Pendidikan Islam Dalam Konteks Kebhinnekaan Kita
Oleh. Rohmat Sholihin*
Pada hakikatnya pendidikan Islam tidak lain adalah
keseluruhan dari proses dan fungsi rububiyah
Allah terhadap manusia, sejak dari proses penciptaan serta pertumbuhan dan
perkembangannya secara bertahap dan berangsur-angsur sampai sempurna, sampai
dengan pengarahan serta bimbingannya dalam pelaksanaan tugas kekhalifahan
dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya atas dasar tugas kekhalifahan tersebut
manusia sendiri bertanggung jawab untuk merealisasikan proses pendidikan Islam
dalam kehidupan nyata. Kehidupan nyata di muka bumi berarti manusia menyadari
modal keanekaan yang dianugerahkan Allah dan selanjutnya mempersiapkan diri
dengan permasalahan manusia yang multikultur. Dengan kesiapan atas berbagai
permasalahan tersebut berarti siap untuk merancang bangun serta siap untuk
menerima akibat yang ditimbulkan dari keanekaan tersebut. Kesiapan dan
penerimaan atas tingginya heterogenitas dalam masyarakat inilah yang menjadikan
modal penting untuk mengambil sikap atas keanekaan tertentu.
Orientasi pendidikan Islam yang berbasis multikultur
sekalipun, harus diletakkan sebagai dasar tumbuhnya kepribadian manusia Indonesia
paripurna (insane kamil), sehingga keberadaannya selalu dibutuhkan dan
memberikan kontribusi positif bagi lahirnya masyarakat intelektual. Dari
paradigma tersebut, pendidikan Islam bukan hanya sebagai salah satu proses
transfer ilmu atas pengetahuan yang harus dimiliki oleh peserta didik,
melainkan harus menjadi nafas sekaligus dasar kepribadian yang atasnya dibangun
manusia Indonesia paripurna. Untuk mencapai tujuan paripurna pendidikan
tersebut, perlu dilakukan pendekatan-pendekatan yang dipandang mampu
mengantarkan cita-cita ideal tersebut.[1]
Pertama, Pendekatan Paedagogis (pedagogisme),
pendekatan ini bertitik tolak dari pandangan bahwa anak akan dibesarkan menjadi
orang dewasa melalui pendidikan. Pandangan ini sangat menghormati setiap tahap
perkembangan anak menuju kedewasaan.
Kedua, Pendekatan Filosofis (filosofis),
pandangan ini bertitik tolak dari pertentangan mengenai hakikat manusia dan
hakikat anak. Anak memiliki hakikatnya sendiri dan demikian juga dengan orang
dewasa.
Ketiga, Pendekatan Religius (Religionisme),
pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk religious. Dengan
demikian, hakikat pendidikan adalah membawa peserta didik menjadi manusia yang
religius. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan peserta didik harus dipersiapkan untuk
hidup sesuai dengan harkatnya untuk berTuhan.
Keempat, Pendekatan Psikologis (Psikologisme),
pandangan ini lebih memacu pada masuknya psikologi ke dalam bidang ilmu
pendidikan. Pendekatan ini cenderung lebih mereduksi ilmu pendidikan menjadi
ilmu proses belajar mengajar.
Kelima, Pendekatan Negativis (Negativisme),
pendekatan ini menyatakan (1) Tugas pendidikan adalah menjaga pertumbuhan anak.
Dalam pertumbuhan tersebut perlu disingkirkan hal-hal yang dapat merusak atau sifatnya
negatif terhadap pertumbuhan itu. (2) Pendidikan sebagai usaha mengembangkan
kepribadian peserta didik atau membudayakan individu. Pandangan ini dianggap
sebagai pandangan yang negatif. Pandangan ini, untuk mengembangkan kepribadian
secara implisit dapat melindungi anak dari hal-hal yang negatif yang dapat
menghalangi perkembangan kepribadian anak. Dengan demikian, pendidikan bertugas
untuk memagari perkembangan kepribadian tersebut dari hal-hal yang tidak sesuai
dengan budaya masyarakat.
Keenam, Pendekatan Sosiologis (Sosiologisme),
pendekatan ini meletakkan hakikat pendidikan kepada keperluan hidup bersama
dalam masyarakat. Pendekatan yang mengutamakan kebersamaan, kegotongroyongan,
dan keseragaman untuk masyarakat tanpa dominasi dan diskriminasi.[2]
Meskipun secara praktek agak sedikit mengalami
hambatan-hambatan di dalam kehidupan pada umumnya, akan tetapi sejauh mana kita
sebagai masyarakat dalam naungan negara yang berdasarkan Pancasila harus
menjunjung tinggi falsafah Pancasila dengan tidak ada perkecualian.
Bagaimanapun bentuk dan kiprahnya, Pancasila merupakan dasar negara Indonesia
dan harus serta merta menjadi pijakan dan landasan bagi seluruh aktifitas
seluruh masyarakat Indonesia. Pancasila tidak membenarkan memelihara organisasi
atau lembaga yang semena-mena terhadap kaum minoritas yang telah di akui dan di
sahkan dengan undang-undang negara yang berlaku. Kita semua tahu bahwa Islam
merupakan agama mayoritas di Indonesia akan tetapi dengan predikat mayoritas
tidak dibenarkan untuk berbuat seenaknya dengan tidak memperhatikan undang-undang
yang berlaku, yaitu UUD 1945 dan Pancasila. Dan Islam yang berkembang di
Indonesia adalah Islam yang mengikuti dan menyesuaikan aturan hukum negara
Indonesia, bukan Islam yang mengikuti hukum-hukum negara Islam. Permasalahan
ini yang membuat para pemikir-pemikir Islam Indonesia harus lebih berhati-hati
dalam mengambil sikap, jangan sampai membuat gejolak keberagaman keagamaan di
Indonesia menjadi bergejolak dan bermuara pada konflik horizontal, seperti;
kasus Ambon, Poso, atau konflik-konflik sosial lainnya. Memang masalah negara
plural seperti Indonesia sangatlah rentan terhadap kasus perselisihan antar
umat dan rawan akan perpecahan, tapi sejauh mana kita harus selalu mengkonsep
langkah-langkah yang baik untuk mencegah hal itu. Dan salah satunya adalah
pendidikan yang berbasis multikultur atau keberagaman. Nilai-nilai perbedaan
sikap dan perbedaan pandangan dalam agama itu adalah hal yang lumrah dan biasa.
Perbedaan itu sudah ada sejak zaman Rosulullah bahkan nabi-nabi sebelumnya. Perbedaan
adalah rahmat, setiap makhluk yang diciptakan oleh Allah adalah selalu berbeda
meskipun kembar sekalipun, tapi beda. Dan tugas pendidikan salah satunya adalah
menjalin persaudaraan dengan sesama dan saling menerima setiap kekurangan serta
mengakui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh setiap individu.
Di Indonesia ketika memasuki zaman peralihan dari zaman
Majapahit ke kerajaan Islam Demak, Wali Songo sangat tidak membenarkan harus
memaksa masyarakat non-Islam harus mengikuti Islam, Islam yang masuk di tanah Nusantara
ini bukanlah agama Islam yang penuh dengan unsur pemaksaan, karena betapa
banyaknya jumlah masyarakat Nusantara terutama Jawa yang masih menganut agama
Hindu dan Buddha, jika kemauan itu dipaksakan, berapa banyak korban pembantaian
terjadi hanya karena tak seiman? Ini yang menjadi renungan para Wali Songo yang
menyebarkan agama Islam di tanah Nusantara terutama masyarakat Jawa.
Dalam hal ini, Bhinneka Tunggal Ika hendaknya bukan hanya
digunakan sebatas slogan, tetapi sebagai strategi kebudayaan yang dituangkan ke
dalam kebijakan publik dalam kehidupan masyarakat-bangsa. Kebijakan kebudayaan
harus ditujukan agar seluruh kekayaan budaya-budaya etnis Nusantara dapat
terjalin dalam “serat-serat kebudayaan”, membentuk batang tubuh kebudayaan
Indonesia Baru yang kukuh, laksana sebatang pohon kelapa yang berdiri tegak
oleh serat-serat kayu, akar memikul batang, batang menunjang daun dan buah.
Dalam upaya membangun kebudayaan masa depan Indonesia, maka implementasi
kebijakan yang diderivasikan dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika itu adalah
sebagaimana menjadikan ragam kekayaan tradisi dan adat-istiadat mereka sebagai
sumbangan bagi jalinan “serat-serat budaya” Indonesia yang kukuh-kuat.[3]
Namun, untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat seperti di atas bukanlah hal
yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, ada banyak cara dan jalan yang
harus segera di tempuh, seperti dalam dunia pendidikan sebagai upaya untuk
membentuk karakter manusia segera melakukan perubahan paradigma, bagaimana
langkah-langkah yang terbaik segera di ambil untuk memperbaiki sistem tersebut?
Termasuk pendidikan Islam.
Pendidikan Islam harus menjadi garda terdepan dalam
menjaga Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Melihat keadaan geografis
Indonesia yang banyak terdapat pulau, ribuan suku, beberapa agama,
bermacam-macam adat-istiadat, tradisi, dan macam-macam budaya. Pendidikan Islam
harus bisa menjadi tameng dan pengayom untuk ikut mengawal Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) agar terhindar dari bahaya disintegrasi bangsa. Pendidikan
Islam saat ini yang dikembangkan oleh praktisi-praktisi pendidikan juga sangat
ideal, pendidikan Islam bukanlah pendidikan yang berbicara tentang hubungan
manusia dengan Tuhannya saja, tapi pendidikan Islam saat ini sudah hampir
melebur menjadi permasalahan yang kompleks. Pendidikan Islam yang sudah
berbasis pemecahan masalah dengan problematika sosial yang ada dan bersifat futuristik.
Buktinya banyak Pendidikan Islam yang notabenenya Pondok Pesantren juga telah
melengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung kemajuan santrinya. Namun di
sisi lain juga tidak meninggalkan kajian-kajian pemikir Islam klasik, yang
banyak dikaji dari kitab kuning karangan pemikir-pemikir Islam terdahulu. Sehingga
ada keseimbangan antara ilmu pengetahuan yang ada pada kitab kuning dengan pengembangan
pengetahuan sekarang. Banyak juga lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini
yang membuka jurusan tekhnik, kedokteran, hukum, perbankan, akuntansi, bahkan
peternakan dan pertanian. Pendidikan Islam juga tidak mau kalah dengan
perkembangan tekhnologi saat ini. Pendidikan Islam harus bisa memberikan solusi
yang terbaik dalam mensikapi arus pengetahuan tanpa batas.
Jadi, konteks pendidikan Islam dalam kebhinekaan kita
harus selalu menjadi pilar yang sejalan dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jangan sampai pendidikan Islam menyimpang dan menjadi pendidikan
yang tidak sejalan dengan cita-cita bangsa. Apalagi sampai merugikan yang lain.
Pendidikan Islam harus tangguh mendidik peserta didiknya menjadi generasi yang
patut di banggakan untuk kemajuan negara. Pendidikan yang mampu menerima
keberagaman dan kebhinekaan dalam negara kita. Bahwa Islam sebagai agama yang
mayoritas harus bisa menjadi agama yang penuh kedamaian dan selalu menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga tidak ada celah lagi tuduhan untuk
memojokkan agama Islam bahwa isu yang santer beredar bahwa Islam adalah identik
dengan teroris itu salah besar. Islam adalah agama yang damai dan tidak pernah
ada seruan untuk melakukan pembunuhan terhadap yang lain. Islam selalu menerima
perbedaan antar sesama dan selalu melindungi kaum lemah. Pernah Rosulullah dalam
peristiwa Fathu Makkah karena
perjanjian Hudaibiyah dilanggar oleh sekutu Quraisy, selanjutnya Rosulullah SAW
mempersiapkan pasukan guna menggempur kota Makkah, namun Rosulullah SAW
memerintahkan untuk merahasiakan keberangkatan mereka. Selanjutnya Rosulullah
menuju Makkah bersama 10.000 pasukannya, ketika pasukan umat Islam sampai di
Marr Azh-Zhahran Abbas paman Nabi dan beberapa keluarga Bani Hasyim menyatakan
keislamannya, begitu pula dengan Abu Sufyan yang saat itu sebenarnya sedang
mengadakan pengintaian dan melihat begitu besarnya jumlah umat Islam akhirnya
ia masuk Islam. Rosulullah tahu bahwa Abu Sufyan adalah seorang yang gila
hormat, oleh karena itu ketika beliau memasuki kota Makkah Rosulullah SAW
bersabda:
“Barang siapa yang masuk rumahnya Abu Sufyan ia akan selamat,
barang siapa yang menutup pintu rumahnya ia akan selamat, dan barang siapa yang
masuk ke dalam masjid ia juga akan selamat.”
Selanjutnya Rosulullah
meninggalkan Marr Azh-Zhahran menuju Makkah[4]
tanpa harus dengan menganiaya dan membunuh kaum lemah atau lawan yang sudah
menyerah. Setidaknya konteks pendidikan Islam harus selalu menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia meski itu berbeda sekalipun. Begitu juga umat yang
lain juga harus menghormati pula sesuai dengan bentuk falsafah Pancasila yang
ber-Bhinneka Tunggal Ika.
*Penulis Guru MI
Salafiyah Bangilan dan anggota Komunitas Kali Kening Bangilan.
[1] Maslikhan, Quo Vadis Pendidikan Multikultur Rekontruksi Sistem
Pendidikan Berbasis Kebangsaan (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2007), Hal.
180-181.
[2]
Maslikhan, Quo Vadis Pendidikan
Multikultur Rekontruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan (Salatiga: STAIN
Salatiga Press, 2007), Hal. 80-82.
[3] Sultan Hamengku Buwono, Merajut Kembali
Ke-Indonesiaan Kita ( Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). Hal.
101-102.
[4] Joyojuwoto, Jejak Sang Rosul (Banjarmasin Selatan: Dreamedia Corp,
2016). Hal. 136-139.
Label: Artikel Edukasi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda