Senin, 06 Februari 2017

Jurang Penatas

Oleh. Rohmat Sholihin*



            Jika malam itu aku tidur dirumah, bisa dipastikan leherku ikut putus. Terbabat oleh sekelompok orang yang telah membantai bapakku didepan ibu dan adik-adikku. Tuhan masih memberikan kesempatan padaku untuk menghirup udara dan berjibaku dalam duniaNya. Ceritanya begini:
Malam belum begitu larut, bapak sedang menerima tamunya diruang tamu. Aku dan adik-adikku juga belum tidur, masih berkumpul dikamar ibu sambil ikut mendengarkan percakapan bapak dengan tamunya. berambut gondrong dan kekar. Di lengan kanannya ada gambar tato ular cobra, melingkar dan menjulurkan lidahnya yang bercabang. Mengerikan. Jika aku melihat gambar ular itu otakku membayangkan cerita dari guru ngajiku, Kyai Umar namanya. Bahwa ular yang berbisa itu identik dengan iblis. Mulutnya yang penuh racun mematikan, dulu digunakan tempat persembunyian iblis sewaktu menyusup kembali ke surga dan akan berbuat jahat terhadap Adam. Tuhan marah dan mengutuk ular, dan mulutnya yang telah digunakan tempat persembunyian Iblis berubah menjadi mulut yang penuh dengan racun dan bisa. Dan tubuh ular yang indah berkaki berubah menjadi hewan melata yang tak punya kaki. Sedangkan Iblis dikutuk Tuhan tak kan bakal kembali menginjak surga. Tiba-tiba aku kaget mendengar mereka yang sedang berbincang-bincang diruang tamu dengan suara yang membentak.
“Pengkhianat! Kenapa kau buka mulut pada polisi.” Bentak orang gondrong itu pada bapakku. Aku tak kenal namanya. Aku hanya melihat sekilas dari tirai kamarku. Ibuku melarangku keluar. Hanya dari lubang daun pintu aku menyaksikan keberanian bapakku menghadapi orang gondrong itu.
“Karena keadaan. Jika aku tak bilang sama polisi. Kau hanya akan tertawa-tawa melihatku dari luar jeruji penjara. Kau bebas bergerak sesuka hati sedang aku meringkuk dalam penjara akibat ulahmu itu. Polisi akan menjadikan akulah pelakunya.” Jawab bapak lantang.
“Kau payah, kau mau minta bagian berapa?” Tanya orang gondrong itu lagi.
“Loh aku tidak minta bagian, kang. Kau yang beraksi dan ini wilayahku. Kenapa waktu aku melarangmu untuk tidak merampok diwilayahku kau tetap nekat melakukannya. Seluk beluk daerah ini aku tahu semuanya, mulai dari lubang semut dan lubang tikus, aku hafal.” Jelas bapak dengan gagah.
“Kau ini seperti siapa saja, kau kan juga bekas perampok.”
“Tak usah membawa masa lalu, aku sudah tidak melakukan kejahatan itu lagi. Aku punya tanggung jawab menjaga keamanan daerah ini, kang. Tak usah mencoba untuk mengancamku. Aku masih punya nyali jika harus melawan komplotanmu.”
“Kau mengajak perang?”
“Kau yang lebih dulu mengancam.”
“Ah, kau ini seperti orang suci saja. Seperti tak pernah melakukan dosa, sejak kapan kau mulai seperti kyai? Kau masih ingat, jika kau dulu juga banyak merugikan orang lain, mulai memukuli orang, mencuri, merampok, bahkan berapa anak perawan yang telah kau buntingi?”
“Cukup! Tak usah membawa masa lalu lagi, masa itu sudah aku kubur, jika kau mengungkit sekali lagi, kucincang kau! Ini rumahku, aku berhak mengatur segalanya.”
“Ha…ha…kau marah, kang. Memang aku berbohong? Jika kenyataannya dulu kau begitu, kau telah….” Belum selesai orang gondrong itu bicara, bapak telah bergerak cepat membungkam mulutnya dengan mencekik lehernya.
“Berani bicara itu lagi, patah lehermu!”
“Ampun, kang, ampun, lepaskan.”
“Pergi dari rumahku, sebelum aku habisi kau.”
“Baik kang.”
Dengan tertatih-tatih orang gondrong itupun berlalu. Dalam sekejap tubuhnya sirna ditelah gelap malam.
            Namun kejadian malam itu bukanlah kejadian yang telah selesai. Masih terjadi lagi pada suatu malam, lima hari setelah kejadian itu. Dan bapak harus binasa dengan tubuh yang hancur lebur yang diketemukan terkapar di bawah Jembatan, akibat dikeroyok segerombolan orang satu truk. Dan masih orang gondrong itu biangnya. Mereka juga sempat mengincarku dan akan mencincangku. Tapi malam itu, aku sedang tidak tidur dirumah, aku sedang berada dirumah temanku. Kenapa ia mengincarku? Akulah satu-satunya anak lelaki bapak. Bapakku memberikan nama padaku, Jurang Penatas. Aku tak tahu arti nama itu. Hanya ibu pernah sedikit cerita padaku, bapak menganggap bahwa hidup itu harus ada jurang pemisah, antara yang baik dan yang buruk karena dalam hidupnya, bapak sebagai perampok dan suatu saat ingin bertobat. Buktinya bapak berhasil bertobat meski harus menerima kematian dengan cara yang mengenaskan. Sejak pasca pengeroyokan itu ibuku merasa khawatir dengan keselamatanku. Aku dititipkan pada nenek dikampung ibuku. Meski tidak aman seratus persen, setidaknya ada perlindungan dari saudara-saudara ibu. Jika aku melihat orang yang berambut gondrong hatiku selalu mendesir, ada sedikit kebencian dan kewaspadaan aku padanya. Meski itu bukan pelakunya. Tak tahu jiwaku meronta-ronta ingin menaruh kemarahan dan dendam yang menyala-nyala pada orang yang berambut gondrong.
            Mau tak mau, nenek mengganti namaku. Dari Jurang Penatas menjadi Sijianto. Berhari-hari aku menjalani kehidupan seperti orang yang terancam, gusar dan terkadang sering tidak nyaman berada diluar rumah sendirian. Aku takut dan membayangkan jika tiba-tiba orang gondrong itu datang dan menangkapku lalu membunuhku. Hingga rasa takut itu menjelma menjadi dendam yang berkepanjangan. Dalam hatiku terbersit ingin membalas kematian bapak. Aku harus bisa membunuhnya. Tapi kemana aku harus mencarinya? Sedang aku tak tahu tempat kebereadaannya. Hanya takut dan dendam yang menyeruak dalam dada tak ada henti-hentinya dan selalu bertanya-tanya.
Hingga suatu minggu pagi, ditahun 1983. Depan pasar dekat rumahku. Nenek mengajakku beli kue serabih. Pasar masih lengang, hanya ada beberapa orang berlalu lalang membawa barang dagangan yang telah dibungkus dalam karung, orang dulu menyebutnya gelangsing. Ada barang sayuran, kelapa, buah pisang dan juga buah nangka, dan masih banyak yang lain. Aku tak begitu tertarik dengannya. Mataku masih tertarik dengan tangan-tangan cekatan tukang serabih yang mengaduk-aduk adonan serabih lalu menuangkannya ke dalam cobek yang telah dibakar ditungkunya. Mengepul-ngepul asapnya dengan aroma kue serabih yang menggoda, aku dan nenekku dengan setia menunggu giliran didepan tungku perapian yang hangat, meski asapnya membuat mata ini perih. Namun, itu takkan menjadi kendala jika dibandingkan dengan rasa kue serabih yang lezat. Sebentar lagi kue yang menumpuk didepanku ini akan memenuhi perutku yang lapar.
“Tooollooong…” Tiba-tiba teriakan itu membuyarkan lamunanku tentang kue serabih yang mengepul-ngepul. Aku lihat seorang wanita paruh baya berlari sambil berteriak histeris. Tangannya menunjuk pada sebuah karung yang tergeletak dekat bangunan prasasti proklamasi depan pasar. Sambil berteriak, “ada mayaaaat.”  Dan sontak membuat seisi pasar gempar. Orang-orang yang berlalu-lalangpun berhenti, seakan-akan aktifitas pasar lumpuh total, dalam waktu sekejap karung yang berisi mayat itu menjadi tontonan banyak orang, termasuk aku dan nenek ikut melihat dari dekat. Polisi, pejabat pasar dan kepala desa dengan perasaan gugup mengeluarkan mayat itu dari dalam karung. Aku tersentak ketika melihat mayat berambut gondrong dengan keadaan mengenaskan, tangan diikat, hanya cukup memakai celana dalam, tubuhnya menghitam, dadanya bolong tertembus peluru, ada bekas darah dan luka disekitar dada dan perutnya. Hatiku berdetak semakin cepat, perasaan cemas dan penasaran semakin mengikat, tiba-tiba aku teringat bapak ketika diketemukan di bawah jembatan dalam keadaan mengenaskan. Dendam, kebencian menjadi-jadi dalam hati. “Apakah ini orang yang berambut gondrong malam itu yang datang ke rumah dan mengancam bapak?” bisik hatiku. Aku semakin penasaran, dan mataku sedikitpun tak berkedip terus menatap tajam mayat berambut gondrong didepanku. Pikiranku kembali megingat tatto bergambar ular cobra dengan lidah yang menjulur-julur. “Persis apa yang kuduga, kaulah orangnya,” terbayar sudah dendamku padanya. Nenek menarik tanganku dengan kuat, “ayo pulang!” ajak nenek.
            Sebelum pulang nenek masih sempat mengambil kue serabih yang terbungkus daun jati yang berada diatas meja. Penjualnya tak tahu kemana perginya, dan aku lihat tungku yang berisi bara kayu bakar telah padam. Dan sayup-sayup aku mendengar suara dari warung makan, “petrus, petrus”. Aku tak tahu apa arti kata itu, baru beberapa tahun aku mengetahuinya, setelah rasa ketakutan, kecemasan, kekhawatiran dan dendam dalam hati perlahan hilang terkubur bersama nama pemberian bapakku, Jurang Penatas, dan kini berganti dengan nama baru dari nenekku Sijianto. Dendamku terbayar sudah oleh penembak misterius.

Bangilan, 6 Pebruari 2017.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening Bangilan.




Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda