Jurang Penatas
Oleh. Rohmat Sholihin*
Jika malam itu aku tidur dirumah, bisa dipastikan leherku
ikut putus. Terbabat oleh sekelompok orang yang telah membantai bapakku didepan
ibu dan adik-adikku. Tuhan masih memberikan kesempatan padaku untuk menghirup udara
dan berjibaku dalam duniaNya. Ceritanya begini:
Malam belum begitu larut,
bapak sedang menerima tamunya diruang tamu. Aku dan adik-adikku juga belum
tidur, masih berkumpul dikamar ibu sambil ikut mendengarkan percakapan bapak
dengan tamunya. berambut gondrong dan kekar. Di lengan kanannya ada gambar tato
ular cobra, melingkar dan menjulurkan lidahnya yang bercabang. Mengerikan. Jika
aku melihat gambar ular itu otakku membayangkan cerita dari guru ngajiku, Kyai
Umar namanya. Bahwa ular yang berbisa itu identik dengan iblis. Mulutnya yang
penuh racun mematikan, dulu digunakan tempat persembunyian iblis sewaktu
menyusup kembali ke surga dan akan berbuat jahat terhadap Adam. Tuhan marah dan
mengutuk ular, dan mulutnya yang telah digunakan tempat persembunyian Iblis
berubah menjadi mulut yang penuh dengan racun dan bisa. Dan tubuh ular yang
indah berkaki berubah menjadi hewan melata yang tak punya kaki. Sedangkan Iblis
dikutuk Tuhan tak kan bakal kembali menginjak surga. Tiba-tiba aku kaget
mendengar mereka yang sedang berbincang-bincang diruang tamu dengan suara yang
membentak.
“Pengkhianat! Kenapa kau
buka mulut pada polisi.” Bentak orang gondrong itu pada bapakku. Aku tak kenal
namanya. Aku hanya melihat sekilas dari tirai kamarku. Ibuku melarangku keluar.
Hanya dari lubang daun pintu aku menyaksikan keberanian bapakku menghadapi
orang gondrong itu.
“Karena keadaan. Jika aku
tak bilang sama polisi. Kau hanya akan tertawa-tawa melihatku dari luar jeruji
penjara. Kau bebas bergerak sesuka hati sedang aku meringkuk dalam penjara
akibat ulahmu itu. Polisi akan menjadikan akulah pelakunya.” Jawab bapak
lantang.
“Kau payah, kau mau minta
bagian berapa?” Tanya orang gondrong itu lagi.
“Loh aku tidak minta bagian,
kang. Kau yang beraksi dan ini wilayahku. Kenapa waktu aku melarangmu untuk
tidak merampok diwilayahku kau tetap nekat melakukannya. Seluk beluk daerah ini
aku tahu semuanya, mulai dari lubang semut dan lubang tikus, aku hafal.” Jelas
bapak dengan gagah.
“Kau ini seperti siapa saja,
kau kan juga bekas perampok.”
“Tak usah membawa masa lalu,
aku sudah tidak melakukan kejahatan itu lagi. Aku punya tanggung jawab menjaga
keamanan daerah ini, kang. Tak usah mencoba untuk mengancamku. Aku masih punya
nyali jika harus melawan komplotanmu.”
“Kau mengajak perang?”
“Kau yang lebih dulu
mengancam.”
“Ah, kau ini seperti orang
suci saja. Seperti tak pernah melakukan dosa, sejak kapan kau mulai seperti
kyai? Kau masih ingat, jika kau dulu juga banyak merugikan orang lain, mulai
memukuli orang, mencuri, merampok, bahkan berapa anak perawan yang telah kau
buntingi?”
“Cukup! Tak usah membawa
masa lalu lagi, masa itu sudah aku kubur, jika kau mengungkit sekali lagi,
kucincang kau! Ini rumahku, aku berhak mengatur segalanya.”
“Ha…ha…kau marah, kang.
Memang aku berbohong? Jika kenyataannya dulu kau begitu, kau telah….” Belum selesai
orang gondrong itu bicara, bapak telah bergerak cepat membungkam mulutnya
dengan mencekik lehernya.
“Berani bicara itu lagi,
patah lehermu!”
“Ampun, kang, ampun,
lepaskan.”
“Pergi dari rumahku, sebelum
aku habisi kau.”
“Baik kang.”
Dengan tertatih-tatih orang
gondrong itupun berlalu. Dalam sekejap tubuhnya sirna ditelah gelap malam.
Namun kejadian malam itu bukanlah kejadian yang telah
selesai. Masih terjadi lagi pada suatu malam, lima hari setelah kejadian itu.
Dan bapak harus binasa dengan tubuh yang hancur lebur yang diketemukan terkapar
di bawah Jembatan, akibat dikeroyok segerombolan orang satu truk. Dan masih
orang gondrong itu biangnya. Mereka juga sempat mengincarku dan akan
mencincangku. Tapi malam itu, aku sedang tidak tidur dirumah, aku sedang berada
dirumah temanku. Kenapa ia mengincarku? Akulah satu-satunya anak lelaki bapak.
Bapakku memberikan nama padaku, Jurang Penatas. Aku tak tahu arti nama itu.
Hanya ibu pernah sedikit cerita padaku, bapak menganggap bahwa hidup itu harus
ada jurang pemisah, antara yang baik dan yang buruk karena dalam hidupnya,
bapak sebagai perampok dan suatu saat ingin bertobat. Buktinya bapak berhasil
bertobat meski harus menerima kematian dengan cara yang mengenaskan. Sejak
pasca pengeroyokan itu ibuku merasa khawatir dengan keselamatanku. Aku
dititipkan pada nenek dikampung ibuku. Meski tidak aman seratus persen,
setidaknya ada perlindungan dari saudara-saudara ibu. Jika aku melihat orang
yang berambut gondrong hatiku selalu mendesir, ada sedikit kebencian dan
kewaspadaan aku padanya. Meski itu bukan pelakunya. Tak tahu jiwaku
meronta-ronta ingin menaruh kemarahan dan dendam yang menyala-nyala pada orang
yang berambut gondrong.
Mau tak mau, nenek mengganti namaku. Dari Jurang Penatas
menjadi Sijianto. Berhari-hari aku menjalani kehidupan seperti orang yang
terancam, gusar dan terkadang sering tidak nyaman berada diluar rumah
sendirian. Aku takut dan membayangkan jika tiba-tiba orang gondrong itu datang
dan menangkapku lalu membunuhku. Hingga rasa takut itu menjelma menjadi dendam
yang berkepanjangan. Dalam hatiku terbersit ingin membalas kematian bapak. Aku
harus bisa membunuhnya. Tapi kemana aku harus mencarinya? Sedang aku tak tahu
tempat kebereadaannya. Hanya takut dan dendam yang menyeruak dalam dada tak ada
henti-hentinya dan selalu bertanya-tanya.
Hingga suatu
minggu pagi, ditahun 1983. Depan pasar dekat rumahku. Nenek mengajakku beli kue
serabih. Pasar masih lengang, hanya ada beberapa orang berlalu lalang membawa
barang dagangan yang telah dibungkus dalam karung, orang dulu menyebutnya
gelangsing. Ada barang sayuran, kelapa, buah pisang dan juga buah nangka, dan
masih banyak yang lain. Aku tak begitu tertarik dengannya. Mataku masih
tertarik dengan tangan-tangan cekatan tukang serabih yang mengaduk-aduk adonan
serabih lalu menuangkannya ke dalam cobek yang telah dibakar ditungkunya.
Mengepul-ngepul asapnya dengan aroma kue serabih yang menggoda, aku dan nenekku
dengan setia menunggu giliran didepan tungku perapian yang hangat, meski
asapnya membuat mata ini perih. Namun, itu takkan menjadi kendala jika
dibandingkan dengan rasa kue serabih yang lezat. Sebentar lagi kue yang
menumpuk didepanku ini akan memenuhi perutku yang lapar.
“Tooollooong…” Tiba-tiba
teriakan itu membuyarkan lamunanku tentang kue serabih yang mengepul-ngepul.
Aku lihat seorang wanita paruh baya berlari sambil berteriak histeris.
Tangannya menunjuk pada sebuah karung yang tergeletak dekat bangunan prasasti
proklamasi depan pasar. Sambil berteriak, “ada mayaaaat.” Dan sontak membuat seisi pasar gempar. Orang-orang
yang berlalu-lalangpun berhenti, seakan-akan aktifitas pasar lumpuh total,
dalam waktu sekejap karung yang berisi mayat itu menjadi tontonan banyak orang,
termasuk aku dan nenek ikut melihat dari dekat. Polisi, pejabat pasar dan
kepala desa dengan perasaan gugup mengeluarkan mayat itu dari dalam karung. Aku
tersentak ketika melihat mayat berambut gondrong dengan keadaan mengenaskan,
tangan diikat, hanya cukup memakai celana dalam, tubuhnya menghitam, dadanya
bolong tertembus peluru, ada bekas darah dan luka disekitar dada dan perutnya.
Hatiku berdetak semakin cepat, perasaan cemas dan penasaran semakin mengikat,
tiba-tiba aku teringat bapak ketika diketemukan di bawah jembatan dalam keadaan
mengenaskan. Dendam, kebencian menjadi-jadi dalam hati. “Apakah ini orang yang
berambut gondrong malam itu yang datang ke rumah dan mengancam bapak?” bisik
hatiku. Aku semakin penasaran, dan mataku sedikitpun tak berkedip terus menatap
tajam mayat berambut gondrong didepanku. Pikiranku kembali megingat tatto
bergambar ular cobra dengan lidah yang menjulur-julur. “Persis apa yang kuduga,
kaulah orangnya,” terbayar sudah dendamku padanya. Nenek menarik tanganku
dengan kuat, “ayo pulang!” ajak nenek.
Sebelum pulang nenek masih sempat mengambil kue serabih
yang terbungkus daun jati yang berada diatas meja. Penjualnya tak tahu kemana
perginya, dan aku lihat tungku yang berisi bara kayu bakar telah padam. Dan
sayup-sayup aku mendengar suara dari warung makan, “petrus, petrus”. Aku tak
tahu apa arti kata itu, baru beberapa tahun aku mengetahuinya, setelah rasa
ketakutan, kecemasan, kekhawatiran dan dendam dalam hati perlahan hilang
terkubur bersama nama pemberian bapakku, Jurang Penatas, dan kini berganti
dengan nama baru dari nenekku Sijianto. Dendamku terbayar sudah oleh penembak
misterius.
Bangilan, 6 Pebruari 2017.
*Penulis anggota Komunitas
Kali Kening Bangilan.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda