Senin, 06 Maret 2017

NU Dalam Kepungan Pasar Modal

Oleh. Rohmat Sholihin*

http://memecomicsantri.blogspot.co.id/2016/05/pesan-agung-pendiri-nu-hadratus-syaikh.html#.WL5KiThaDIU

Nahdlotul Ulama (NU) adalah organisasi sosial-keagamaan yang sangat besar dan umurnya juga boleh dikatakan sudah tidak muda lagi. Basis massa NU tersebar di seluruh pelosok tanah air dan mengakar kuat di lingkungan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, jaringan yang luas, massa yang banyak, dan usianya yang sudah cukup tua ini ternyata tidak disertai dengan prestasi-prestasi yang menonjol dan bisa dibanggakan. Bahkan di dalam ranah politik dan ekonomi, NU merupakan organisasi yang hampir selalu menjadi pecundang. Organisasi ini juga hampir tidak pernah mampu mensejahterakan warganya. Dalam sejarahnya, basis massa NU selalu menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang tersisih dan termarginalkan. Ini tentu saja sangat ironis dan memprihatinkan; tidak sebanding dengan jumlah massanya yang sangat besar dan juga usianya yang sudah cukup tua. Parahnya kondisi ini terus berlangsung hingga kini dan bahkan di era sekarang ini, basis massa NU menjadi bulan-bulanan dan korban dari Imperialisme Neoliberal.[1] Bukan hanya organisasi NU tapi negara-negara ketiga atau negara sedang berkembang menjadi mangsa bagi larinya modal investasi negara-negara maju yang bunganya selangit. Termasuk juga negara kita, Indonesia. Posisi NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang sangat besar dan dengan jaringan luas belum bisa berbuat banyak dalam menghadapi persaingan global. NU seperti hewan gajah yang di kandangkan oleh neoliberal dan menjadi hewan yang jinak dengan suplai makanan yang tidak seberapa besarnya sesuai dengan kapasitas makanannya setiap hari. Ada ketimpangan yang perlu menjadi pemikiran ke depan oleh kader-kader NU agar lebih memperhatikan masalah besar ini. NU harus bisa menjadi garda depan dalam mengawal serta bermain dengan menyerang dan bertahan dalam menghadapi pasar modal yang kian menguasai segala lini, karena logikanya ruang gerak kapitalis sangatlah lihai dan lincah seperti tupai. Basis massa NU harus bisa andil dan berperan penting dalam masyarakat ekonomi dengan mengembangkan sektor-sektor perkembangan ekonomi yang mampu menghasilkan sumber dana pemasukan bagi organisasi, masyarakat dan negara, bukan berarti NU harus menjadi sebuah perusahaan yang notabene nya bekerja seperti kapitalis tapi NU harus bisa melindungi negara dari himpitan pasar modal yang kian mencekik berupa hutang luar negeri. NU harus aktif dan cerdas menyuarakan masukan kepada pemerintah mengenai program-program pemerintah yang menyimpang. Karena dilihat dari peran dan kiprah NU terhadap kritik negara dirasa sangatlah kurang. Meski banyak tokoh-tokoh NU yang banyak duduk dalam struktur pemerintahan, namun belum bisa mewakili isu-isu yang timbul dari dalam organisasi NU itu sendiri. Kekhawatiran yang timbul, NU hanya jadi kendaraan untuk menduduki posisi kekuasaan atau jabatan saja tanpa perduli untuk merawat dan membesarkannya dengan sepenuh hati. Sehingga masalah-masalah yang timbul dari bawah, grass root NU itu sendiri hanyalah masalah kecil yang tak perlu perhatian khusus dari atas. Baik perhatian tentang masukan pendapat atau ide juga perhatian tentang dana. Karena faktor ini sangatlah penting untuk membangun dan menguatkan pandangan tentang kemajuan organisasi ke depannya. Jangan sampai organisasi besar seperti NU kehabisan peluru dalam membentuk kader-kader muda NU yang brillian hanya karena tidak ada dana. Ironis. Ini jangan sampai terjadi, NU adalah organisasi sosial keagamaan yang di dirikan oleh para ulama untuk mengabdi penuh kepada negara besar ini. NU itu organisasi yang bisa ngemong pemerintah untuk menjadi mitra membangun negara yang berperadaban dengan tidak menghendaki dengan cara kekerasan dan memaksakan negara besar ini menjadi negara yang berbentuk negara Islam. Itu bisa saja dilakukan melihat kekuatan massa NU yang luar biasa besar, namun itu tidak dilakukan karena NU mengingat perjuangan para Wali Songo yang telah menyebarkan ajaran Islam khususnya di tanah Jawa melihat bahwa betapa masih besar jumlah orang Jawa dan seluruh Nusantara yang tidak mau menganut ajaran Islam, beberapa masyarakat masih banyak yang menganut ajaran Kejawen, Hindu, Budha, dan jika itu dipaksakan berapa juta masyarakat yang harus di bunuh karena berseberangan jalan pemikiran tentang agama. NU tetap setia menjaga kedaulatan bangsa yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila.
Namun  saat ini yang menjadi kendala ke depan bukanlah kerukunan keagamaan yang mengalami perpecahan, namun permasalahan yang besar adalah himpitan dan tekanan negara-negara Kapitalis yang telah dengan leluasa mengembangkan modalnya di negeri kita ini. Mulai dari zaman Presiden pertama, Ir. Soekarno begitu kuatnya menghalau Neo Kolonialisme dengan membangun jaringan-jaringan negara yang telah menjadi jajahan negara-negara kapitalis terutama negara-negara yang sedang berkembang  dan baru saja menghirup udara kebebasan. Lahirlah organisasi Non Blok, dengan dalih bahwa negara-negara ini tidak memihak blok barat dan blok timur. Juga anti kolonialisme. Ir Soekarnopun harus tumbang dengan isu yang hampir tidak masuk akal melalui G 30 S/PKI, seakan-akan gerakan ini telah di setting sedemikian rupa dan  muara pangkalnya menuju posisi Soekarno sebagai presiden menjadi pertaruhan. Ketika Presiden Soekarno jatuh, Indonesia bagai tanah subur yang telah terbeli dengan harga murah. Indonesia menjadi ajang pesta negara-negara pemodal untuk menguasai sumber-sumber kekayaan negara berupa sumber daya alam yang melimpah ruah. Yang dari awal telah di jaga oleh Soekarno untuk anak-anak bangsa harus pupus ke tangan kaum kapitalis. Terbukti sudah bahwa anak-anak bangsa bagai hidup dan besar dalam genggaman kekuasaan modal kaum kapitalis. Kita hidup seperti dalam perangkap penjara, dimana kekuasaan kita sebagai rakyat untuk memanfaatkan sumber daya alam sangatlah terbatas, angin saja jika terpenjara selalu mencari celah lubang untuk keluar apalagi manusia.
NU sangat mengecam kapitalis namun hanya sekedar kecaman saja, tak ada tindakan yang lebih spesifik untuk menghalaunya. Karena NU hanyalah organisasi sosial keagamaan yang ruang lingkupnya sangat terbatas, hanya mengurusi umat, tanpa ada campur tangan untuk mengurusi kebijakan-kebijakan yang telah di ambil oleh negara. Dan di tengah posisi bangsa Indonesia yang miskin, tidak benar-benar merdeka, tidak sejahtera, dan juga memiliki beban hutang luar negeri yang sangat besar, komunitas NU dalam hierarki sosial di antara kelompok-kelompok di Indonesia berada dalam posisi bawah: berada di desa-desa dan berbasiskan petani, pedagang, dan nelayan kecil. Secara nasional, posisi komunitas NU sama dengan kelompok abangan yang berbasiskan petani, yang menjadi basis kelompok nasionalis warisan Soekarno, dan warisan kelompok-kelompok orang-orang komunis. Perbedaan kedua kelompok tersebut dengan basis massa NU hanya dalam cara beragama saja, dimana komunitas NU lebih sering disebut sebagai muslim shalih (santri).
Jadi basis masyarakat NU adalah kelompok pinggiran, marjinal, dan miskin. Tidak memiliki badan usaha ekonomi yang besar; tidak memiliki perusahaan-perusahaan yang bisa menambang di hutan; tidak bisa menjadi pebisnis-pebisnis besar di laut; tidak memiliki usaha-usaha perbankan, dan juga tidak memiliki usaha-usaha perhotelan. Komunitas NU yang telah menjadi sarjana sekalipun pada umumnya tidak memiliki posisi strategis; mereka hanya menjadi kelas menengah yang rapuh.
Pemahaman terhadap posisi warga NU ini penting untuk di ketahui dalam rangka merumuskan agenda masa depan. Meskipun ada beberapa warga NU yang masuk kategori masyarakat atas, pada umumnya komunitas NU bukanlah komunitas pusat, bukan menengah ke atas, bukan professional, dan juga bukan pebisnis. Komunitas NU adalah komunitas yang ada dalam rantai terbawah masyarakat Indonesia bersama komunitas abangan dan komunis lain yang berbasiskan petani dan nelayan miskin.[2] Mengutip dari pendapat KH Musthofa Bisri , selama ini NU masih jama’ah. Sehingga tampang NU di luar menjadi aneh. Organisasi seperti ini kok nggak mati saja. Untuk ukuran organisasi, mestinya NU itu sudah bubar, tetapi kok tidak bubar juga, bila di lihat dari kaca mata organisasi. NU ini organisasi apa? NU ini kalau rapat tidak pernah (mencapai) kuorum, keputusan-keputusannya juga tidak pernah mulus. Pokoknya NU itu tidak seperti organisasi.
Tantangan-tantangan ke depan NU memang sangatlah pelik, sebagai organisasi sosial keagamaan yang punya massa paling besar di dunia tapi tidak pernah menjadi kekuatan atau super power untuk menggerakkan massanya menduduki tempat-tempat tertentu dengan semena-mena. NU masih menjadi anak manis yang paling manis di Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang di ambil selalu bisa menjadi primadona anak semua bangsa, benar-benar menjadi rahmatallilalamin bagi semua umat. Meski dalam himpitan neokolonialisme yang semakin menghebat NU masih tetap bertahan dengan membawa identitasnya sebagai pengayom umat, NU itu seperti mesin lokomotif tua, meski bergaya mesin klasik dengan ilmu-ilmunya yang selalu berpedoman pada kitab kuning atau klasik tapi dalam gerbong-gerbongnya mampu menampung semua ide dan pendapat-pendapat seluruh umat menuju stasiun keberagaman tanpa memandang rendah bagi komunitas lainnya. Dari kerukunan dan keberagaman itulah modal awal untuk menggerakkan massanya dan mulai menyusun kekuatan dalam bidang ekonomi terutamma perbankan dan pasar modal. Sesuai apa yang telah di sampaikan oleh Presiden RI ke-5 Gus Dur, Gitu saja kok repot. Dan tak ada sesuatu yang merepotkan jika bisa dikerjakan dengan baik. Hidup NU!.

*Penulis Guru MI Salafiyah Bangilan.




[1] Nur Kholik Ridwan, NU dan  Neoliberalisme Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008), hal. v.
[2] Nur Kholik Ridwan, NU dan  Neoliberalisme Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008), hal. 15-17.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda