Tombak Ciputra
Oleh. Rohmat Sholihin*
https://www.merdeka.com/peristiwa/ciputra-sempat-disangka-keluarga-mata-mata-kini-jadi-orang-kaya.html
Terkadang orang tak percaya, bahwa
orang terkaya sekalipun pernah merasakan miskin sedunia. Tak punya apapun
kecuali baju dan celana saja, namun masih punya modal harga diri yang tetap
menyala-nyala. Tulisan ini sedikit terinspirasi oleh usaha yang dilakukan oleh
pak Ci atau terkenal dengan nama Ciputra. Pengusaha besar yang tergolong orang
terkaya nomor tiga pada tahun 2012 dengan aset kelompok usaha senilai US$ 3 miliar.
Luar biasa. Namun jangan langsung kita terpukau dengan kekayaan yang telah ia
raih tanpa melihat segala sesuatu di balik usaha yang telah dilakukannya tersebut.
Ia pernah mengalami hidup susah. Dengan tuduhan memihak Belanda, ayah Ciputra
ditangkap oleh penguasa Jepang. Sembilan bulan kemudian sang ayah meninggal di
penjara. Tanpa suami, sang ibu membawa anak-anaknya pindah ke desa lain. Akan tetapi,
perpindahan ini hanya bersifat fisik. Sebab, dalam kenyataannya, keluarga itu
masih mempertahankan usaha kelontong. Sebagai seorang anak pemilik toko
kelontong, tentu hidupnya sederhana. Untuk pergi ke sekolah, ia harus berjalan
kaki sepanjang 7 kilometer, tanpa sepatu (bare
foot). Dan berjalan pulang dari sekolah, ia harus menghadapi panasnya
sengat matahari atau kedinginan karena hujan. Pun pada malam hari ia masih
mempunyai tugas khusus. Menjaga ladang, dengan tidur seorang diri di tengah hutan.
Dalam hutan belantara itu ia tidak lalu diam tanpa berbuat apapun. Alamlah yang
membentuk karakter manusia. Jika alam itu ganas maka tak ada alasan watak
seseorang itupun menjadi ganas, jika alam itu serba mendukung baik kesuburan,
kemakmuran serta kemudahan-kemudahan yang didapatkan, bisa dipastikan watak
seseorang itu menjadi malas. Orang akan selalu berfikir keras jika ia dalam
situasi yang kritis. Begitu sebaliknya, orang itu akan menjadi malas-malasan
jika semua telah ada di depannya. Dengan kelihaian dalam bermain tombak ia
selalu berburu binatang-binatang liar untuk diambil dagingnya dan dijual esok
harinya. Sehingga memperoleh uang untuk makan, bahkan juga sering membuat topi
dari dedaunan untuk dijual warga sekitar.
Akan tetapi, kehidupan yang sangat
bersahaja pada masa kecilnya itu ia jalani dengan bahagia. “I can still feel the heat and cold (and)
pangs of hunger … but I tried to enjoy
what I had. I was always thinking about how I could get out of (that) situation”
(saya masih bisa merasakan terik dan dingin masa itu (dan) rasa perih karena
lapar … tetapi saya berusaha menikmati apa yang saya miliki. Saya selalu
berfikir tentang bagaimana bisa melepaskan diri dari situasi itu). Dan modal
untuk melepaskan diri dari situasi hidup bersahaja tersebut adalah kepekaan
kewirausahaan yang terasah sejak Ciputra kanak-kanak yang diperoleh dari
interaksi kesehariannya dengan barang-barang kelontong di rumahnya.
Ada mata rantai yang menarik dari
sosok Ciputra yang berhasil menjadi orang terkaya nomor tiga. Pertama, kemauan yang keras dari dalam
dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang menghasilkan. Yaitu dengan bersenjata
tombak dan tidur sendirian di tengah hutan menjadikan ia bukanlah sosok yang
penakut dan berwawasan sempit. Karakter sebagai manusia yang berburu adalah
karakter yang pemberani. Menengok sedikit sejarah dalam peradaban manusia purba
yang belum ada perkembangan apapun kecuali mengandalkan alam. Kekuatan fisiklah
yang mampu bertahan dalam mengarungi ujian ganasnya alam. Terutama untuk
mendapatkan makanan mereka harus berburu binatang liar, dengan berlari,
bertarung menangkap bahkan menaklukan binatang liar tersebut. Belum lagi harus
berlindung menghadapi binatang-binatang buas yang siap menerkam. Sehingga dari
berburu tersebut lambat laun mempengaruhi perkembangan mental dan fisiknya
menjadi pemberani dan kuat. Kedua, dengan
keterampilannya ia membuat topi dari dedaunan membuat ia harus juga kreatif. Tidak
lagi menggunakan kekuatan fisiknya namun keterampilannya ia dalam membuat hasil
karya yang mampu dihargai oleh orang lain. Bagaimana trik-triknya ia menawarkan
ke orang lain?, sehingga bisa laku terjual dan mendapatkan hasil. Ketiga, ia juga harus terbiasa dengan
kebiasaan-kebiasaan untuk menumbuhkan mental kewirausahaan. Contohnya, ketika
ia dirumah harus terbiasa dengan barang-barang dagangan yang bertumpukan. Bagaimana
ia menganggap bahwa barang-barang itu adalah sumber penghasilan. Secara tidak
langsung orang tuanya menciptakan lingkungan budaya kewirausahaan itu.
Ketika ia menginjak remaja iapun
meneruskan studinya ke Institut Tehnologi Bandung (ITB). Sejak 1961, setelah
lulus iapun mendirikan PT Pembangunan Jaya, sebuah perusahaan konsultan
arsitektur. Tetapi, kendati menjadi bagian dari pemilik perusahaan, ia secara
psikologis, masih berada dalam situasi masa lalu. “at that time,” ujarnya, “I
felt desperate because I had to work as a consultant. We were only completing
the tasks assigned by customers. I soon knew this type of job required me to
wait, and that would never bring multiple results.” (Pada waktu itu saya
merasa hampir berputus asa karena saya harus bekerja sebagai seorang konsultan.
Kami hanya menyelesaikan tugas-tugas yang diminta pelanggan. Segera saya sadari
bahwa pekerjaan semacam ini memaksa saya untuk menunggu, dan itu tidak pernah
melahirkan hasil yang berganda). Inilah yang menyebabkan Ciputra secara
psikologis masih berada di bawah bayang-bayang situasi struktural masa
kanak-kanaknya, yang terbatas dan “tak membebaskan”.
Celah pembebasan dari psikologi
keterkungkungan masa lalu itupun terkuak, ketika ia bertemu dengan Gubernur
Jakarta Sumarno. Dalam kesempatan ini ia harus bertemu dengan Presiden Sukarno
yang terkesan dengan ide dan gagasan serta tawaran untuk merubah konsep bangunan
Pasar Senen. Ia merasa tertantang dan harus membuktikan bahwa ia harus bisa
keluar dari situasi itu, how I could get
out of that situation. Dengan proyek Pasar Senen tersebut, ia telah menjadi
“tuan”, mengerjakan dan mewujudkan impiannya sendiri. Dan, pasca proyek
tersebut Ciputra sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini, kian mengukuhkan
posisi “tuan” atas dirinya sendiri. Dari pembangunan proyek Pasar Senen,
Ciputra telah bergerak melebihi ekspektasi, bahkan Ciputra telah meresmikan
pembangunan tiang pancang (groundbreaking) gedung perkantoran Ciputra World 2. Tujuannya
adalah menciptakan sebuah kawasan yang: setara dengan ikon pusat perbelanjaan
dan hiburan di kota besar dunia, seperti Orchard Road di Singapura, Champs
Elysees di Paris dan Ginza di Tokyo. Dan proyek ini tentu ribuan kali lebih
besar dari proyek pembangunan Pasar Senen abad lalu itu. Sebab, secara
keseluruhan,proyek yang memadukan Ciputra 1, 2, dan 3 yang melingkupi kawasan superblok
seluas total 15 hektar-itu direncanakan menjadikan Jakarta memiliki pusat
perbelanjaan taraf dunia dan “tujuan utama orang ke Jakarta.” Benar-benar
tombak Ciputra telah mengenai sasaran lebih dari yang ia perkirakan, bahkan
lebih dari binatang buas sekalipun.
Tulisan ini sebenarnya hanya ulasan dan
kutipan yang aku ambil dari buku yang berjudul “Antara Pasar dan Politik. BUMN
di Bawah Dahlan Iskan”. Yang ditulis oleh Fachry Ali dan R.J. Lino. Namun bagiku
buku ini memberikan motivasi yang hangat untuk kita, bagaimana langkah-langkah
kita bisa keluar dari banyak kesulitan terutama kesulitan dalam merintis usaha apapun termasuk dalam membangun sebuah
komunitas Literasi seperti Kali Kening ini. Kita perlu seorang manajemen yang
handal dan petarung sejati dengan catatan tidak meninggalkan beberapa kasus
yang bisa membuat komunitas itu sendiri mengalami degradasi. Dalam artian malah
terpuruk. Membangun komunitas literasi itu memang lain dari yang lain tidak seperti
membangun sebuah perusahaan dalam bidang perniagaan yang menghasilkan profit
yang besar, akan tetapi kita dalam membangun komunitas literasi ini adalah
bekerja untuk kebudayaan, dimana pola pikir kita yang banyak berhubungan dengan
dunia membaca dan tulis-menulis kemudian berusaha untuk dibukukan menjadi
sumber pengetahuan yang bisa di akses oleh banyak orang. Membukukan hasil
karyapun harus rela membayar pada perusahaan penerbit dan itupun tidak murah. Jika
orang waras dan tidak mencintai pengetahuan, mana mungkin mau berkiprah di
dalamnya? Karena jawabnya pasti sederhana, tidak menguntungkan dan bahkan tak
ada penghasilan. Usaha untuk membesarkan hati saja, ada ide dengan menjual
hasil karya ke orang lain setelah menjadi karya buku. Itupun berapa untungnya? Dan
pasti labanya dikembalikan pada modal patungan pada anggota dan keberlangsungan
komunitas.
Namun, kisah perjalanan seseorang
ataupun kelompok terkadang tidak sejalan dengan garis linear pemikiran. Banyak kemungkinan-kemungkinan
yang bisa saja terjadi. Karena hidup adalah dinamis, maka dari itu kita harus
dinamis pula untuk mengikuti arus kehidupan ini. Seperti arus air sungai yang
telah membawa beban dan akan lebih ringan jika kita mengikuti arusnya. Tulisan
ini tidak ada niat sedikitpun untuk memprovokasi pada yang lain tapi kutipan
yang aku ambil di atas melalui pengalaman orang-orang hebat seperti Ciputra adalah
bahwa perjuangan selalu di mulai dari titik nol, hikmahnya dibalik itu bahwa kita
harus kuat bertahan dan tabah dalam menyelesaikan permasalahan serta bijak
dalam mengambil sikap serta tidak mudah berputus asa. Bekerja dalam kebudayaan
adalah bekerja untuk keabadian. Maka tak usah takut untuk tidak mendapatkan
apa-apa tapi setidaknya kita telah mendapatkan banyak tempat di hati orang lain
melalui banyak karya. Dan bagaimana kita bisa keluar dari situasi apapun, meski
sangat sulit. Salam kebudayaan. Maju terus Komunitas Literasi Kali Kening.
Bangilan, 23
Maret 2017.
*Penulis anggota
Komunitas Kali Kening.
Label: Tokoh Inspirasi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda