Pendekar NU Dari Bangilan-Tuban KH Hasyim Muzadi Telah Berpulang
Oleh. Rohmat Sholihin*
http://staima-alhikam.ac.id/album-46-kh-hasyim-muzadi.html
”Di pondok Modern Gontor saat itu belum ada ijazah. Setiap
anak yang pernah belajar di sana hanya mendapatkan surat keterangan dari
pengasuh ketika sudah keluar. Bunyinya juga bermacam-macam. Masing-masing anak
mendapatkan surat keterangan yang berbeda, sesuai dengan kemampuan dan masa
belajar masing-masing. Ada surat keterangan yang berbunyi “Anak ini pernah
duduk di kelas empat”, ada yang “pernah duduk di kelas empat dan coba-coba
duduk di kelas lima”, dan lain sebagainya. Dan paling khusus surat keterangan
yang telah di berikan pada Ahmad Hasyim dan ketiga rekannya. Surat keterangan
itu berbunyi: “Anak ini telah lulus dari Pondok Modern Gontor, dan
dipersilahkan meneruskan kuliah. Sebuah penghargaan yang terasa luar biasa.” Kenangan
itulah yang berkesan pada hati Dr.KH. Ahmad Hasyim muzadi, Tokoh ketua PBNU asli
Bangilan-Tuban dan biasa di panggil dengan sebutan Mbah Hasyim ini. Itulah masa-masa
ketika beliau belajar di Pondok Modern Gontor.
KH Hasyim Muzadi lahir di Kecamatan Bangilan, Kabupaten
Tuban pada tanggal 8 Agustus 1944. Adik kandung dari KH A. Muchith Muzadi,
Mustasyar PBNU. Putra seorang pedagang tembakau yang sukses yaitu Bapak Muzadi.
KH Hasyim Muzadi tumbuh kembang sebagai anak pada umumnya di lingkungan yang
disiplin dan religius, tepatnya di kauman-Bangilan, bapaknya adalah seorang
tokoh pedagang yang ulet dan mempunyai semangat yang tinggi. Semua
putra-putrinya disekolahkan sampai jenjang pendidikan yang tinggi dan hampir
semua putra-putrinya menjadi tokoh masyarakat yang mumpuni pula. Ibunya yang
bernama Ibu Rumyati adalah sebagai usahawan kue bolu, kue khas kecamatan
Bangilan yang sampai sekarang masih banyak di geluti oleh beberapa
pedagang-pedagang di Pasar Kecamatan Bangilan. Mbah Hasyim termasuk anak yang
suka membantu orang tuanya terutama membantu sang ibunda tercinta dalam proses
pembuatan kue bolu yang akan di jual. Kisah ini diceritakan oleh bapak Suhadi
teman bermainnya. Kisah itu di ceritakan ketika Mbah Hasyim mencalonkan sebagai
Wakil Presiden mendampingi Ibu Megawati Soekarnoputeri, seketika itu desa
Bangilan menjadi populer karena masuk tayangan berita televisi bahkan di sorot
oleh berita-berita luar negeri. Banyak juga para reporter dan wartawan menunggu
Mbah Hasyim yang akan jumpa pers di rumah aslinya yaitu di kampung Kauman
Kecamatan Bangilan. “Dari kecil Pak Hasyim itu sudah cerdas dan pinter, bakat ilmu
politiknya juga sudah tampak. Cara bergaulnya juga luas, cara berbicara juga
menarik. Ketika ia mengajakku pergi kemana saja aku pasti manut, tak ada kata “tidak”
untuk tidak manut, bicaranya selalu menggodaku untuk selalu mengikutinya, jika
ia disuruh ibunda tercinta untuk membeli telur sebagai bahan membuat kue bolu
ia selalu mengajakku dan memboncengku dengan sepeda onto-nya, lalu ia duduk di
atas sedel sepedanya dan menyuruhku untuk membelikannya telur dengan imbalan
akan dikasih kue bolunya, mendengar hadiah kue bolu membuatku tergiur setengah
mati, langsung saja berangkat. Tak ada alasan untuk berkata tidak.” Kata pak
Suhadi dengan tersenyum. Dari kecil Mbah Hasyim juga sudah sangat getol
membaca. Bahkan buku-buku merah atau terkenal sebagai sebutan buku Komunispun
beliau lahap. Ketika temannya tahu itu, jawab beliau sangat diplomatis. “Jika
kita membaca bukunya, kita akan tahu dimana titik kelemahannya.”
Pendidikan beliau di mulai dari Madrasah Ibtidaiyah Tuban
(1953), melanjutkan di SD (1953), SMPN 1 Tuban (1955), KMI Gontor, Ponorogo
(1956). Kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Malang (sekarang UIN Malang). Selain itu
juga banyak mengikuti pengajian di pesantren-pesantren salaf, di antaranya
Ponpes Senori, Tuban dan Ponpes Lasem, Rembang, Jawa Tengah (1963).
Beliau mahir berkomunikasi dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris
dan Arab. Menerima gelar Doktor Honoris Causa dari IAIN Sunan Ampel Surabaya
dalam bidang peradaban Islam pada 2 Desember 2006. Sedangkan pengalaman
politiknya, diawali dengan Ketua Ranting PPP Dinoyo, Malang, di saat NU sedang
mati-matian memperjuangkan partai itu. Pernah menjadi anggota DPRD Malang,
Ketua DPC PPP Malang (1973), dan juga anggota DPRD Tingkat Jawa Timur
(1986-1987). Pada Pilpres 2004 mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden
berdampingan dengan Megawati Soekarnoputeri. Namun tidak berhasil. Ia kalah
dalam babak final (putaran kedua) oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Yusuf Kalla.
Hanya Mbah Hasyimlah Ketua Umum PBNU yang benar-benar
berangkat dari bawah, dari Pengurus Ranting. Mula-mula menjadi Ketua Ranting NU
Bululawang, lalu Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang (1965), Ketua Cabang
PMII Malang (1966), Ketua KAMI Malang (1966), Ketua Cabang GP Ansor Malang
(1967), Wakil Ketua PCNU Malang (1971), Ketua PCNU Malang (1973), Ketua PW GP
Ansor Jawa Timur (1983), Ketua PP GP Ansor (1987), Sekretaris PWNU JawaTimur
(1987), Wakil Ketua PWNU Jawa Timur (1988), Ketua PWNU Jawa Timur (1992), Ketua
Umum PBNU (Hasil Muktamar Lirboyo 1999-2004 dan Muktamar Donohudan, Boyolali
2004-2009), Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo, masa jabatan 19
Januari 2015-16 Maret 2017.
Semasa ia menjabat Ketua Umum PBNU, ia membuka jaringan
Luar Negeri. Paling banyak melakukan kunjungan luar negeri. Hampir seluruh
negara di dunia telah disinggahinya. Mulai dari Mesir (1986), Amerika (1998), Thailand
(2000), Saudi Arabia (2000), Iraq (2000), Yaman, Sudan, Singapura, Malaysia,
Parlemen Eropa, Jepang, RRC, India, Australia, Inggris, Pakistan, Yordania,
Syiria, Italia, Iran, dan lain sebagainya. Rangkaian perjalanan itu dimaksudkan
untuk memperkenalkan NU dimata internasional. Bahwa NU adalah organisasi yang
moderat. Dan hasil nyata yang bisa dilihat adalah banyaknya anak-anak muda NU
menerima beasiswa ke luar negeri, membentuk Pengurus Cabang Istimewa NU di
beberapa negara, NU semakin diterima oleh komunitas internasional. NU berhasil
mendunia. Dan puncak dari acara itu adalah diselenggarakannya ICIS (International
Conference of Islamic Schoolar), pertemuan para ulama internasional berfaham
moderat, di Jakarta (2004) dan ICIS II (2005) di tempat yang sama. ICIS itulah
yang banyak dinilai sebagai penjelmaan Komite Hijaz jilid II, atau Komite Hijaz
di abad modern. Bedanya, Komite hijaz I, mengemban misi penyelamatan paham
Aswaja dari ancaman paham Wahabi yang dikembangkan Raja Ibnu Saud, sedangkan
Komite Hijaz II mengemban misi penyelamatan dari serangan ekstrem kanan dan
ekstrem kiri yang dikembangkan oleh negara-negara Barat dan Timur Tengah.[1]
Kiprah dan sosok KH A. Hasyim Muzadi selama hidup dalam
memperjuangkan organisasi NU dan pengabdian di berbagai kemasyarakatan serta
kenegaraan patut menjadi tauladan anak bangsa. Pendiri Pondok Pesantren Al Hikam
Malang-Jawa Timur dan Depok-Jakarta kini telah berpulang menghadap Allah. Dari manusia
yang lahir sederhana tanpa busana dan telah menjadi manusia yang mulia dan
bijaksana dengan segala pengabdian pada negaranya, dengan keteguhan iman dan
kedalaman ilmunya, telah pergi untuk selama-lamanya menghadap Sang Pencipta
dengan sederhana pula, hanya berkain kafan dan segala amal kebaikan yang telah
di tanam selama nafas menghias paru-parunya. Namun segala jejak dan
kisah serta piranti yang telah kau bangun untuk negeri ini tetap akan menjadi
pijakan pada generasi yang akan datang. Selamat Jalan Mbah Hasyim, selamat jalan guru bangsa. Semoga
Khusnul Khotimah. Aamiin. Al Fatikhah.
Bangilan, 16 Maret 2017.
[1] H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.
Sos, Antologi NU Sejarah Istilah Amaliah Uswah (Surabaya: Khalista 2008). Hal.
224-227.
Label: Tokoh Inspirasi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda