Membaca Pram: Hidup, Karya & Penjara
Ngaji Literasi # 11
Komunitas Kali Kening
Bangilan
Sekelumit Masa Kecil Pram
Di negeri
kita tercinta Indonesia pernah lahir sastrawan kondang, yaitu Pramoedya Ananta
Toer, lahir di Jetis-Blora-Jawa Tengah, 6 Pebruari 1925 dan meninggal di
Jakarta 30 April 2006 dalam usia 81 tahun. Ia lahir dari seorang ibu yang
bernama Oemi Saidah atau Siti Kadariyah anak Penghulu Rembang yang bernama Haji
Ibrohim dari selirnya Satimah, ayahnya bernama Mastoer berasal dari Kediri.
Pram tumbuh kembang seperti anak pada umumnya, hanya saja ia sudah mulai
belajar menulis sejak kecil. Sebagai anak pertama, ibunya selalu memberikan
semangat hidup kepada Pram. Salah satu pesan dari ibunya kepada Pram adalah
mendorongnya agar menjadi orang yang mandiri dan kuat. Masa kecil Pram banyak
berada di daerah Blora. Ki Panji Konang yang pernah menjadi teman Pram sewaktu
kecil di sekolah angka tiga, bertutur bahwa Pram sewaktu habis pelajaran
sekolah sering mengajak teman-temannya bermain di halte pasar Blora. Di sana,
mereka diajak Pram utnuk mencari bungkus rokok. Bungkus-bungkus rokok tersebut
kemudian dijadikan mainan, tetapi kebanyakan oleh Pram dibuat alas untuk
menulis.
Ada pula data
yang menyebutkan tentang masa kecil Pram sangat tertindas, terutama oleh
perlakuan ayahnya yang terlalu keras dan berdisiplin tinggi. Pram pernah
dikatakan sebagai anak goblok karena pernah tidak naik kelas hingga tiga kali
sewaktu masih sekolah dasar. Saat ingin melanjutkan ku MULO (setingkat SMP),
Pram ditentang oleh ayahnya yang mengatakan dirinya adalah anak bodoh, tidak
pantas melanjutkan sekolah, dan lebih baik kembali mengulang di sekolah dasar.
Kondisi tertekan yang terus - menerus karena perlakuan ayahnya mengakibatkan
psikologis Pram labil di masa kecil. Kemudian, hal ini menyebabkan pergaulan
Pram semasa kecil pun bukanlah dari kalangan menengah ke atas melainkan
kalangan masyarakat bawah, seperti anak petani dan anak buruh di desanya. Ia
merasa lebih bisa menjadi manusia ketika bersama dan bermain dengan mereka
ketimbang harus bersama dan bermain dengan anak - anak kalangan terdidik
menengah ke atas. Pram mulai pendidikan formalnya di SD Blora, Radio Volkschool
Surabaya pada tahun 1940 - 1941. Kemudian, melanjutkan ke Taman Dewasa/Taman
Siswa pada 1942-1943. Lantas, ke Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi
oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo dan sekolah Stenografi 1944-1945,
dan pernah ke Sekolah Tinggi Islam Jakarta, pada 1945.
Karya
Pram
Memahami pribadi Pram seperti memahami kata-kata dan kalimat-kalimat yang
ada dalam setiap buku-buku karyanya. Meledak-ledak emosinya dan penuh intrik.
Apabila jika karyanya dinilai ibarat masakan, pedas tak terkira. Namun ada juga
sisi kelembutan yang hangat disetiap menampilkan tokoh utamanya misalkan tokoh
Minke, seorang pejuang yang dingin memainkan penanya untuk melawan terhadap
ketimpangan hidup disekitarnya. Ketidakadilan dan penindasan terhadap anak
bangsa yang telah lama hidup dalam belenggu keterjajahan. Anak pribumi yang
selalu menjadi jongos di rumahnya sendiri, menjadi bulan-bulanan sistem
penjajah yang telah rapat mengurung corak berfikirnya, tak ada ruang sedikitpun
untuk kebebasan sekalipun hanya untuk bernafas. Penjajahan, menguasai orang
yang lemah, tak ada nyali untuk melawan penguasa bahkan sekali melawan, nyali
telah diratakan dan dibumi hanguskan. Menjajah bukan hanya persoalan membunuh
dan dibunuh tapi menjajah lebih dari itu, mengeruk harta sumber daya alam
seenaknya juga bagian dari jiwa-jiwa menjajah. Memperlakukan orang-orang lemah
seperti jongos juga bagian dari menjajah. Melestarikan budaya feodal juga
bagian dari menjajah. Bahkan orang-orang tak boleh pintar juga bagian dari
menjajah.
Pram menggambarkan dialektika realis
sosialisme dalam karyanya dengan apik dan perlahan-lahan pula. Seperti kisah Perburuan, menggambarkan betapa
menderitanya kehidupan waktu itu. Banyak orang-orang pribumi yang harus
merelakan waktunya untuk tidur di bawah kolong jembatan akibat dari sistem
sosial yang telah diberangus oleh sistem kolonialisme. Sistem sosial kita
diporak-porandakan, kriminal meningkat dan orang terlunta-lunta mencari
peraduan hidup damai dibuminya sendiri yang telah dirampas secara paksa. Semua
itu bukan kesalahan dari sistem kolonialisme saja tapi karena kebiasaan dan
budaya kita sendiri yang terkadang membenarkan sistem feodalisme. Ada
pembedaan-pembedaan dari sistem sosial kita, dimana kelas-kelas sosial kita
dibuat seperti terkotak-kotak, ada kelas penguasa, ada kelas tuan tanah, ada
kelas ningrat dan juga ada kelas kere
atau rakyat jelata yang tak punya apa-apa.
Seharusnya itu mulai dihindarkan, sebab dimata Tuhan bahwa manusia
adalah sama, yang membedakan adalah tingkat ketaqwaan dan keimanan seseorang
itu sendiri, meski ia lahir dan dibesarkan dilingkungan budak sekalipun jika ia
mempunyai tingkat ketaqwaan dan keimanan yang tinggi ia akan mempunyai derajat
yang tinggi pula. Namun, pada kenyataannya realitas itu sulit ditemukan dalam
kehidupan bermasyarakat kecuali pada zaman nabi Muhammad dan para
sahabat-sahabatnya. Nabi Muhammad menggunakan sistem dakwah yang sangat hebat,
yaitu tidak pernah membeda-bedakan status sosial personalnya. Sehingga lambat
laun ajaran yang disampaikan dapat diterima oleh segala kalangan baik dari
kalangan budak, kalangan bangsawan, kalangan pedagang, dan tentu saja kaum
perempuan. Banyak juga sahabat-sahabat nabi Muhammad yang hidup tertindas.
Namun nabi Muhammad tidak pernah lelah terus memberikan semangat dan
pertolongan pada kaumnya.
Karya Pram juga hampir semua
menyuarakan pembelaan terhadap ketimpangan sosial, ketertindasan sistem sosial
yang banyak ia angkat ke permukaan agar bisa menjadi kajian anak bangsa secara
kritis tanpa harus bermusuhan. Karena memang bukan untuk dimusuhi tapi untuk
dikaji pemikiran-pemikiran yang lahir dalam bentuk tulisan-tulisan yang berguna
bagi perkembangan khasanah literasi untuk masa depan anak bangsa sebagai bahan
rujukan dan referensi keilmuan. Meski ia sendiri harus berdarah-darah dalam
penjara kurang lebih 14 tahun oleh rezim penguasa yang sebenarnyapun tak
berpengaruh dalam kekuasaannya. Banyak fitnah yang bertubi-tubi mulai dari
komunis, makar, hanya untuk mengkerdilkan nyali pemikirannya yang brilian.
Buktinya tidak terbukti. Pengarang tidak untuk diklaim salah dari hasil
karangannya, tapi perlu untuk diberi kesempatan bersuara dengan
penjelasan-penjelasan yang berdasarkan data-data yang telah diambil sebagai
bahan penelitiannya. Seperti contoh karya Pramoedya dalam Arus Balik yang
kontoversial itu, banyak orang beradu argumentasi tentang hasil tulisannya.
Boleh saja, karena seribu alasan bisa saja kemungkinan terjadi. Ada yang
mengatakan Pramoedya ngawur dengan berdasarkan ketidaksetujuannya menggambarkan
tentang tokoh Sunan Kalijaga yang tidak sesuai gambaran aslinya, ada yang
mengatakan hasil rekaannya saja, bahkan ada yang mengatakan bahwa itu hasil
pergolakan batinnya yang terlalu lama dalam penjara, sehingga Pram banyak
memahami tentang ilmu kebatinan, ada yang mengatakan ini adalah karya semacam
epos, dan tentu saja masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang terus bisa saja
terjadi. Karena menurut Pram sendiri bahwa menulis adalah suatu keberanian.
Karena ketika tulisan dimunculkan dalam karya dan dibaca oleh banyak kalangan
dalam situasi apapun kemungkinan bisa saja terjadi kritik dan cercaan yang kita
terima. Tapi kita harus kuat, karena tulisan yang telah kita tulis ibaratnya
perut kita merasa mual dan berhasil dimuntahkan, lega kan! Tak harus dengan
cara kekerasan untuk mengadili hasil karya seseorang. Beda boleh tapi harus
juga dibuktikan dengan karya yang tidak boleh kalah dengan yang diadili, jangan
hanya bisa mengkritik saja karena tak jauh beda dengan omong kosong belaka.
Kita telah banyak diajari Pram
bagaimana memposisikan diri kita sebagai pengarang dan penulis. Meski kita
bukan penulis kondang seperti beliau. Tapi agar kita punya dukungan moril serta
kepercayaan bahwa untuk menjadi penulis setidaknya punya modal idealis untuk
berani menyuarakan ide dan gagasan. Menulis tidak rugi, menulis membuat kita
sebagai seorang ksatria karena dalam menulis sebenarnya upaya pembelaan
terhadap dirinya sendiri dan orang lain, tak salah jika Pram mengatakan bahwa
menulis adalah tugas nasional. Bukan berarti semua orang harus menjadi penulis,
ya setidaknya banyak orang yang secara tidak sadar selalu berhubungan dengan
menulis meski hanya menullis dalam nota atau karcis pasar sekalipun atau
menulis surat untuk kekasihnya, yang jelas tulisan, sekali lagi, tulisan adalah
sarana untuk memberi pengertian bahwa tulisan adalah penting. Maka dari itu
tulisan ada untuk dibaca bukan dihancurkan, jika tak suka buang saja ke tong
sampah tapi jangan dibakar.
Adapun karya-karya
Pram antara lain:
- Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit
Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
- Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali
Bekasi
- Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal oleh
pemerintah karena muatan komunisme)
- Keluarga Gerilya (1950)
- Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
- Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
- Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
- Bukan Pasar Malam (1951)
- Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang
dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
- Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang
dalam kumpulan cerpen
- Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik
dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
- Gulat di Jakarta (1953)
- Midah Si Manis Bergigi
Emas (1954)
- Korupsi (1954)
- Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di
tangan penerbit
- Cerita Dari Jakarta (1957)
- Cerita Calon Arang (1957)
- Sekali Peristiwa di
Banten Selatan
(1958)
- Panggil Aku Kartini
Saja (I & II, 1963; bagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
- Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di
berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
- Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13
Oktober 1965
- Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung,
bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung; jilid kedua dan ketiga dibakar
Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
- Sejarah Bahasa
Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13
Oktober 1965
- Realisme Sosialis dan
Sastra Indonesia
(1963)
- Lentera (1965), tak jelas nasibnya di
tangan penerbit
- Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
- Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
- Sikap dan Peran
Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
- Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
- Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
- Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung,
1985
- Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung,
1987
- Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
- Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung,
1995
- Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung,
1995
- Arus Balik (1995)
- Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
- Arok Dedes (1999)
- Mangir (2000)
- Larasati
(2000)
- Jalan Raya Pos, Jalan
Daendels (2005)
Sedangkan Penghargaan
yang Diperoleh Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut:
1. Pada 1951
: First Prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive)
2. Pada 1953
: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales from Blora)
3. Pada 1964
: Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales from Jakarta)-declined
by writer.
4. Pada 1978
: Adopted member of the Netherland Center During Buru exile.
5. Pada 1982
: Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center, Australia.
6. Pada 1982
: Honarary member of the P.E.N. Center Sweden.
7. Pada 1987
: Honarary member of the P.E.N. American Center, USA.
8. Pada 1988
: Freedom to Writer Award from P.E.N. America
9. Pada 1989
: Deutschsweizeriches P.E.N. member, Zentrum, Switzerland.
10. Pada 1989
: The Fund for Free Expression Award, New York, USA.
11. Pada 1992
: International P.E.N. English Center Award, Great Britain.
12. Pada 1995
: Stichting Wertheim Award, Netherland.
13. Pada 1995
: Ramon Magsaysay Award, Philiphine.
14. Pada 1995
: Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated
constantly since 1981) dan UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition
of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and
non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996).
Pram dibesarkan oleh Penjara
Namun
Pramoedya harus menebus berat hidupnya dengan penjara. Ia dibesarkan oleh
penjara, karena hampir belasan tahun mendekam dalam penjara bahkan bernasib
menjadi orang buangan atau tahanan politik oleh kekuasaan yang berkuasa. Tiada kata jera meski penjara memberangus pikiran Pram.
Manusia bukanlah seonggok gabus yang hilang ditelan ombak pantai, manusia
bagaimanapun rupa dan bentuknya ia tetap manusia, dengan hatinya ia masih bisa
bersuara dan melawan meski segala keterbatasan telah dilumpuhkan. Karena
sejarah dan manusia adalah saudara dan sulit dipisahkan. Manusia tanpa sejarah
tak ubahnya seperti tikus got yang hanya sibuk mencari makan, kawin, lalu mati.
Manusia yang membangun sejarah akan melahirkan peradaban, dan dunia tanpa
peradaban akan seperti dunia tanpa busana, telanjang, seperti manusia purba tak
ubahnya hidup seperti hewan. Manusia punya fase-fase perkembangan, baik fisik
dan juga kebudayaannya. Menusialah yang mengisi dan menorehkan sejarah untuk
peradaban. Sedangkan bukti peradaban manusia adalah pemikiran, karya tulis,
bahasa, bangunan, dan juga tradisi.
Dari balik jeruji
penjara, Pram tak ada niat sejengkalpun untuk berkata berhenti dari menulis.
Bahkan suara dalam tulisan Pram makin menggila, dan berkobar-kobar, membakar
jiwa. Seperti syair dari pengagumnya, Linda Tria Sumarno,
Bacalah…
Dan bakarlah
Semangatmu…
Bacalah…
Dan bakarlah
Kesombonganmu…
Bacalah…
Dan bakarlah
Ketidakadilan...
Budaya membaca untuk menumbuhkan budaya
menulis…
Pram takkan tinggal diam
dan berpangku tangan meski dalam jeruji penjara. Ketidakadilan harus terus
dilawan dan keadilan harus terus ditegakkan. Meski lewat tulisan dan buku-buku karyanya,
Pram selalu mencoba berteriak meski hatinya terpasung oleh penjara. Penjara
terlalu kecil bagi jiwanya yang besar. Penjara hanya membatasi tubuhnya tapi
pikirannya telah menyeruak kemana-mana, bergentayangan seperti hantu-hantu yang
penasaran terhadap pembebasan dan kemerdekaan. Seperti Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu, salah satu bukti bahwa dirinya telah berada di pulau
pembuangan Pulau Buru, Maluku. Ditempat itu ada banyak orang-orang yang
terasing dari sistem sosialnya dan melakukan aktivitas hidup yang terisolasi
dan serba terbatas. Tak tahu dan jauh dari sentuhan keluarganya, dari
masyarakatnya, dan juga dari tradisi-tradisinya, mereka harus kuat bertahan
dengan keadaan apapun meski dalam situasi pembuangan, bahwa kita masih diberi
kesempatan hidup dan bernafas merupakan anugerah terindah dari sang pencipta.
Banyak juga cara untuk kuat bertahan dalam pembuangan dan sakit hati dalam
bentuk kekecewaaan. Pram mencoba bertahan dengan caranya sendiri untuk kuat
bertahan mendekam dalam jeruji penjara, yaitu dengan cara mengosongkan
pikirannya dari beban-beban pikiran yang masih mendekam dalam otaknya ketika
hendak beristirahat, tubuhnya ditelentangkan pada bale atau lantai, pikirannya
dibiarkan kosong, dalam ritmik tertentu menarik nafas lalu dihembuskan perlahan,
tak jauh beda dengan meditasi, tak usah takut, semua permasalahan pasti akan
berlalu dengan sendirinya, cara itu dilakukan berulang-ulang agar udara oksigen
dalam otak mampu terpenuhi. Dan ketika tidur, beban-beban itupun berlalu. Tak
ayal, meski dalam pembuangan dan tekanan dari kekuasaan, Pram melahirkan
tetralogi Buru yang sangat fantastik, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan masih ada lagi catatan-catatan khusus
seperti Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2,
Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer.Nasib-sebagai orang buangan memang
sangat tragis. Dalam buku Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer mengisahkan
betapa kejamnya seorang manusia dalam memperlakukan seorang manusia. Bahkan
melebihi binatang sekalipun. Manusia yang punya harga diri dipaksa untuk
menghilangkan harga dirinya, kebusukan dan kebejatan manusia melebihi
batas-batas kewajaran sebagai anak manusia, manusia dihempaskan dalam lumpur
kenistaan oleh manusia, manusia dihabisi juga oleh manusia, manusia dibelenggu
juga oleh manusia, manusia menjadi entitas tertinggi terhadap manusia. Manusia
yang hidup dimuka bumi ini melebihi kekuasaan Tuhan, mengatur, memerintah,
menyiksa, dan membunuh bisa saja terjadi terhadap manusia. Membahas sisi manusia
tak kan pernah usai. Selalu berkesinambungan sepanjang masa. Dan kembali pada
sisi sejarah bahwa anak manusia tak bisa terlepas dari sejarah meski
kecenderungan akan terulang kembali.
Seperti Pram, keluar masuk penjara hanya
karena bekerja untuk keabadian, menulis permasalahan demi permasalahan
disekitar kita. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia rasakan
hampir komplit terekam dalam memori Pram dan kemudian lahirlah tulisan. SepertiGadis
Pantai dengan kritis ia ingin menghilangkan tradisi feodalisme Jawa
yang masih kental hubungan antara priyayi dengan kelas bawah yang terjadi tidak
wajar. Ada sekat hubungan kedua kelas ini, bahkan berlaku bagi hubungan
suami-istri, dimana perbedaan kelas terjadi antara suami yang priyayi dan si istri
yang kelas bawah dari masyarakat miskin pantai. Hubungan yang kaku dan kurang
pantas disebut sebagai manusia yang sama dihadapan Tuhan. Ketika si suami sudah
puas dengan perempuannya, bahkan sudah keluar anak keturunannya, tak perduli,
kita memang beda kelas, pergi saja, dan kembali ke habitatmu pada kelas
rendahan didaerah pantai, bahkan anak keturunannya sedikitpun tak boleh ia
jamah, meski dengan susah payah gadis lugu itu melahirkan anak dari rahimnya
sendiri sebagai darah daging yang telah menyatu. Benar tidaknya tulisan yang
telah digagas Pram, kita semua bertanya-tanya, banyak penilaian yang keluar
sebagai kritik sastra, Pram sungguh terlalu dalam menciptakan tokoh antagonis,
seorang tokoh Bendoro yang paham betul dengan agama melakukan
perbuatan yang tidak manusiawi, yaitu memperlakukan perempuan istrinya sendiri
seperti orang lain, bahkan dengan tega mengusirnya dari rumah ketika semua
keinginan tuan Bendoro terpenuhi, tentu saja kebutuhan nafsu seks dari gadis
lugu yang belum tahu apa-apa. Dan boleh saja para pembaca mempunyai penafsiran
yang berbeda-beda melalui kritik sastra dari sudut pandang yang berbeda-beda
pula. Karena sebuah sastra lahir atau ditulis oleh seseorang bukan untuk
gagah-gagahan tapi sedikitnya ada dan terjadi pada alam nyata, meski pada
dasarnya seorang pengaranglah yang pandai atau tidaknya meracik bumbu-bumbu
dalam tulisannya, sehingga tulisan itu terkesan hidup untuk berbicara mewakili
kenyataan yang sebenarnya pada masyarakat luas. Bukankah feodalisme Jawa sudah
ada sejak tumbuh kerajaan-kerajaan di tanah Jawa? Dan budaya Patrial masih
mendominasi kuat diatas kaum Matrial. Disinilah kejelian Pram dalam
menggambarkan ketimpangan kebiasaan hubungan dua kubu anatara laki-laki dan
perempuan. Apakah selamanya kaum perempuan menjadi tertindas atas laki-laki?,
apakah selamanya kaum perempuan menjadi sumber eksploitasi oleh kaum laki-laki?
Inilah yang harus kita sikapi bahwa kesetaraan gender itu penting, meski ada
juga batas-batasnya. Bolehlah tokoh antagonis Tuan Bendoro dalam Gadis
Pantai yang ditulis oleh Pram itu kebablasan, tapi setidaknya itulah
gambaran sejarah tradisi Jawa yang terus melakukan evolusi dari hari ke hari
agar tidak kembali pada tradisi yang kaku yaitu priyayi centris.
Penjara-penjara yang telah membesarkan namanya:
Ditahan tanpa
pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di
kawasan timur Indonesia. Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial
dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru, Pramoedya merasakan 14
tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan (13 Oktober 1965–
Juli 1969, Juli 1969 – 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 – 12
November 1979 di Pulau Buru, November – 21 Desember 1979 di Magelang).
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September,
tetapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota
dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim
Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Pram akhirnya juga
mengakui bahwa ketragisan hidup dalam penjara ke penjara ada hikmah dibalik itu
semua, yaitu Pram punya kesempatan dan waktu lebih banyak dalam menulis dan
membaca buku-bukunya, meski kebiasaannya menulis sempat juga dipaksa untuk
berhenti, tapi menulis tidak harus diatas kertas putih, bisa juga dimedia-media
lain yang bisa digunakan unruk menulis, menulis, dan menulis. Lahirlah tulisan
dalam cangkang telur-telur ayam piaraannya dipulau Buru, didinding-dinding,
dibatu-batu bahkan menulis dalam pikirannya sendiri, terekam cekam dalam
kegusarannya sendiri, dan sendirian ia bagai orang marah dan haus akan
kemerdekaan sebagaimana orang normal pada umumnya. Kebebasan, makhluk yang
harus ia perjuangkan mati-matian dengan berbagai tulisan. Penjara tak kan bisa
membunuh dan memberangus ide dan pemikiran Pram. Selama penderitaan datang dari
manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.
Bangilan, 12 Pebruari 2017.
Makalah ini untuk Kajian Literasi # 11 oleh
Komunitas Kali Kening Bangilan..
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda