Sabtu, 11 Februari 2017

Membaca Pram: Hidup, Karya & Penjara

Ngaji Literasi # 11
Komunitas Kali Kening Bangilan






Sekelumit Masa Kecil Pram
Di negeri kita tercinta Indonesia pernah lahir sastrawan kondang, yaitu Pramoedya Ananta Toer, lahir di Jetis-Blora-Jawa Tengah, 6 Pebruari 1925 dan meninggal di Jakarta 30 April 2006 dalam usia 81 tahun. Ia lahir dari seorang ibu yang bernama Oemi Saidah atau Siti Kadariyah anak Penghulu Rembang yang bernama Haji Ibrohim dari selirnya Satimah, ayahnya bernama Mastoer berasal dari Kediri. Pram tumbuh kembang seperti anak pada umumnya, hanya saja ia sudah mulai belajar menulis sejak kecil. Sebagai anak pertama, ibunya selalu memberikan semangat hidup kepada Pram. Salah satu pesan dari ibunya kepada Pram adalah mendorongnya agar menjadi orang yang mandiri dan kuat. Masa kecil Pram banyak berada di daerah Blora. Ki Panji Konang yang pernah menjadi teman Pram sewaktu kecil di sekolah angka tiga, bertutur bahwa Pram sewaktu habis pelajaran sekolah sering mengajak teman-temannya bermain di halte pasar Blora. Di sana, mereka diajak Pram utnuk mencari bungkus rokok. Bungkus-bungkus rokok tersebut kemudian dijadikan mainan, tetapi kebanyakan oleh Pram dibuat alas untuk menulis.
Ada pula data yang menyebutkan tentang masa kecil Pram sangat tertindas, terutama oleh perlakuan ayahnya yang terlalu keras dan berdisiplin tinggi. Pram pernah dikatakan sebagai anak goblok karena pernah tidak naik kelas hingga tiga kali sewaktu masih sekolah dasar. Saat ingin melanjutkan ku MULO (setingkat SMP), Pram ditentang oleh ayahnya yang mengatakan dirinya adalah anak bodoh, tidak pantas melanjutkan sekolah, dan lebih baik kembali mengulang di sekolah dasar. Kondisi tertekan yang terus - menerus karena perlakuan ayahnya mengakibatkan psikologis Pram labil di masa kecil. Kemudian, hal ini menyebabkan pergaulan Pram semasa kecil pun bukanlah dari kalangan menengah ke atas melainkan kalangan masyarakat bawah, seperti anak petani dan anak buruh di desanya. Ia merasa lebih bisa menjadi manusia ketika bersama dan bermain dengan mereka ketimbang harus bersama dan bermain dengan anak - anak kalangan terdidik menengah ke atas. Pram mulai pendidikan formalnya di SD Blora, Radio Volkschool Surabaya pada tahun 1940 - 1941. Kemudian, melanjutkan ke Taman Dewasa/Taman Siswa pada 1942-1943. Lantas, ke Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo dan sekolah Stenografi 1944-1945, dan pernah ke Sekolah Tinggi Islam Jakarta, pada 1945.
Karya Pram
Memahami pribadi Pram seperti memahami kata-kata dan kalimat-kalimat yang ada dalam setiap buku-buku karyanya. Meledak-ledak emosinya dan penuh intrik. Apabila jika karyanya dinilai ibarat masakan, pedas tak terkira. Namun ada juga sisi kelembutan yang hangat disetiap menampilkan tokoh utamanya misalkan tokoh Minke, seorang pejuang yang dingin memainkan penanya untuk melawan terhadap ketimpangan hidup disekitarnya. Ketidakadilan dan penindasan terhadap anak bangsa yang telah lama hidup dalam belenggu keterjajahan. Anak pribumi yang selalu menjadi jongos di rumahnya sendiri, menjadi bulan-bulanan sistem penjajah yang telah rapat mengurung corak berfikirnya, tak ada ruang sedikitpun untuk kebebasan sekalipun hanya untuk bernafas. Penjajahan, menguasai orang yang lemah, tak ada nyali untuk melawan penguasa bahkan sekali melawan, nyali telah diratakan dan dibumi hanguskan. Menjajah bukan hanya persoalan membunuh dan dibunuh tapi menjajah lebih dari itu, mengeruk harta sumber daya alam seenaknya juga bagian dari jiwa-jiwa menjajah. Memperlakukan orang-orang lemah seperti jongos juga bagian dari menjajah. Melestarikan budaya feodal juga bagian dari menjajah. Bahkan orang-orang tak boleh pintar juga bagian dari menjajah.
            Pram menggambarkan dialektika realis sosialisme dalam karyanya dengan apik dan perlahan-lahan pula. Seperti kisah Perburuan, menggambarkan betapa menderitanya kehidupan waktu itu. Banyak orang-orang pribumi yang harus merelakan waktunya untuk tidur di bawah kolong jembatan akibat dari sistem sosial yang telah diberangus oleh sistem kolonialisme. Sistem sosial kita diporak-porandakan, kriminal meningkat dan orang terlunta-lunta mencari peraduan hidup damai dibuminya sendiri yang telah dirampas secara paksa. Semua itu bukan kesalahan dari sistem kolonialisme saja tapi karena kebiasaan dan budaya kita sendiri yang terkadang membenarkan sistem feodalisme. Ada pembedaan-pembedaan dari sistem sosial kita, dimana kelas-kelas sosial kita dibuat seperti terkotak-kotak, ada kelas penguasa, ada kelas tuan tanah, ada kelas ningrat dan juga ada kelas kere atau rakyat jelata yang tak punya apa-apa.  Seharusnya itu mulai dihindarkan, sebab dimata Tuhan bahwa manusia adalah sama, yang membedakan adalah tingkat ketaqwaan dan keimanan seseorang itu sendiri, meski ia lahir dan dibesarkan dilingkungan budak sekalipun jika ia mempunyai tingkat ketaqwaan dan keimanan yang tinggi ia akan mempunyai derajat yang tinggi pula. Namun, pada kenyataannya realitas itu sulit ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat kecuali pada zaman nabi Muhammad dan para sahabat-sahabatnya. Nabi Muhammad menggunakan sistem dakwah yang sangat hebat, yaitu tidak pernah membeda-bedakan status sosial personalnya. Sehingga lambat laun ajaran yang disampaikan dapat diterima oleh segala kalangan baik dari kalangan budak, kalangan bangsawan, kalangan pedagang, dan tentu saja kaum perempuan. Banyak juga sahabat-sahabat nabi Muhammad yang hidup tertindas. Namun nabi Muhammad tidak pernah lelah terus memberikan semangat dan pertolongan pada kaumnya.
            Karya Pram juga hampir semua menyuarakan pembelaan terhadap ketimpangan sosial, ketertindasan sistem sosial yang banyak ia angkat ke permukaan agar bisa menjadi kajian anak bangsa secara kritis tanpa harus bermusuhan. Karena memang bukan untuk dimusuhi tapi untuk dikaji pemikiran-pemikiran yang lahir dalam bentuk tulisan-tulisan yang berguna bagi perkembangan khasanah literasi untuk masa depan anak bangsa sebagai bahan rujukan dan referensi keilmuan. Meski ia sendiri harus berdarah-darah dalam penjara kurang lebih 14 tahun oleh rezim penguasa yang sebenarnyapun tak berpengaruh dalam kekuasaannya. Banyak fitnah yang bertubi-tubi mulai dari komunis, makar, hanya untuk mengkerdilkan nyali pemikirannya yang brilian. Buktinya tidak terbukti. Pengarang tidak untuk diklaim salah dari hasil karangannya, tapi perlu untuk diberi kesempatan bersuara dengan penjelasan-penjelasan yang berdasarkan data-data yang telah diambil sebagai bahan penelitiannya. Seperti contoh karya Pramoedya dalam Arus Balik yang kontoversial itu, banyak orang beradu argumentasi tentang hasil tulisannya. Boleh saja, karena seribu alasan bisa saja kemungkinan terjadi. Ada yang mengatakan Pramoedya ngawur dengan berdasarkan ketidaksetujuannya menggambarkan tentang tokoh Sunan Kalijaga yang tidak sesuai gambaran aslinya, ada yang mengatakan hasil rekaannya saja, bahkan ada yang mengatakan bahwa itu hasil pergolakan batinnya yang terlalu lama dalam penjara, sehingga Pram banyak memahami tentang ilmu kebatinan, ada yang mengatakan ini adalah karya semacam epos, dan tentu saja masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang terus bisa saja terjadi. Karena menurut Pram sendiri bahwa menulis adalah suatu keberanian. Karena ketika tulisan dimunculkan dalam karya dan dibaca oleh banyak kalangan dalam situasi apapun kemungkinan bisa saja terjadi kritik dan cercaan yang kita terima. Tapi kita harus kuat, karena tulisan yang telah kita tulis ibaratnya perut kita merasa mual dan berhasil dimuntahkan, lega kan! Tak harus dengan cara kekerasan untuk mengadili hasil karya seseorang. Beda boleh tapi harus juga dibuktikan dengan karya yang tidak boleh kalah dengan yang diadili, jangan hanya bisa mengkritik saja karena tak jauh beda dengan omong kosong belaka.
            Kita telah banyak diajari Pram bagaimana memposisikan diri kita sebagai pengarang dan penulis. Meski kita bukan penulis kondang seperti beliau. Tapi agar kita punya dukungan moril serta kepercayaan bahwa untuk menjadi penulis setidaknya punya modal idealis untuk berani menyuarakan ide dan gagasan. Menulis tidak rugi, menulis membuat kita sebagai seorang ksatria karena dalam menulis sebenarnya upaya pembelaan terhadap dirinya sendiri dan orang lain, tak salah jika Pram mengatakan bahwa menulis adalah tugas nasional. Bukan berarti semua orang harus menjadi penulis, ya setidaknya banyak orang yang secara tidak sadar selalu berhubungan dengan menulis meski hanya menullis dalam nota atau karcis pasar sekalipun atau menulis surat untuk kekasihnya, yang jelas tulisan, sekali lagi, tulisan adalah sarana untuk memberi pengertian bahwa tulisan adalah penting. Maka dari itu tulisan ada untuk dibaca bukan dihancurkan, jika tak suka buang saja ke tong sampah tapi jangan dibakar.
Adapun karya-karya Pram antara lain:
Sedangkan Penghargaan yang Diperoleh Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut:
1. Pada 1951 : First Prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive)
2. Pada 1953 : Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales from Blora)
3. Pada 1964 : Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales from Jakarta)-declined by writer.
4. Pada 1978 : Adopted member of the Netherland Center During Buru exile.
5. Pada 1982 : Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center, Australia.
6. Pada 1982 : Honarary member of the P.E.N. Center Sweden.
7. Pada 1987 : Honarary member of the P.E.N. American Center, USA.
8. Pada 1988 : Freedom to Writer Award from P.E.N. America
9. Pada 1989 : Deutschsweizeriches P.E.N. member, Zentrum, Switzerland.
10. Pada 1989 : The Fund for Free Expression Award, New York, USA.
11. Pada 1992 : International P.E.N. English Center Award, Great Britain.
12. Pada 1995 : Stichting Wertheim Award, Netherland.
13. Pada 1995 : Ramon Magsaysay Award, Philiphine.
14. Pada 1995 : Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated constantly since 1981) dan UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996).
Pram dibesarkan oleh Penjara
Namun Pramoedya harus menebus berat hidupnya dengan penjara. Ia dibesarkan oleh penjara, karena hampir belasan tahun mendekam dalam penjara bahkan bernasib menjadi orang buangan atau tahanan politik oleh kekuasaan yang berkuasa. Tiada kata jera meski penjara memberangus pikiran Pram. Manusia bukanlah seonggok gabus yang hilang ditelan ombak pantai, manusia bagaimanapun rupa dan bentuknya ia tetap manusia, dengan hatinya ia masih bisa bersuara dan melawan meski segala keterbatasan telah dilumpuhkan. Karena sejarah dan manusia adalah saudara dan sulit dipisahkan. Manusia tanpa sejarah tak ubahnya seperti tikus got yang hanya sibuk mencari makan, kawin, lalu mati. Manusia yang membangun sejarah akan melahirkan peradaban, dan dunia tanpa peradaban akan seperti dunia tanpa busana, telanjang, seperti manusia purba tak ubahnya hidup seperti hewan. Manusia punya fase-fase perkembangan, baik fisik dan juga kebudayaannya. Menusialah yang mengisi dan menorehkan sejarah untuk peradaban. Sedangkan bukti peradaban manusia adalah pemikiran, karya tulis, bahasa, bangunan, dan juga tradisi.
Dari balik jeruji penjara, Pram tak ada niat sejengkalpun untuk berkata berhenti dari menulis. Bahkan suara dalam tulisan Pram makin menggila, dan berkobar-kobar, membakar jiwa. Seperti syair dari pengagumnya, Linda Tria Sumarno,

Bacalah…
Dan bakarlah
Semangatmu…
Bacalah…
Dan bakarlah
Kesombonganmu…
Bacalah…
Dan bakarlah
Ketidakadilan...
Budaya membaca untuk menumbuhkan budaya menulis…

Pram takkan tinggal diam dan berpangku tangan meski dalam jeruji penjara. Ketidakadilan harus terus dilawan dan keadilan harus terus ditegakkan. Meski lewat tulisan dan buku-buku karyanya, Pram selalu mencoba berteriak meski hatinya terpasung oleh penjara. Penjara terlalu kecil bagi jiwanya yang besar. Penjara hanya membatasi tubuhnya tapi pikirannya telah menyeruak kemana-mana, bergentayangan seperti hantu-hantu yang penasaran terhadap pembebasan dan kemerdekaan. Seperti Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, salah satu bukti bahwa dirinya telah berada di pulau pembuangan Pulau Buru, Maluku. Ditempat itu ada banyak orang-orang yang terasing dari sistem sosialnya dan melakukan aktivitas hidup yang terisolasi dan serba terbatas. Tak tahu dan jauh dari sentuhan keluarganya, dari masyarakatnya, dan juga dari tradisi-tradisinya, mereka harus kuat bertahan dengan keadaan apapun meski dalam situasi pembuangan, bahwa kita masih diberi kesempatan hidup dan bernafas merupakan anugerah terindah dari sang pencipta. Banyak juga cara untuk kuat bertahan dalam pembuangan dan sakit hati dalam bentuk kekecewaaan. Pram mencoba bertahan dengan caranya sendiri untuk kuat bertahan mendekam dalam jeruji penjara, yaitu dengan cara mengosongkan pikirannya dari beban-beban pikiran yang masih mendekam dalam otaknya ketika hendak beristirahat, tubuhnya ditelentangkan pada bale atau lantai, pikirannya dibiarkan kosong, dalam ritmik tertentu menarik nafas lalu dihembuskan perlahan, tak jauh beda dengan meditasi, tak usah takut, semua permasalahan pasti akan berlalu dengan sendirinya, cara itu dilakukan berulang-ulang agar udara oksigen dalam otak mampu terpenuhi. Dan ketika tidur, beban-beban itupun berlalu. Tak ayal, meski dalam pembuangan dan tekanan dari kekuasaan, Pram melahirkan tetralogi Buru yang sangat fantastik, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan masih ada lagi catatan-catatan khusus seperti Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2, Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer.Nasib-sebagai orang buangan memang sangat tragis. Dalam buku Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer mengisahkan betapa kejamnya seorang manusia dalam memperlakukan seorang manusia. Bahkan melebihi binatang sekalipun. Manusia yang punya harga diri dipaksa untuk menghilangkan harga dirinya, kebusukan dan kebejatan manusia melebihi batas-batas kewajaran sebagai anak manusia, manusia dihempaskan dalam lumpur kenistaan oleh manusia, manusia dihabisi juga oleh manusia, manusia dibelenggu juga oleh manusia, manusia menjadi entitas tertinggi terhadap manusia. Manusia yang hidup dimuka bumi ini melebihi kekuasaan Tuhan, mengatur, memerintah, menyiksa, dan membunuh bisa saja terjadi terhadap manusia. Membahas sisi manusia tak kan pernah usai. Selalu berkesinambungan sepanjang masa. Dan kembali pada sisi sejarah bahwa anak manusia tak bisa terlepas dari sejarah meski kecenderungan akan terulang kembali.
 Seperti Pram, keluar masuk penjara hanya karena bekerja untuk keabadian, menulis permasalahan demi permasalahan disekitar kita. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia rasakan hampir komplit terekam dalam memori Pram dan kemudian lahirlah tulisan. SepertiGadis Pantai dengan kritis ia ingin menghilangkan tradisi feodalisme Jawa yang masih kental hubungan antara priyayi dengan kelas bawah yang terjadi tidak wajar. Ada sekat hubungan kedua kelas ini, bahkan berlaku bagi hubungan suami-istri, dimana perbedaan kelas terjadi antara suami yang priyayi dan si istri yang kelas bawah dari masyarakat miskin pantai. Hubungan yang kaku dan kurang pantas disebut sebagai manusia yang sama dihadapan Tuhan. Ketika si suami sudah puas dengan perempuannya, bahkan sudah keluar anak keturunannya, tak perduli, kita memang beda kelas, pergi saja, dan kembali ke habitatmu pada kelas rendahan didaerah pantai, bahkan anak keturunannya sedikitpun tak boleh ia jamah, meski dengan susah payah gadis lugu itu melahirkan anak dari rahimnya sendiri sebagai darah daging yang telah menyatu. Benar tidaknya tulisan yang telah digagas Pram, kita semua bertanya-tanya, banyak penilaian yang keluar sebagai kritik sastra, Pram sungguh terlalu dalam menciptakan tokoh antagonis, seorang tokoh Bendoro yang paham betul dengan agama melakukan perbuatan yang tidak manusiawi, yaitu memperlakukan perempuan istrinya sendiri seperti orang lain, bahkan dengan tega mengusirnya dari rumah ketika semua keinginan tuan Bendoro terpenuhi, tentu saja kebutuhan nafsu seks dari gadis lugu yang belum tahu apa-apa. Dan boleh saja para pembaca mempunyai penafsiran yang berbeda-beda melalui kritik sastra dari sudut pandang yang berbeda-beda pula. Karena sebuah sastra lahir atau ditulis oleh seseorang bukan untuk gagah-gagahan tapi sedikitnya ada dan terjadi pada alam nyata, meski pada dasarnya seorang pengaranglah yang pandai atau tidaknya meracik bumbu-bumbu dalam tulisannya, sehingga tulisan itu terkesan hidup untuk berbicara mewakili kenyataan yang sebenarnya pada masyarakat luas. Bukankah feodalisme Jawa sudah ada sejak tumbuh kerajaan-kerajaan di tanah Jawa? Dan budaya Patrial masih mendominasi kuat diatas kaum Matrial. Disinilah kejelian Pram dalam menggambarkan ketimpangan kebiasaan hubungan dua kubu anatara laki-laki dan perempuan. Apakah selamanya kaum perempuan menjadi tertindas atas laki-laki?, apakah selamanya kaum perempuan menjadi sumber eksploitasi oleh kaum laki-laki? Inilah yang harus kita sikapi bahwa kesetaraan gender itu penting, meski ada juga batas-batasnya. Bolehlah tokoh antagonis Tuan Bendoro dalam Gadis Pantai yang ditulis oleh Pram itu kebablasan, tapi setidaknya itulah gambaran sejarah tradisi Jawa yang terus melakukan evolusi dari hari ke hari agar tidak kembali pada tradisi yang kaku yaitu priyayi centris.
Penjara-penjara yang telah membesarkan namanya:
Ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru, Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan (13 Oktober 1965– Juli 1969, Juli 1969 – 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 – 12 November 1979 di Pulau Buru, November – 21 Desember 1979 di Magelang). Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September, tetapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Pram akhirnya juga mengakui bahwa ketragisan hidup dalam penjara ke penjara ada hikmah dibalik itu semua, yaitu Pram punya kesempatan dan waktu lebih banyak dalam menulis dan membaca buku-bukunya, meski kebiasaannya menulis sempat juga dipaksa untuk berhenti, tapi menulis tidak harus diatas kertas putih, bisa juga dimedia-media lain yang bisa digunakan unruk menulis, menulis, dan menulis. Lahirlah tulisan dalam cangkang telur-telur ayam piaraannya dipulau Buru, didinding-dinding, dibatu-batu bahkan menulis dalam pikirannya sendiri, terekam cekam dalam kegusarannya sendiri, dan sendirian ia bagai orang marah dan haus akan kemerdekaan sebagaimana orang normal pada umumnya. Kebebasan, makhluk yang harus ia perjuangkan mati-matian dengan berbagai tulisan. Penjara tak kan bisa membunuh dan memberangus ide dan pemikiran Pram. Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.

Bangilan, 12 Pebruari 2017.

Makalah ini untuk Kajian Literasi # 11 oleh Komunitas Kali Kening Bangilan..

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda