NU Dalam Kepungan Pasar Modal
Oleh. Rohmat Sholihin*
http://memecomicsantri.blogspot.co.id/2016/05/pesan-agung-pendiri-nu-hadratus-syaikh.html#.WL5KiThaDIU
Nahdlotul Ulama
(NU) adalah organisasi sosial-keagamaan yang sangat besar dan umurnya juga
boleh dikatakan sudah tidak muda lagi. Basis massa NU tersebar di seluruh
pelosok tanah air dan mengakar kuat di lingkungan masyarakat Indonesia. Akan
tetapi, jaringan yang luas, massa yang banyak, dan usianya yang sudah cukup tua
ini ternyata tidak disertai dengan prestasi-prestasi yang menonjol dan bisa
dibanggakan. Bahkan di dalam ranah politik dan ekonomi, NU merupakan organisasi
yang hampir selalu menjadi pecundang. Organisasi ini juga hampir tidak pernah
mampu mensejahterakan warganya. Dalam sejarahnya, basis massa NU selalu menjadi
bagian dari masyarakat Indonesia yang tersisih dan termarginalkan. Ini tentu saja
sangat ironis dan memprihatinkan; tidak sebanding dengan jumlah massanya yang
sangat besar dan juga usianya yang sudah cukup tua. Parahnya kondisi ini terus
berlangsung hingga kini dan bahkan di era sekarang ini, basis massa NU menjadi
bulan-bulanan dan korban dari Imperialisme Neoliberal.[1]
Bukan hanya organisasi NU tapi negara-negara ketiga atau negara sedang
berkembang menjadi mangsa bagi larinya modal investasi negara-negara maju yang
bunganya selangit. Termasuk juga negara kita, Indonesia. Posisi NU sebagai
organisasi sosial keagamaan yang sangat besar dan dengan jaringan luas belum
bisa berbuat banyak dalam menghadapi persaingan global. NU seperti hewan gajah
yang di kandangkan oleh neoliberal dan menjadi hewan yang jinak dengan suplai
makanan yang tidak seberapa besarnya sesuai dengan kapasitas makanannya setiap
hari. Ada ketimpangan yang perlu menjadi pemikiran ke depan oleh kader-kader NU
agar lebih memperhatikan masalah besar ini. NU harus bisa menjadi garda depan
dalam mengawal serta bermain dengan menyerang dan bertahan dalam menghadapi
pasar modal yang kian menguasai segala lini, karena logikanya ruang gerak
kapitalis sangatlah lihai dan lincah seperti tupai. Basis massa NU harus bisa
andil dan berperan penting dalam masyarakat ekonomi dengan mengembangkan
sektor-sektor perkembangan ekonomi yang mampu menghasilkan sumber dana
pemasukan bagi organisasi, masyarakat dan negara, bukan berarti NU harus
menjadi sebuah perusahaan yang notabene nya bekerja seperti kapitalis tapi NU
harus bisa melindungi negara dari himpitan pasar modal yang kian mencekik
berupa hutang luar negeri. NU harus aktif dan cerdas menyuarakan masukan kepada
pemerintah mengenai program-program pemerintah yang menyimpang. Karena dilihat dari
peran dan kiprah NU terhadap kritik negara dirasa sangatlah kurang. Meski
banyak tokoh-tokoh NU yang banyak duduk dalam struktur pemerintahan, namun
belum bisa mewakili isu-isu yang timbul dari dalam organisasi NU itu sendiri. Kekhawatiran
yang timbul, NU hanya jadi kendaraan untuk menduduki posisi kekuasaan atau
jabatan saja tanpa perduli untuk merawat dan membesarkannya dengan sepenuh
hati. Sehingga masalah-masalah yang timbul dari bawah, grass root NU itu sendiri hanyalah masalah kecil yang tak perlu
perhatian khusus dari atas. Baik perhatian tentang masukan pendapat atau ide
juga perhatian tentang dana. Karena faktor ini sangatlah penting untuk
membangun dan menguatkan pandangan tentang kemajuan organisasi ke depannya.
Jangan sampai organisasi besar seperti NU kehabisan peluru dalam membentuk
kader-kader muda NU yang brillian hanya karena tidak ada dana. Ironis. Ini
jangan sampai terjadi, NU adalah organisasi sosial keagamaan yang di dirikan
oleh para ulama untuk mengabdi penuh kepada negara besar ini. NU itu organisasi
yang bisa ngemong pemerintah untuk
menjadi mitra membangun negara yang berperadaban dengan tidak menghendaki
dengan cara kekerasan dan memaksakan negara besar ini menjadi negara yang
berbentuk negara Islam. Itu bisa saja dilakukan melihat kekuatan massa NU yang
luar biasa besar, namun itu tidak dilakukan karena NU mengingat perjuangan para
Wali Songo yang telah menyebarkan ajaran Islam khususnya di tanah Jawa melihat
bahwa betapa masih besar jumlah orang Jawa dan seluruh Nusantara yang tidak mau
menganut ajaran Islam, beberapa masyarakat masih banyak yang menganut ajaran
Kejawen, Hindu, Budha, dan jika itu dipaksakan berapa juta masyarakat yang
harus di bunuh karena berseberangan jalan pemikiran tentang agama. NU tetap
setia menjaga kedaulatan bangsa yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang berdasarkan Pancasila.
Namun saat ini yang menjadi kendala ke depan
bukanlah kerukunan keagamaan yang mengalami perpecahan, namun permasalahan yang
besar adalah himpitan dan tekanan negara-negara Kapitalis yang telah dengan
leluasa mengembangkan modalnya di negeri kita ini. Mulai dari zaman Presiden
pertama, Ir. Soekarno begitu kuatnya menghalau Neo Kolonialisme dengan
membangun jaringan-jaringan negara yang telah menjadi jajahan negara-negara
kapitalis terutama negara-negara yang sedang berkembang dan baru saja menghirup udara kebebasan.
Lahirlah organisasi Non Blok, dengan dalih bahwa negara-negara ini tidak
memihak blok barat dan blok timur. Juga anti kolonialisme. Ir Soekarnopun harus
tumbang dengan isu yang hampir tidak masuk akal melalui G 30 S/PKI, seakan-akan
gerakan ini telah di setting sedemikian rupa dan muara pangkalnya menuju posisi Soekarno sebagai
presiden menjadi pertaruhan. Ketika Presiden Soekarno jatuh, Indonesia bagai
tanah subur yang telah terbeli dengan harga murah. Indonesia menjadi ajang
pesta negara-negara pemodal untuk menguasai sumber-sumber kekayaan negara
berupa sumber daya alam yang melimpah ruah. Yang dari awal telah di jaga oleh
Soekarno untuk anak-anak bangsa harus pupus ke tangan kaum kapitalis. Terbukti
sudah bahwa anak-anak bangsa bagai hidup dan besar dalam genggaman kekuasaan
modal kaum kapitalis. Kita hidup seperti dalam perangkap penjara, dimana kekuasaan kita sebagai rakyat untuk memanfaatkan sumber daya alam sangatlah terbatas, angin saja jika terpenjara selalu mencari celah lubang untuk keluar apalagi manusia.
NU sangat
mengecam kapitalis namun hanya sekedar kecaman saja, tak ada tindakan yang
lebih spesifik untuk menghalaunya. Karena NU hanyalah organisasi sosial
keagamaan yang ruang lingkupnya sangat terbatas, hanya mengurusi umat, tanpa
ada campur tangan untuk mengurusi kebijakan-kebijakan yang telah di ambil oleh negara.
Dan di tengah posisi bangsa Indonesia yang miskin, tidak benar-benar merdeka,
tidak sejahtera, dan juga memiliki beban hutang luar negeri yang sangat besar,
komunitas NU dalam hierarki sosial di antara kelompok-kelompok di Indonesia
berada dalam posisi bawah: berada di desa-desa dan berbasiskan petani,
pedagang, dan nelayan kecil. Secara nasional, posisi komunitas NU sama dengan
kelompok abangan yang berbasiskan
petani, yang menjadi basis kelompok nasionalis warisan Soekarno, dan warisan
kelompok-kelompok orang-orang komunis. Perbedaan kedua kelompok tersebut dengan
basis massa NU hanya dalam cara beragama saja, dimana komunitas NU lebih sering
disebut sebagai muslim shalih (santri).
Jadi basis
masyarakat NU adalah kelompok pinggiran, marjinal, dan miskin. Tidak memiliki
badan usaha ekonomi yang besar; tidak memiliki perusahaan-perusahaan yang bisa
menambang di hutan; tidak bisa menjadi pebisnis-pebisnis besar di laut; tidak
memiliki usaha-usaha perbankan, dan juga tidak memiliki usaha-usaha perhotelan.
Komunitas NU yang telah menjadi sarjana sekalipun pada umumnya tidak memiliki
posisi strategis; mereka hanya menjadi kelas menengah yang rapuh.
Pemahaman
terhadap posisi warga NU ini penting untuk di ketahui dalam rangka merumuskan
agenda masa depan. Meskipun ada beberapa warga NU yang masuk kategori
masyarakat atas, pada umumnya komunitas NU bukanlah komunitas pusat, bukan
menengah ke atas, bukan professional, dan juga bukan pebisnis. Komunitas NU
adalah komunitas yang ada dalam rantai terbawah masyarakat Indonesia bersama
komunitas abangan dan komunis lain
yang berbasiskan petani dan nelayan miskin.[2]
Mengutip dari pendapat KH Musthofa Bisri , selama ini NU masih jama’ah.
Sehingga tampang NU di luar menjadi aneh. Organisasi seperti ini kok nggak mati
saja. Untuk ukuran organisasi, mestinya NU itu sudah bubar, tetapi kok tidak
bubar juga, bila di lihat dari kaca mata organisasi. NU ini organisasi apa? NU
ini kalau rapat tidak pernah (mencapai) kuorum, keputusan-keputusannya juga
tidak pernah mulus. Pokoknya NU itu tidak seperti organisasi.
Tantangan-tantangan
ke depan NU memang sangatlah pelik, sebagai organisasi sosial keagamaan yang
punya massa paling besar di dunia tapi tidak pernah menjadi kekuatan atau super
power untuk menggerakkan massanya menduduki tempat-tempat tertentu dengan
semena-mena. NU masih menjadi anak manis yang paling manis di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan yang di ambil selalu bisa menjadi primadona anak semua
bangsa, benar-benar menjadi rahmatallilalamin
bagi semua umat. Meski dalam himpitan neokolonialisme yang semakin menghebat NU
masih tetap bertahan dengan membawa identitasnya sebagai pengayom umat, NU itu
seperti mesin lokomotif tua, meski bergaya mesin klasik dengan ilmu-ilmunya
yang selalu berpedoman pada kitab kuning atau klasik tapi dalam
gerbong-gerbongnya mampu menampung semua ide dan pendapat-pendapat seluruh umat
menuju stasiun keberagaman tanpa memandang rendah bagi komunitas lainnya. Dari
kerukunan dan keberagaman itulah modal awal untuk menggerakkan massanya dan
mulai menyusun kekuatan dalam bidang ekonomi terutamma perbankan dan pasar
modal. Sesuai apa yang telah di sampaikan oleh Presiden RI ke-5 Gus Dur, Gitu saja kok repot. Dan tak ada sesuatu
yang merepotkan jika bisa dikerjakan dengan baik. Hidup NU!.
*Penulis Guru MI Salafiyah
Bangilan.
[1] Nur Kholik Ridwan, NU dan
Neoliberalisme Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (Yogyakarta: PT.
LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008), hal. v.
[2] Nur Kholik Ridwan, NU dan
Neoliberalisme Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (Yogyakarta:
PT. LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008), hal. 15-17.
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda