang telah kosong. Akupun segera untuk melanjutkan
perjalanan.
Setelah terkatung-katung oleh
pekatnya malam di tengah hutan aku mulai agak sedikit lega, pandangan mataku
agak sedikit tenang dan konsentrasiku mulai sedikit mengendor oleh kepuasan
hati yang telah melewati mara bahaya. Aku melewati pematang kebun yang penuh
tanaman jagung (Zea mays
L.), ketela pohon (Manihot utilissima), dan pisang (Musa paradisiaca). Hatiku
mengatakan bahwa perjalananku akan segera sampai ditujuan karena kulihat ada
tanaman-tanaman yang telah sengaja ditanam oleh tangan manusia yang terampil,
siapa lagi kalau bukan Kang Wito. Alhamdulillah benar juga firasatku. Ditengah
kebun disekitar pohon mangga (Mangivera
indica) terlihat rumah sederhana yang dalamnya masih memancarkan cahaya
yang redup. Seakan cahaya itu dari lampu teplok[1]
menandakan ada kehidupan didalamnya. Hatiku berseri-seri menyaksikan
pemandangan itu, langkahku semakin aku percepat bertanda tak sabar untuk segera
bertemu dengan penghuninya. Walau hati sedikit penasaran namun aku sungguh
yakin jika itu tempat kang Wito mengasingkan diri dari kebejatan Tuan Haji. Ia
mencari tempat yang nyaman dan damai meskipun ia harus hidup sendiri, membentuk
komunitas sendiri dengan istri, anak, hewan piaraan dan tumbuh-tumbuhan. Ia
bisa menghirup udara dengan bebasnya, ia bisa bercocok tanam dengan tenangnya,
ia bisa memandikan hewan piaraannya dengan senyuman, ia bisa bercengkeraman
hangat dengan keluarganya. Walau harus terasing dari masyarakatnya. Kang Wito
salah satu dari orang yang dianiaya oleh Tuan Haji. Simbol perlawanan pada
kesewenang-wenangan.
Aku dah sampai persis didepan
rumahnya. Rumah sederhana yang beratap rumput ilalang (Imperata cylindrica),
dan daun kelapa (Cocos
nucifera), meski sangat sederhana namun terkesan
damai dan harmonis. Aku tiba hari sudah larut malam, maka aku beranikan untuk
tetap mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
“Assalamualaikum,
Assalamualaikum, Assalamualaikum.” Baru yang ke tiga kali aku mendengar ucapan
dari dalam rumah. Dan benar dugaanku suara itu tak asing ditelingaku, suara itu
suara Kang Wito.
“Waalaikum
salam.”
Pintu
dibuka perlahan-lahan, dan sosok yang telah ku kenal telah membukakan pintu.
“Kang
Wito”
“Kang
Mo”
Mereka
langsung berpelukan erat sekali seakan tek terlepas kembali. Dua sahabat yang
telah lama tak jumpa. Mereka dipisahkan oleh keadaan yang menyakitkan. Tuan
Haji yang telah merubah persahabatan mereka jadi terpisah. Namun sekarang
mereka dapat bertemu kembali, menyatukan misi kekuatan yang akan dibangun
kembali untuk menjungkal Tuan Haji. Bahkan akan menghabisinya dengan alasan
telah berbuat semena-mena terhadap orang yang lemah.
“Baik
Kang Wito mungkin waktuku tak bisa lama-lama untuk bernostalgia. Aku punya misi
akan menghabisi Tuan Haji, mohon dukungannya dan kalau bisa memikirkan cara
yang tebaik.”
“Ah
Kang Mo, besar sekali nyalimu hingga berani mau membunuh Tuan Haji, apa tak
salah dengar aku Kang Mo?, iya kang aku akan membantumu secara langsung dengan
cara yang halus. Halus bukan dengan cara santet atau teluh tapi aku bisa
meracik racun yang mematikan dari warisan sang tabib yang telah menolongku
berbulan-bulan dari penyiksaan Tuan Haji yang akan membuatku mati.”
Tak
lama, istri Kang Wito keluar sambil membawa dua cangkir kopi dengan jagung
rebus yang masih mengepulkan asapnya.
“Silahkan
Kang Mo dinikmati kopi dan jagung rebusnya. Mumpung masih hangat.” Sambut Mbok
Wito ramah.
“Iya
mbok, pasti akan kuhabiskan semuanya. Lagian aku ke sini sangat jauh dan
malam-malam begini perutku ini juga lapar tentunya.” Jawabku pelan sambil
senyum.
“Aku
ada usul Kang Mo.” Kang Wito tiba-tiba membisikkan kata-kata ke telingaku
dengan bisikan,”lebih baik Tuan Haji kita racun saja Kang!” lalu ia
mengernyitkan alisnya padaku seakan ia menunggu jawabku untuk mengiyakan
usulnya.
“Bisa
juga Kang tapi aku tak bisa meracik racunnya. Mungkin kau bisa sediakan
racunnya?”
“Tenang
Kang Mo! Aku mengusulkan begitu karena aku telah lama merenungi untuk
menyingkirkan Tuan Haji. Kebetulan kau ke sini Kang Mo dan memberitakan untuk
membunuh Tuan Haji. Rasa-rasanya kita ada ikatan perasaan Kang. Sampai-sampai
kau rela datang berkunjung digubukku ini. Aku Kang Mo yang sediakan semua
racunnya. Dijamin ces pleng, tak ada bekas seperti kena racun Kang. Sehingga
tak ada bekas tanda-tanda diracun.” Kang Wito menyakinkanku.
“Baik
Kang. Kita langsung saja tentukan caranya. Waktuku tak banyak karena esok aku
sudah harus bekerja lagi diladang Tuan Haji.” Desakku tak sabar.
“Aku
punya ramuan racun yang telah kupelajari dari tabib yang telah menyembuhkanku
itu. Ramuan itu aku buat dari racun ular anang atau ular Cobra (Ophiophagus hannah), Kalajengking (Leiurus quinquestriatus), Kelabang
seribu atau Lipan (Enhydrina Schistosa).dan
racun katak emas (Phyllobates terribilis).
Dan semua racun itu telah aku rubah menjadi serbuk dengan cara pengeringan yang
proses pembuatannya tidaklah sembarangan, membutuhkan keahlian khusus dan
ekstra hati-hati. Racun itu pernah aku pakai untuk seekor tikus, hasilnya tikus
itu mati dalam 15 detik, pingsan langsung mati tak sampai tikus itu berlari
kesana-kemari. Jika itu di pakai untuk membunuh manusia mungkin tak sampai
mengeluarkan busa dari mulutnya ia sudah langusng mati karena yang diserang
adalah sistem syarafnya. Tapi melalui proses kejang-kejang sebentar karena
syarafnya terasa kaku dan langsung tak berfungsi seketika.” Terang Kang Wito.
Kang
Mo merasa takjub dan hanya menggelengkan kepala dan merasa panasaran seperti
apa racun yang mematikan itu. Lalu ia bertanya lagi, “dicampur dimakanan apa di
minuman Kang?”
“Bisa
kedua-duanya, namun perlu diingat bahwa kita harus berspekulasi, jika dicampur
di air minum ini kurang pintar karena pada airnya mudah di tebak bahwa ia mati
telah diracun melalui air minum. Jika melalui makanan perkiraan sama, tapi ini
melalui rokok, dan orang akan berasumsi bahwa Tuan Haji mati karena serangan
jantung yang bersifat mendadak, karena racun itu akan menyebar diparu-paru yang
membuatnya kesulitan bernafas, otak sebagai pusat syaraf akan tidak berfungsi,
dan jantungnya akan berhenti seketika. Kita sudah tahu kan Kang Mo bahwa
kebiasaan Tuan Haji adalah merokok.” Terang Kang Wito seperti profesor dibidang
obat-obatan.
Kang
Mo terkesima dengan penjelasan Kang Wito yang diluar dugaan. Kang Wito telah
berubah dengan kemajuan karena telah pandai meracik obat. Ilmu meracik obat
yang ia dapat dari seorang tabib yang telah menyelamatkan hidupnya. Benar-benar
ada hikmah dari kejadian kala itu, ketika Kang Wito disiksa oleh Tuan Haji yang
tamak itu.
“Racun
itu cukup dioleskan pada batang rokok, racun ini berupa serbuk halus, hati-hati
jika mau mengoleskannya jangan sampai kena tanganmu atau terhirup oleh
hidungmu, bisa-bisa kau mati duluan. Untuk lebih mudahnya kau lihat dulu
kebiasaan memakai rokok apa, apakah masih memakai rokok buatan Kudus atau
Kediri. Tinggal kau sesuaikan rokoknya. Lalu Kang Mo beli ditoko-toko ambil
satu batang kau olesi dengan ramuan racun yang telah dicampur air dulu, racun
itu akan meresap ke dalam batang rokok. Kang Mo lihat terus gerak-gerik Tuan
Haji kemanapun pergi, ketika Tuan Haji lengah dengan menaruh rokok itu dimeja
atau dimanapun, rokoknya kamu ambil lalu kau ganti dengan rokok racunmu itu.
Kita dari awal memang harus berspekulasi jika ia belum memakai rokok itu ia
akan tetap menghirup udara bebas, jika ia langsung memakainya ia akan bebas,
bebas menuju kematian.” Terangnya kepada Kang Mo dengan nada paling serius.
“Baiklah
Kang! Aku sanggup melakukannya.” Tanpa basa-basi Kang Mo mengiyakan ucapan Kang
Wito.
Malam itu juga Kang Mo mohon diri untuk
kembali ke kampungnya. Ia pulang seperti orang yang merdeka. Puas dengan solusi
Kang Wito yang sangat cerdik. Ia yakin bahwa rencana ini pasti berhasil. Bahkan
tim penyidik takkan mampu menelusuri kejadian dibalik ini semua kecuali Tuhan
yang maha tahu. “Maafkan aku Tuhan! Aku melakukan ini pada umatmu karena
terpaksa. Aku sudah tak kuat lagi atas kelakuannya dengan semena-mena terhadap
kehidupan kami. Dia telah mengganggu kedamaian kami. Dia telah merusak
kebahagiaan kami. Maka aku harus membuat hukum sendiri untuk selesaikan ini.
Karena hukum-hukum yang telah dibuat hanya hukum yang tunduk dengan uang dan
harta. Hukum yang tidak memihak kaum kecil seperti kami ini. Izinkan aku untuk
menyingkirkan umat-Mu atas nama Tuan Haji yang bangsat.” Doa Kang Mo dalam
hati.
Jarak yang begitu jauh telah ia tempuh
bagaikan satu meter saja, karena ia telah menemukan jawaban yang telah lama ia
cari. Jalannya begitu ringan dan enteng tanpa kelihatan lelah. Hutan yang masih
lebat ia lalui dengan tenang dan tanpa sedikitpun gentar. Tubuhnya kang Mo
masuk hutan hilang ditelan kegelapan malam. Bayangannya pun tak tampak direbut
lebatnya pepohonan. Suara binatang nokturnal berkecamuk sampai bising
ditelinga. Hantupun tak berani nampak untuk mengganggu jalannya kang Mo. Karena
kang Mo tak takut dengan hantu, ia hanya takut dengan bayangan pikirannya
sendiri. Bukankah ketakutan adalah perasaan itu sendiri. Ketakutan selalu ada
dalam diri manusia dan wajar tapi jika ketakuatn itu berlebihan dan mengganggu
stabilitas mental kita berarti jiwa itu perlu untuk konsultasi dan harus
diobati.
Waktu fajar akan segera habis namun Kang
Mo sudah keluar dari rimba raya. Sebentar lagi akan menginjak pelataran
rumahnya yang sederhana. Tak jarang ia mulai sering menguap, walau ngantuk itu
ia lawan dengan berat tetap saja rasa kantuk akan selalu tampak. Dalam benaknya
ia hanya akan mampir ke rumah sebentar untuk berpamitan istrinya yang setia
menunggunya di rumah. Sekalian mengambil bekal untuk sarapan dan makan siangnya
di kebun Tuan Haji waktu bekerja. Agar ia tak megambil sejumputpun barang milik
Tuan Haji meskipun hanya rumput liar sekalipun agar tak menimbulkan perkara
yang menyusahkan. Sekarang ini keadaanku sudah semakin parah. Keadaan ekonomiku
yang serasa mau ambruk. Aku bekerja di Tuan Haji ibarat kerja ikut bangsa
penjajah yang suka semena-mena. Jarang medapatkan upah yang semestinya sesuai
dengan tarif yang berlaku. Aku mulai harus segera menyingkirkannya dalam waktu
dekat ini. Rencana ini tidak ada yang tahu kecuali Kang Wito dan Kang Sodri.
Kang Mo pun langsung masuk ke dalam
rumahnya, ia dapati istrinya yang sedang memasak di dapur. Pelan-pelan ia duduk
dikursi lalu mengambil air putih yang tersedia di meja. Ia mulai tersenyum
kepada istrinya, senyum paling manis yang selalu ia berikan kepada orang yang
paling ia cintai.
“maaf
baru nyampek rumah. Padahal aku tidak lama berbincang dengan Wito.” Ucap pada
istrinya.
“Bagaimana
kabar Kang Wito pak?” tanya istrinya
“Kang
Wito sekarang tambah semakin sehat, semangat dan semakin pandai meracik obat.
Tubuhnya yang dulu hancur lebur bisa sehat kembali bahkan sekarang Kang Wito
dah bisa bertanam lagi. Sebentar lagi ia akan panen jagung, singkong. Ku rasa
ia telah menemukan kehidupannya kembali.” Jawab Kang Mo.
“syukurlah
pak. Aku kasihan waktu dulu ia berada dalam masalah yang gawat dan mau sekarat
akibat ulah kaum priyayi itu, si Tuan Haji yang tak tahu berterima kasih
sedikitpun. Kenapa Tuhan masih saja memelihara umatnya yang bangsat begitu,
panjang umur lagi, kenapa tidak dicabut saja nyawanya dari pada hidup di dunia
ini sudah tak kenal batas manusiawi.” Ucap istrinya yang tak kalah kerasnya.
“Hush!
Ketahuan centengnya baru rasa kamu.” Kang Mo menggertak
“biarin
pak. Biar kita mati sama-sama demi kebenaran yang kita bela. Dari pada kita
hidup hanya merasakan ketakutan semata. Untuk apa kita hidup kalau hanya untuk
takut pak.” Jawab istrinya tak mau kalah.
“takut
itu beralasan bu, orang takut itu tak ada yang tanpa sebab. Semua pasti ada
sebabnya kenapa orang merasa takut?”
“maksudnya
apa toh pak?” tanya istrinya
“maksudnya
kita punya rasa takut itu memang lumrah dan manusiawi bu. Kalau manusia itu tak
punya rasa takut ia bukan manusia tapi robot. Makhluk tak berhati bikinan
manusia. Seperti kita takut pada Tuan Haji itu juga ada alasannya, yaitu
kenapa? Karena dia itu makhluk super jahat. Tapi dibalik ketakutan itu kita
punya kesempatan untuk belajar, belajar dengan mengenalinya dan mencari titik
lemahnya supaya kita tidak takut.” Terang Kang Mo.
“benar
juga pak.”
“ya
sudah, sekarang mana bekalku? Aku mau
jadi robot di kebun Tuan Haji. Robot yang punya hati namun kelu. Kelu hatinya
musti harus diobati. Dengan cara memberi pelajaran padanya.” Sambut Kang Mo
lagi.
“iya
pak. Bekal sudah aku siapkan di meja, aku bungkus dengan daun pisang pak. Untuk
air dan kopinya juga sudah. Jika nanti sudah selesai semua urusan di Tuan Haji
lekas pulang pak, aku melihatmu begitu lelah dan capek.” Pinta istrinya.
“baiklah
bu, nanti aku akan cepat pulang dan langsung istirahat. Apalagi akhir-akhir ini
aku sering pergi dan jarang tidur. Aku berangkat dulu bu, selagi waktu masih
sangat pagi.” Pamit Kang Mo pada istrinya.
Matahari baru saja muncul
perlahan-lahan, embun masih basah di setiap daun-daun dan rerumputan.
Orang-orang masih saja asyik bermalas-malasan di rumahnya sambil menikmati teh
dan kopi. Namun tidak bagi Kang Mo, ia sudah berada di kebun tebu milik Tuan
Haji. Ia merapikan daun-daun tebu yang luas itu. Tubuhnya sudah berperang
melawan peluh, sambil terkantuk-kantuk ia terus menyelesaikan pekerjaannya
dengan baik sebelum Tuan Haji datang untuk melihat kebun tebunya. Ia selalu
membuktikan pada Tuan Haji bahwa ia adalah pekerja yang baik dan layak
dihormati sebagaimana hubungan para pekerja dengan sang bos. Hubungan simbiosis
– mutualisme (saling menguntungkan) yang harus selalu dijaga sepanjang waktu.
Sedangkan dirumah Tuan Haji masih
terlihat santai sambil minum kopi, rokok dan baca koran pagi. Sesekali ia
menghembuskan asapnya ke atas sambil menyeringai “gila”, lalu ia akan mendumel
dengan genit dan sok tahu “zaman sekarang masih ada orang yang mau susah dan
kasihan seperti berita ini, malas”, lalu ia menutup koran dan menyeruput
kopinya dan menyalakan rokoknya. Sambil berteriak keras.
“Said!sini
cepat!” teriaknya memanggil centengnya.
“Siap
Tuan! Ada yang bisa saya kerjakan.” Jawab Said cepat dihadapan Tuan Haji.
“kamu
pergi ke kebun tebu sekarang, kamu lihat si Mo. Apa sudah beres pekerjaannya
membersihkan daun tebu. Jika sudah selesai suruh datang ke sini, cepat
kerjakan!” Perintah Tuan Haji.
Dengan langkah setengah berlari Said
berlalu meninggalkan Tuan Haji yang masih menikmati rokoknya dengan santai. Di
ruang teras rumahnya yang super luas, gaya rumahnya yang perpaduan antara gaya
Tiongkok dan Jawa. Jika dilihat mirip bangunan kuil. Warna catnya merah menyala
dan pintu masuk rumah dengan gapura yang dilengkapi patung dua singa yang
terkesan seperti akan menerkam mangsa. Pelataran rumahnya seluas lapangan sepak
bola, rumahnya seperti istana raja. Kesan angker menyelimuti rumahnya yang
semua serba merah dan hitam. Bergidik dan ciut nyali ketika akan masuk. Rumah
seluas 2500 meter persegi rumah paling besar di kawasan kampung yang sangat
melarat itu. Disekitarnya rumah-rumah gubuk reot yang hanya beratapkan ilalang.
Benar-benar merupakan pemandangan yang sangat senjang.
Tak lama datanglah Kang Mo dengan
ditemani Said. Kang Mo menghadap dengan menunduk-nunduk. Lalu,
“Ada
apa Tuan Haji, saya menghadap. Apa lagi yang bisa aku kerjakan. Untuk daun-daun
tebu sudah aku bereskan dengan rapi.” Bicara Kang Mo.
“Baik,
sekarang tolong bersihkan halaman rumah ini baik halaman depan dan halaman
belakang, rumput-rumput liar sudah banyak yang tumbuh tak teratur, daun-daun
pepohonan tolong dirapikan dan bakar di tempat sampah pojok belakang dekat
bambu itu.” Perintah Tuan Haji.
Kang Mo masih saja menunduk tak berani
menatap mata Tuan Haji. Ingin ia memberanikan diri untuk memandang wajah Tuan
Haji, namun sangat susah seakan-akan dirinya tersekat oleh rasa kaku yang
berlebihan yang membuat syarafnya tak bisa digerakkan sedikitpun, apalagi
memandang wajah Tuan Haji. Mendengar suaranya saja seperti petir yang
menggelegar. Tak kuat nyali untuk menatap wajahnya Tuan Haji. Padahal ia ingin
melihat meja Tuan Haji yang ada didepannya, ia ingin melihat kesukaan Tuan Haji,
mulai dari kue, jajan, koran, once, arloji, kopi, teh, air minum, buku,
majalah, asbak, dan yang menjadi bidikan dalam hatinya adalah rokok. Tuan Haji
memakai rokok apa? Tapi tak berani menatap sekelilingnya. Hanya diam menunduk
seperti patung. Namun dalam hati Kang Mo berkata “inilah saatnya kesempatan
yang aku tunggu-tunggu, saatnya lalat kecil masuk dan menebar virus kematian.
Awas kau Tuan Haji! Hidupmu tak kan lama lagi.” Kang Mo tersenyum dalam hati.
Kemudian
ia mengambil topi lusuhnya.
“Baik
Tuan Haji segera hamba laksanakan.” Pamit Kang Mo. Namun diluar dugaan dengan
cepat topi itu ia gunakan untuk mengambil buntung rokok di bawah dekat meja
Tuan Haji tanpa sepengetahuan Tuan Haji dan si centeng Said. Inilah kelemahan
Tuan Haji, ibaratnya seekor macan telah berani mengundang seekor kobra untuk
masuk ke dalam istananya demi ambisi semata. Dengan langkah cepat Kang Mo
keluar teras rumah Tuan Haji yang besar dan megah itu. Seakan-akan langkahnya
adalah langkah yang berpengharapan. Langkah kemenangan.
Sesampai halaman belakang rumah ia
melihat puntung rokok Tuan Haji yang dari tadi telah ia genggam dengan topi
lusuhnya. Ternyata Tuan Haji memakai rokok produk Kudus. Puntung rokok itupun
ia masukkan ke saku bajunya. Dengan segera ia pun memulai membersihkan halaman
belakang rumah Tuan Haji. Dengan penuh selidik ia pun mengawasi rumah besar dan
megah ini. Dalam hatinya “untuk siapa rumah besar ini jika Tuan Haji binasa,
tentu untuk istri-istrinya. Benar-benar sungguh merepotkan punya harta banyak
sedang mati tak dibawa pula. Lebih baik di gunakan untuk yang lebih membutuhkan
sehingga tidak repot mengurusnya kelak. Semua harta ini hanya titipan Tuhan
akan kembali juga ke Tuhan. Tapi sulit jika orang sudah memuja harta
seakan-akan hidupnya hanya untuk mengabdi pada harta.”
Hari beranjak semakin sore. Kang Mo
sengaja belum segera mengakhiri pekerjaannya. Dia masih sibuk membersihkan dan
menata halaman belakang rumah mewah milik Tuan Haji. Sambil melihat-lihat tata
letak rumah super megah itu. Sesekali ia melirik istri-istrinya yang sedang
berkumpul di ruang santai belakang rumah yang langsung menghadap ke pohon-pohon
yang rindang dan sejuk. Istri-istri itu seakan-akan sibuk berdiskusi tentang
masalah apa yang mereka hadapi seharian tadi. Istri-istri yang semuanya bisa
dikategorikan super cantik dan cerdas. Semuanya memegang bisnis masing-masing.
Mereka duduk santai sambil makan dan minum, terkadang juga tertawa dan
tersenyum. Benar-benar surga buat Tuan Haji, rumah yang super mewah, istri tiga
semua cantik, kekayaan yang melimpah, fasilitas lengkap, namun sayang surga itu
hanya ingin ia miliki sendirian tanpa orang lain yang boleh ikut merasakan.
Orang lain hanya buruh, budak, jika ada yang berani membantahnya penyiksaan
yang akan diterimanya.
“Baiklah!
Mungkin surga atau istana Tuan Haji yang masih berbau dunia ini sebentar lagi
akan hancur, berantakan.” Gumam Kang Mo dalam hati.
Ia pun mengakhiri pekerjaannya dan
berkemas-kemas mau menghadap Tuan Haji untuk izin pulang karena hari sudah
menjelang sore. Kang Mo berjalan menghampiri para istri-istri Tuan haji yang
sedang bersantai di beranda belakang rumah.
“Permisi
Tuan Putri! Aku ingin bertemu Tuan Haji. Karena hari sudah sore aku ingin pamit
pulang. Untuk pekerjaannya yang belum selesai akan aku selesaikan besok.” Pinta
Kang Mo sambil sesekali melirik meja Tuan Putri.
“Said!”
serentak mereka memanggil centeng Tuan Haji.
Tak
lama si Said keluar tergopoh-gopoh menghadap Tuan Putri.
“ya Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya
Said.
“Tanyakan
pada Abah, apa sudah boleh pulang?” jawab Nyonya kepada Said.
“Baik
Nyonya.” Said langsung menghadap Tuan Haji ke dalam rumah.
Sedangkan Kang Mo duduk agak menjauh
dari ruang beranda tempat para istri Tuan Haji berkumpul. Ia duduk di bawah
pohon Akasia dengan mengipas-kipaskan topinya yang sudah usang. Dengan berfikir
bahwa besok sangatlah cocok untuk beraksi. Angin sore menerpa pelan yang sempat
menghentikan gerak kipas Kang Mo, rasa tegang kecapekan Kang Mo sedikit
menghilang walau agak sedikit riasu untuk memikirkan cara aksi besok hari.
Dalam otaknya ia terbayang nasehat Kang Wito
“ingat Kang Mo harus dengan cara yang halus dan tepat”, jika ingin
menyingkirkan Tuan Haji. Otaknya terus bergelayutan mencari sinyal aksi yang
paling tepat dan cepat buat besok. Terus otaknya berfikir keras tentang
resikonya juga hingga bayangan yang ada diotaknya buyar ketika mendengar
teriakan dari rumah megah itu.
“Mo,
besok kamu kembali kesini jam tujuh pagi dan sekarang kamu boleh pulang. Ingat
jam tujuh tepat.” Bentak Said.
“Baik
Bang Said.” Jawab Kang Mo bergegas
pulang.
Dengan
santai Kang Mo berjalan menyusuri rumah megah Tuan Haji untuk berbegas pulang.
Pagi Yang Menggemparkan
Pagi sekali Kang Mo sudah berada di
rumah Tuan haji untuk bekerja. Rumah megah masih sunyi, masih banyak yang
terlelap. Termasuk diruang pos penjagaan paling depan, para pengawal-pengawal
itu masih saja tertidur pulas. Kang Mo berhenti didepan pos penjagaan. Untuk
meminta izin bekerja. Kang Mo mengetuk pintu ruang pos penjagaan itu. Bang Said
dengan mata yang masih setengah melek menemui Kang Mo.
“Ada apa Kang? Pagi begini kesini mau apa
kamu?” Tanya Bang Said pada Kang Mo.
“Aku
mau bekerja Bang, mumpung masih pagi sehingga cepat selesai pekerjaanku.” Jawab
Kang Mo. “Ya sudah sana lekas bekerja. Tapi awas jika kamu berani mencuri, atau
mau bikin masalah disini, kamu berhadapan dengan aku.” Gertak Bang Said dengan
nada keras.
“Maaf
Bang Said tak secuilpun aku punya niat jahat seperti itu. Tugasku adalah
bekerja saja dan hanya bekerja saja yang aku tahu. Lebih dari itu aku tak tahu.
Yang aku tahu hanya ladang, sawah, pisang, kelapa, tebu, cangkul, arit, sungai
dan Tuan Haji.” Jawab Kang Mo untuk menghindari kecurigaan dari Bang Said
“Kenapa
dengan Tuan Haji? Kenapa kau memasukkan Tuan haji dalam hal yang kau tahu?”
tanya Bang Said penasaran.
“Karena
Tuan Haji majikanku Bang.” Jawab Kang Mo.
“Ya
sudah sana kerja, keburu siang nanti.” Perintah Bang Said yang mulai malas
karena satu alasan kuat dirinya masih kena wabah ngantuk berat.
Memang sengaja Kang Mo berangkat pagi
sekali karena untuk melihat situasi lokasi dirumah Tuan Haji. Untuk mencari
kelengahan Tuan Haji. Target dari rumah sudah ia persiapkan dengan matang.
Rokok produk kota Kudus juga sudah ia persiapkan dengan hati-hati dan dibungkus
dengan plastik tipis namun kuat untuk menghilangkan jejak melalui sidik jari
sehingga pihak kepolisian tak mampu mengenali barang bukti dengan melacak
melalui sidik jari. Rokok itu sudah diolesi racun buatan Kang Wito. Tinggal
melakukan aksi yang tepat dan halus nyaris tanpa jejak. Bungkus rokok itu sudah
ia buka yang merknya sama punya Tuan Haji. Ia ambil rokok satu bungkus,
seakan-akan rokok itu punya Tuan Haji yang telah ia pakai, sehingga Tuan Haji
tidak curiga dengan rokok yang masih belum terbuka. Kang Mo sendiri bingung
pastinya membuat rokok seperti masih baru dari toko karena sistem pressnya yang
sangat rapi. Satu-satunya cara dengan melihat rokok Tuan Haji secara langsung
dan melihat isinya masih berapa batang yang tersisa. Lantas menggantinya dengan
rokok yang sudah aku persiapkan dari rumah. Pekerjaan yang sungguh berat dan
butuh keberanian juga kehati-hatian.
Kang Mo berjalan dengan cekatan, matanya
selalu siap membaca kemungkinan-kemungkinan yang akan ia lakukan. Pandangannya
selalu tertuju rumah megah itu, dipandangnya meja beranda, kursi beranda,
lantai beranda, bahkan kusen-kusen pintu, cendela yang apik dengan penuh
ukiran-ukiran yang terkesan angkuh dan mewah itu. Tak luput juga pot-pot bunga
yang tertata rapi bak istana penguasa juga dipandangnya dengan cekatan. Kang Mo
tidak seperti Kang Mo yang kemarin, seorang buruh harian yang apes oleh
kebejatan Tuan Haji. Karena harus bekerja dengan bayaran yang tak tentu,
terkadang juga dibayar meski tak sesuai dengan ukuran, jika tak dibayar jangan
mengharapkan untuk menagih upah, bisa-bisa upah nyawa yang akan melayang. Ketika semakin dekat dengan beranda mewah
itu, kata hati Kang Mo tak mau beraksi karena tak ada bungkus rokok yang masih
tersisa di situ. Kang Mo terus berjalan tenang meninggalkan beranda mewah itu,
untuk menuju halaman belakang. Dan masih ada satu bidikan dalam otaknya, yaitu
beranda belakang rumah. Yang kemarin Kang Mo tahu para istrinya sedang
berbincang-bincang santai diruang belakang rumah itu. Dan sempat ia meminta
izin pada para istri itu untuk minta pamit pulang hingga Bang Said keluar dari
rumah dan memintakan izin pada Tuan Haji. Diruang itulah mata Kang Mo sempat
melirik bungkus rokok yang tergeletak bersama dengan koreknya, rokok produk
kota Kudus yang terkenal dengan kualitas tembakau pilihan dan rasanya memang
sungguh nikmat, Kang Mo sendiri pernah mencicipi rokok yang tergolong mahal itu
dari saudara istrinya yang berasal dari Kudus yang kebetulan main ke rumah.
Namun hanya sekali itu, selanjutnya masih tetap setia dengan rokok buatan sendiri,
dengan mengeringkan daun tembakau sendiri setelah diirisnya kecil-kecil secara
memanjang. Kurang beberapa langkah lagi ia akan sampai diberanda belakang rumah
itu, hatinya mulai tak tenang, jantungnya berdetak cepat, darahnya mulai
mendesir, menandakan kegugupan dan tak sabar segera sampai dan beraksi. “Huh!
Tubuh ini mulai tegang, aku harus tenang, tenang dan tenang. Ayolah tubuh!
Jangan buat aku tersiksa begini. Kamu harus bisa ku ajak kerja sama dalam hal
ini. Sekali ini saja. Bukankah aku baru pertama kali ini mengajakmu berbuat
jahat?” Canda Kang Mo dalam hati untuk mengurangi ketegangan.
Benar apa yang diduga Kang Mo. Sebungkus
rokok produk Kudus dan korek api itu masih tergeletak aman di atas meja
belakang rumah. Tak ada yang berani mengusiknya. Bang Said pun yang telah setia
menemani Tuan Haji puluhan tahun tidak berani sedikitpun sembarangan mengambil
barang milik Tuan Haji tanpa seizin Tuan Haji. Jika itu dilanggar tidak bakal
aman dalam hidupnya kecuali langsung kabur jauh dengan radius 250 kilometer
dari muka Tuan Haji. Itupun harus mencari tempat yang aman jauh dari pemukiman
warga.
Kang Mo mulai mendekati sebungkus rokok
yang ada di atas meja itu, meski tubuhnya sedikit tegang dan gemetar ia
paksakan untuk melawan takut. Ia mulai mengeluarkan 2 kantong plastik seukuran
1 kg yang masih baru lalu ia masukkan kedua tangannya ke dalam plastik, lebih
tepatnya sebagai sarung tangan, ia mengambil sebungkus rokok dan membukanya,
kedua matanya sibuk menghitung jumlah isinya. Setelah dengan cepat ia
menghitung jumlah isinya, secepat siswa yang telah menguasai ilmu sempoa dengan
handal ia masukkan rokok milik Tuan Haji ke dalam tas khusus yang sudah ia
siapkan dari rumah. Ia menggantinya dengan rokok nya yang telah ia olesi racun
super hebat buatan Kang Wito. Lantas ia taruh persis dengan posisi semula.
Dengan cepat ia pun meninggalkan tempat
itu. Tubuhnya masih saja gemetaran bahkan lebih hebat dari semula. Nafasnya ia
atur lagi dengan baik, tarik nafas, hembuskan, tarik nafas, hembuskan sampai
tak terhitung. Dalam hatinya merasakan
kekhawatiran yang sangat kuat, dengan alasan yang terlintas dalam benak,
“sebentar lagi aku akan menjadi pembunuh. Pembunuh berdarah dingin dengan
terencana.” Pikirnya.
Kang Mo mulai bisa mengendalikan
emosinya dengan baik, dan hari mulai menampakkan pagi dengan sinar matahari
yang mulai muncul. Ia sudah sibuk bekerja di belakang rumah mewah Tuan Haji.
Walaupun sesekali matanya melirik beranda belakang rumah Tuan Haji yang masih
saja sepi. Selang beberapa menit kehidupan dirumah mewah itu mulai tampak,
pintu belakang rumah mewah itu mulai dibuka oleh salah satu istrinya yang sudah
dalam keadaan segar. Jika dilihat cara berpakaian ia mau berangkat bekerja.
Karena semua istrinya Tuan Haji adalah sibuk bekerja. Kang Mo dengan diam-diam
memperhatikan aktivitas dalam rumah mewah itu sambil bekerja mencabuti rumput
liar. Dengan tenang setenang-tenangnya untuk tidak membuat kecurigaan.
Sedangkan dari dalam rumah itu ternyata Tuan Haji masih tidur. Hanya ketiga
istrinya yang terlihat sibuk menyiapkan keperluan aktivitas pekerjaannya,
termasuk menyiapkan sarapan dan membuat kopi kesukaan Tuan Haji. Waktu semakin
berjalan. Lambat laun mulai ramai, angin dingin tak lagi terasa, berganti
hangat karena radiasi matahari membuat tubuh juga terasa gerah, begitupun juga
Tuan Haji harus segera bangun tidur karena sudah tidak nikmat lagi dalam tidur.
Ia menguap sebentar, berdiri, berjalan menuju kamar mandi. Tak berapa lama ia
pun keluar untuk bersisir pada cerminnya yang antik, rambut uban yang mulai
keluar ia usap-usap dengan tangannya. Namun ia seakan-akan acuh tak acuh pada
ubannya, dalam hatinya “ini masalah mudah semir beres”, setelah dirasa rapi, ia
pun berjalan mencari kopinya yang telah disiapkan istrinya yang ketiga yang
tetap tinggal menemaninya di rumah, istri ketiga tak ikut kerja keluar rumah
hanya tetap tinggal dirumah sebagai penasehat Tuan Haji dalam masalah apapun.
Kopi itu tersaji di meja beranda
belakang rumah, ada rokok dan koreknya disebelahnya. Roti tawar, mentega, keju,
susu cream, mesis, selai, makanan ringan dan buah-buahan tersaji juga. Tuan
Haji duduk dengan tenang dan siap mengambil roti, ia memakannya sedikit lalu
menyeruput kopinya dengan damai. Matanya memperhatikan Kang Mo yang terlihat
giat bekerja. Ia merasa puas melihat Kang Mo yang sudah bekerja dengan giat.
Tanpa membantah sedikitpun, tak berani melawan, benar-benar manusia yang bisa
diperbudak. Manusia yang bisa jadi robot sedangkan robot tak bisa jadi manusia.
Tuan Haji berdiri lagi mencari koran baru, ia memanggil istrinya ketiga,
terjadilah percakapan yang mungkin terakhir baginya.
“Sayang,
mana koranku?” Tanyanya manja.
“Ya
sebentar Bang, aku ambilkan.” Jawab istri ketiga
“Sama
sekalian kaca mataku yang ada di meja kamar. Bawa kesini.” Teriak Tuan Haji.
“Baik
bang.” Timpal istri ketiga dari dalam rumah.
Sebentar
istri ketiga keluar membawa koran dan kaca mata.
“Ini
Bang koran dan kaca matanya. Silahkan dimakan rotinya lebih dulu bang, baru
baca koran. Keburu tak enak rotinya. Apalagi kalau perut sudah kenyang kan
lebih enak membacanya.” Seruan istri ketiga.
“Baiklah
sayang, aku makan rotinya. Ambilkan sayang!” Pinta Tuan Haji pada istri ketiga
dengan ramah dan manja.
Istri ketiga yang selalu pintar
mengambil hati Tuan Haji ini, ia dibuat teler oleh rayuan istri ketiga yang
sangat jelita. Tak berkutik ia menghadapi rayuannya. Istri ketiga yang selalu
berada dalam rumah setiap harinya dan tak banyak tahu akan dunia luar seperti
apa. Kabar-kabar miring tentang suaminya tak banyak ia ketahui. Istri ketiga yang
cantik namun lingkungan yang mengukungnya tak banyak memberi pengalaman dalam
mengetahui hal-hal yang penting dan perlu ia ketahui. Ia memang cerdas, pintar,
namun apa daya jika kecerdasan itu hanya dalam hal kepentingan Tuan Haji dan
demi kekayaan Tuan Haji yang terus menumpuk. Istri ketiga itu tak bisa
menangkap gelagat tentang betapa menderita rakyat kecil disekitarnya akibat
ulah suaminya. Karena ia tak pernah pergi untuk melihat dunia sekitar yang
sangat tidak mengenakkan. Hidup dalam kesenjangan akibat miskin yang
berkepanjangan sedangkan ia dan suaminya hidup dalam kemewahan.
“Wah
kenyang sayang, boleh sekarang aku baca koran?” Canda Tuan Haji mesra.
Istri
ketiga itu hanya mengangguk dan tersenyum cantik sekali.
“Silahkan
Bang. Aku mau meneruskan pekerjaan di ruang kerjaku.” Jawab istri ketiga.
Tuan
Haji hanya mengangguk pelan mengiyakan. Tuan Haji mulai membuka koran
perlahan-lahan. Kopi diseruput lagi. pelan-pelan ia mulai membuka koran halaman
demi halaman. Serius sekali ia ketika membaca koran. Seakan-akan berita yang
ada dikoran itu dicerna dengan seksama. Tuan Haji memang getol membaca koran.
Selang beberapa menit ia mengambil rokok dimeja, dengan santai ia menyulut
rokok dan menghembuskan asapnya ke atas. Asap rokok itu masih mengepul berputar-putar
seakan tak mau pergi dari terpaan angin. Seperti awan tipis bermain dengan
angin, kesana-kemari, mondar-mandir lalu hilang menyatu dengan gas
disekitarnya.
Dari kejauhan Kang Mo sibuk mengawasi
aktivitas Tuan Haji. “Mampus kau bangsat! Rasakan pembalasanku dan teman-teman
yang pernah kau sakiti.” Gumamnya dalam hati. Senyumpun mengambang dari
bibirnya yang hitam. Ia tersenyum penuh kemenangan, penuh kepuasan, tak perduli
watak pembunuh telah bersemayam dalam hatinya. Dan yang terpenting hari ini terbalas
sudah dendam Kang Mo pada Tuan Haji Mouxani.
Lama Kang Mo masih terus mengawasi Tuan
Haji. Setengah Jam berlalu. Namun tak ada tanda-tanda Tuan Haji mampus,
tubuhnya masih tetap duduk dan membaca koran, rokok juga masih terlihat
mengepul, tapi Tuan Haji masih saja kuat terus membaca. Apa yang terjadi?
Penasaran Kang Mo semakin memacu kuat. Namun ia harus sadar dan tetap tenang
bahwa sesuatu telah terjadi seperti tidak terjadi apa-apa pada diri Kang Mo.
Pesan itu telah disarankan oleh Kang Wito kepada dirinya setelah beraksi
membunuh Tuan Haji. Sehingga penegak hukum kesulitan untuk mencari bukti kuat
pelaku tersangka.
Tiba-tiba Bang Said datang menghampiri
Tuan Haji yang masih dalam posisi sibuk membaca. Asap semakin mengepul, kali
ini tidak hanya dari mulut Tuan Haji tapi juga dari baju Tuan Haji. Sayup-sayup
aku dengar panggilan Bang Said, “Tuan, Tuan, Tuan Haji. Apa yang sedang
terjadi? Tolong-tolong, Nyai cepat kemari, Tuan Haji sekarat, Tuan Haji tidak
bisa bicara, Tuan Haji terbakar oleh rokoknya, Tuan Haji stroke, Tuan Haji,
Tuan Haji kenapa kau?” Teriak Bang Said panik.
Dengan cepat tempat itu telah menjadi
tempat yang super ramai. Istri ketiganya tampak bingung setengah mati,
berteriak histeris, para centeng-centengnya sibuk mengamankan Tuan Haji,
digotongnya tubuh yang sudah tak berdaya itu, posisinya seperti orang duduk
dalam keadaan membaca, tubuhnya kaku, matanya masih membuka dan mendelik,
nafasnya masih tersengal-sengal, seakan-akan ia akan meronta untuk melawan dan
bangkit, namun racun yang telah bersemayam dalam jantung, paru, ginjal, empedu,
otak, syaraf terlalu kuat untuk di lawan. Hingga saat itu juga Tuan Haji harus
berani menghadapi kematian yang ada di depan mata. Ya kematian, hak asasi bagi
setiap makhluk Tuhan yang bernyawa. Tak perduli manusia yang kaya, miskin,
bayi, muda, tua, cantik, tampan, jelek, presiden, menteri, guru, tentara,
centeng, petani, janda duda, perawan, jejaka, pasti akan berhadapan dengan
kematian. Entah, kapan waktu itu akan datang?. Kita tunggu saja dengan sabar. Kita
siapkan bekal amal kebaikan sebanyak-banyaknya. Pasti kita semua akan sampai
jua.
Bangilan, 29 April
2014.
Penulis aktif di
Komunitas Literasi Kali Kening Bangilan-Tuban
Label: Dongeng
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda