Rabu, 15 Maret 2017

Pendidikan Islam Dalam Konteks Kebhinnekaan Kita

Oleh. Rohmat Sholihin*
http://pendidikan-multikultur.blogspot.co.id/2012/10/pendidikan-multikulturalisme-perspektif.html

            Pada hakikatnya pendidikan Islam tidak lain adalah keseluruhan dari proses dan fungsi rububiyah Allah terhadap manusia, sejak dari proses penciptaan serta pertumbuhan dan perkembangannya secara bertahap dan berangsur-angsur sampai sempurna, sampai dengan pengarahan serta bimbingannya dalam pelaksanaan tugas kekhalifahan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya atas dasar tugas kekhalifahan tersebut manusia sendiri bertanggung jawab untuk merealisasikan proses pendidikan Islam dalam kehidupan nyata. Kehidupan nyata di muka bumi berarti manusia menyadari modal keanekaan yang dianugerahkan Allah dan selanjutnya mempersiapkan diri dengan permasalahan manusia yang multikultur. Dengan kesiapan atas berbagai permasalahan tersebut berarti siap untuk merancang bangun serta siap untuk menerima akibat yang ditimbulkan dari keanekaan tersebut. Kesiapan dan penerimaan atas tingginya heterogenitas dalam masyarakat inilah yang menjadikan modal penting untuk mengambil sikap atas keanekaan tertentu.
            Orientasi pendidikan Islam yang berbasis multikultur sekalipun, harus diletakkan sebagai dasar tumbuhnya kepribadian manusia Indonesia paripurna (insane kamil), sehingga keberadaannya selalu dibutuhkan dan memberikan kontribusi positif bagi lahirnya masyarakat intelektual. Dari paradigma tersebut, pendidikan Islam bukan hanya sebagai salah satu proses transfer ilmu atas pengetahuan yang harus dimiliki oleh peserta didik, melainkan harus menjadi nafas sekaligus dasar kepribadian yang atasnya dibangun manusia Indonesia paripurna. Untuk mencapai tujuan paripurna pendidikan tersebut, perlu dilakukan pendekatan-pendekatan yang dipandang mampu mengantarkan cita-cita ideal tersebut.[1]
Pertama, Pendekatan Paedagogis (pedagogisme), pendekatan ini bertitik tolak dari pandangan bahwa anak akan dibesarkan menjadi orang dewasa melalui pendidikan. Pandangan ini sangat menghormati setiap tahap perkembangan anak menuju kedewasaan.
Kedua, Pendekatan Filosofis (filosofis), pandangan ini bertitik tolak dari pertentangan mengenai hakikat manusia dan hakikat anak. Anak memiliki hakikatnya sendiri dan demikian juga dengan orang dewasa.
Ketiga, Pendekatan Religius (Religionisme), pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk religious. Dengan demikian, hakikat pendidikan adalah membawa peserta didik menjadi manusia yang religius. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan peserta didik harus dipersiapkan untuk hidup sesuai dengan harkatnya untuk berTuhan.
Keempat, Pendekatan Psikologis (Psikologisme), pandangan ini lebih memacu pada masuknya psikologi ke dalam bidang ilmu pendidikan. Pendekatan ini cenderung lebih mereduksi ilmu pendidikan menjadi ilmu proses belajar mengajar.
Kelima, Pendekatan Negativis (Negativisme), pendekatan ini menyatakan (1) Tugas pendidikan adalah menjaga pertumbuhan anak. Dalam pertumbuhan tersebut perlu disingkirkan hal-hal yang dapat merusak atau sifatnya negatif terhadap pertumbuhan itu. (2) Pendidikan sebagai usaha mengembangkan kepribadian peserta didik atau membudayakan individu. Pandangan ini dianggap sebagai pandangan yang negatif. Pandangan ini, untuk mengembangkan kepribadian secara implisit dapat melindungi anak dari hal-hal yang negatif yang dapat menghalangi perkembangan kepribadian anak. Dengan demikian, pendidikan bertugas untuk memagari perkembangan kepribadian tersebut dari hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat.
Keenam, Pendekatan Sosiologis (Sosiologisme), pendekatan ini meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama dalam masyarakat. Pendekatan yang mengutamakan kebersamaan, kegotongroyongan, dan keseragaman untuk masyarakat tanpa dominasi dan diskriminasi.[2]
            Meskipun secara praktek agak sedikit mengalami hambatan-hambatan di dalam kehidupan pada umumnya, akan tetapi sejauh mana kita sebagai masyarakat dalam naungan negara yang berdasarkan Pancasila harus menjunjung tinggi falsafah Pancasila dengan tidak ada perkecualian. Bagaimanapun bentuk dan kiprahnya, Pancasila merupakan dasar negara Indonesia dan harus serta merta menjadi pijakan dan landasan bagi seluruh aktifitas seluruh masyarakat Indonesia. Pancasila tidak membenarkan memelihara organisasi atau lembaga yang semena-mena terhadap kaum minoritas yang telah di akui dan di sahkan dengan undang-undang negara yang berlaku. Kita semua tahu bahwa Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia akan tetapi dengan predikat mayoritas tidak dibenarkan untuk berbuat seenaknya dengan tidak memperhatikan undang-undang yang berlaku, yaitu UUD 1945 dan Pancasila. Dan Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang mengikuti dan menyesuaikan aturan hukum negara Indonesia, bukan Islam yang mengikuti hukum-hukum negara Islam. Permasalahan ini yang membuat para pemikir-pemikir Islam Indonesia harus lebih berhati-hati dalam mengambil sikap, jangan sampai membuat gejolak keberagaman keagamaan di Indonesia menjadi bergejolak dan bermuara pada konflik horizontal, seperti; kasus Ambon, Poso, atau konflik-konflik sosial lainnya. Memang masalah negara plural seperti Indonesia sangatlah rentan terhadap kasus perselisihan antar umat dan rawan akan perpecahan, tapi sejauh mana kita harus selalu mengkonsep langkah-langkah yang baik untuk mencegah hal itu. Dan salah satunya adalah pendidikan yang berbasis multikultur atau keberagaman. Nilai-nilai perbedaan sikap dan perbedaan pandangan dalam agama itu adalah hal yang lumrah dan biasa. Perbedaan itu sudah ada sejak zaman Rosulullah bahkan nabi-nabi sebelumnya. Perbedaan adalah rahmat, setiap makhluk yang diciptakan oleh Allah adalah selalu berbeda meskipun kembar sekalipun, tapi beda. Dan tugas pendidikan salah satunya adalah menjalin persaudaraan dengan sesama dan saling menerima setiap kekurangan serta mengakui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh setiap individu.
            Di Indonesia ketika memasuki zaman peralihan dari zaman Majapahit ke kerajaan Islam Demak, Wali Songo sangat tidak membenarkan harus memaksa masyarakat non-Islam harus mengikuti Islam, Islam yang masuk di tanah Nusantara ini bukanlah agama Islam yang penuh dengan unsur pemaksaan, karena betapa banyaknya jumlah masyarakat Nusantara terutama Jawa yang masih menganut agama Hindu dan Buddha, jika kemauan itu dipaksakan, berapa banyak korban pembantaian terjadi hanya karena tak seiman? Ini yang menjadi renungan para Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di tanah Nusantara terutama masyarakat Jawa.
            Dalam hal ini, Bhinneka Tunggal Ika hendaknya bukan hanya digunakan sebatas slogan, tetapi sebagai strategi kebudayaan yang dituangkan ke dalam kebijakan publik dalam kehidupan masyarakat-bangsa. Kebijakan kebudayaan harus ditujukan agar seluruh kekayaan budaya-budaya etnis Nusantara dapat terjalin dalam “serat-serat kebudayaan”, membentuk batang tubuh kebudayaan Indonesia Baru yang kukuh, laksana sebatang pohon kelapa yang berdiri tegak oleh serat-serat kayu, akar memikul batang, batang menunjang daun dan buah. Dalam upaya membangun kebudayaan masa depan Indonesia, maka implementasi kebijakan yang diderivasikan dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika itu adalah sebagaimana menjadikan ragam kekayaan tradisi dan adat-istiadat mereka sebagai sumbangan bagi jalinan “serat-serat budaya” Indonesia yang kukuh-kuat.[3] Namun, untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat seperti di atas bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, ada banyak cara dan jalan yang harus segera di tempuh, seperti dalam dunia pendidikan sebagai upaya untuk membentuk karakter manusia segera melakukan perubahan paradigma, bagaimana langkah-langkah yang terbaik segera di ambil untuk memperbaiki sistem tersebut? Termasuk pendidikan Islam.
            Pendidikan Islam harus menjadi garda terdepan dalam menjaga Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Melihat keadaan geografis Indonesia yang banyak terdapat pulau, ribuan suku, beberapa agama, bermacam-macam adat-istiadat, tradisi, dan macam-macam budaya. Pendidikan Islam harus bisa menjadi tameng dan pengayom untuk ikut mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar terhindar dari bahaya disintegrasi bangsa. Pendidikan Islam saat ini yang dikembangkan oleh praktisi-praktisi pendidikan juga sangat ideal, pendidikan Islam bukanlah pendidikan yang berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhannya saja, tapi pendidikan Islam saat ini sudah hampir melebur menjadi permasalahan yang kompleks. Pendidikan Islam yang sudah berbasis pemecahan masalah dengan problematika sosial yang ada dan bersifat futuristik. Buktinya banyak Pendidikan Islam yang notabenenya Pondok Pesantren juga telah melengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung kemajuan santrinya. Namun di sisi lain juga tidak meninggalkan kajian-kajian pemikir Islam klasik, yang banyak dikaji dari kitab kuning karangan pemikir-pemikir Islam terdahulu. Sehingga ada keseimbangan antara ilmu pengetahuan yang ada pada kitab kuning dengan pengembangan pengetahuan sekarang. Banyak juga lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini yang membuka jurusan tekhnik, kedokteran, hukum, perbankan, akuntansi, bahkan peternakan dan pertanian. Pendidikan Islam juga tidak mau kalah dengan perkembangan tekhnologi saat ini. Pendidikan Islam harus bisa memberikan solusi yang terbaik dalam mensikapi arus pengetahuan tanpa batas.
            Jadi, konteks pendidikan Islam dalam kebhinekaan kita harus selalu menjadi pilar yang sejalan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan sampai pendidikan Islam menyimpang dan menjadi pendidikan yang tidak sejalan dengan cita-cita bangsa. Apalagi sampai merugikan yang lain. Pendidikan Islam harus tangguh mendidik peserta didiknya menjadi generasi yang patut di banggakan untuk kemajuan negara. Pendidikan yang mampu menerima keberagaman dan kebhinekaan dalam negara kita. Bahwa Islam sebagai agama yang mayoritas harus bisa menjadi agama yang penuh kedamaian dan selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga tidak ada celah lagi tuduhan untuk memojokkan agama Islam bahwa isu yang santer beredar bahwa Islam adalah identik dengan teroris itu salah besar. Islam adalah agama yang damai dan tidak pernah ada seruan untuk melakukan pembunuhan terhadap yang lain. Islam selalu menerima perbedaan antar sesama dan selalu melindungi kaum lemah. Pernah Rosulullah dalam peristiwa Fathu Makkah karena perjanjian Hudaibiyah dilanggar oleh sekutu Quraisy, selanjutnya Rosulullah SAW mempersiapkan pasukan guna menggempur kota Makkah, namun Rosulullah SAW memerintahkan untuk merahasiakan keberangkatan mereka. Selanjutnya Rosulullah menuju Makkah bersama 10.000 pasukannya, ketika pasukan umat Islam sampai di Marr Azh-Zhahran Abbas paman Nabi dan beberapa keluarga Bani Hasyim menyatakan keislamannya, begitu pula dengan Abu Sufyan yang saat itu sebenarnya sedang mengadakan pengintaian dan melihat begitu besarnya jumlah umat Islam akhirnya ia masuk Islam. Rosulullah tahu bahwa Abu Sufyan adalah seorang yang gila hormat, oleh karena itu ketika beliau memasuki kota Makkah Rosulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang masuk rumahnya Abu Sufyan ia akan selamat, barang siapa yang menutup pintu rumahnya ia akan selamat, dan barang siapa yang masuk ke dalam masjid ia juga akan selamat.”
Selanjutnya Rosulullah meninggalkan Marr Azh-Zhahran menuju Makkah[4] tanpa harus dengan menganiaya dan membunuh kaum lemah atau lawan yang sudah menyerah. Setidaknya konteks pendidikan Islam harus selalu menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia meski itu berbeda sekalipun. Begitu juga umat yang lain juga harus menghormati pula sesuai dengan bentuk falsafah Pancasila yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

*Penulis Guru MI Salafiyah Bangilan dan anggota Komunitas Kali Kening Bangilan.





[1] Maslikhan, Quo Vadis Pendidikan Multikultur Rekontruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2007), Hal. 180-181.
[2] Maslikhan, Quo Vadis Pendidikan Multikultur Rekontruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2007), Hal. 80-82.
[3] Sultan Hamengku Buwono, Merajut Kembali Ke-Indonesiaan Kita ( Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). Hal. 101-102.
[4] Joyojuwoto, Jejak Sang Rosul (Banjarmasin Selatan: Dreamedia Corp, 2016). Hal. 136-139.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda