Kamis, 23 Maret 2017

Tombak Ciputra

Oleh. Rohmat Sholihin*

https://www.merdeka.com/peristiwa/ciputra-sempat-disangka-keluarga-mata-mata-kini-jadi-orang-kaya.html
            Terkadang orang tak percaya, bahwa orang terkaya sekalipun pernah merasakan miskin sedunia. Tak punya apapun kecuali baju dan celana saja, namun masih punya modal harga diri yang tetap menyala-nyala. Tulisan ini sedikit terinspirasi oleh usaha yang dilakukan oleh pak Ci atau terkenal dengan nama Ciputra. Pengusaha besar yang tergolong orang terkaya nomor tiga pada tahun 2012 dengan aset kelompok usaha senilai US$ 3 miliar. Luar biasa. Namun jangan langsung kita terpukau dengan kekayaan yang telah ia raih tanpa melihat segala sesuatu di balik usaha yang telah dilakukannya tersebut. Ia pernah mengalami hidup susah. Dengan tuduhan memihak Belanda, ayah Ciputra ditangkap oleh penguasa Jepang. Sembilan bulan kemudian sang ayah meninggal di penjara. Tanpa suami, sang ibu membawa anak-anaknya pindah ke desa lain. Akan tetapi, perpindahan ini hanya bersifat fisik. Sebab, dalam kenyataannya, keluarga itu masih mempertahankan usaha kelontong. Sebagai seorang anak pemilik toko kelontong, tentu hidupnya sederhana. Untuk pergi ke sekolah, ia harus berjalan kaki sepanjang 7 kilometer, tanpa sepatu (bare foot). Dan berjalan pulang dari sekolah, ia harus menghadapi panasnya sengat matahari atau kedinginan karena hujan. Pun pada malam hari ia masih mempunyai tugas khusus. Menjaga ladang, dengan tidur seorang diri di tengah hutan. Dalam hutan belantara itu ia tidak lalu diam tanpa berbuat apapun. Alamlah yang membentuk karakter manusia. Jika alam itu ganas maka tak ada alasan watak seseorang itupun menjadi ganas, jika alam itu serba mendukung baik kesuburan, kemakmuran serta kemudahan-kemudahan yang didapatkan, bisa dipastikan watak seseorang itu menjadi malas. Orang akan selalu berfikir keras jika ia dalam situasi yang kritis. Begitu sebaliknya, orang itu akan menjadi malas-malasan jika semua telah ada di depannya. Dengan kelihaian dalam bermain tombak ia selalu berburu binatang-binatang liar untuk diambil dagingnya dan dijual esok harinya. Sehingga memperoleh uang untuk makan, bahkan juga sering membuat topi dari dedaunan untuk dijual warga sekitar.
            Akan tetapi, kehidupan yang sangat bersahaja pada masa kecilnya itu ia jalani dengan bahagia. “I can still feel the heat and cold (and) pangs of  hunger … but I tried to enjoy what I had. I was always thinking about how I could get out of (that) situation” (saya masih bisa merasakan terik dan dingin masa itu (dan) rasa perih karena lapar … tetapi saya berusaha menikmati apa yang saya miliki. Saya selalu berfikir tentang bagaimana bisa melepaskan diri dari situasi itu). Dan modal untuk melepaskan diri dari situasi hidup bersahaja tersebut adalah kepekaan kewirausahaan yang terasah sejak Ciputra kanak-kanak yang diperoleh dari interaksi kesehariannya dengan barang-barang kelontong di rumahnya.
            Ada mata rantai yang menarik dari sosok Ciputra yang berhasil menjadi orang terkaya nomor tiga. Pertama, kemauan yang keras dari dalam dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang menghasilkan. Yaitu dengan bersenjata tombak dan tidur sendirian di tengah hutan menjadikan ia bukanlah sosok yang penakut dan berwawasan sempit. Karakter sebagai manusia yang berburu adalah karakter yang pemberani. Menengok sedikit sejarah dalam peradaban manusia purba yang belum ada perkembangan apapun kecuali mengandalkan alam. Kekuatan fisiklah yang mampu bertahan dalam mengarungi ujian ganasnya alam. Terutama untuk mendapatkan makanan mereka harus berburu binatang liar, dengan berlari, bertarung menangkap bahkan menaklukan binatang liar tersebut. Belum lagi harus berlindung menghadapi binatang-binatang buas yang siap menerkam. Sehingga dari berburu tersebut lambat laun mempengaruhi perkembangan mental dan fisiknya menjadi pemberani dan kuat. Kedua, dengan keterampilannya ia membuat topi dari dedaunan membuat ia harus juga kreatif. Tidak lagi menggunakan kekuatan fisiknya namun keterampilannya ia dalam membuat hasil karya yang mampu dihargai oleh orang lain. Bagaimana trik-triknya ia menawarkan ke orang lain?, sehingga bisa laku terjual dan mendapatkan hasil. Ketiga, ia juga harus terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan untuk menumbuhkan mental kewirausahaan. Contohnya, ketika ia dirumah harus terbiasa dengan barang-barang dagangan yang bertumpukan. Bagaimana ia menganggap bahwa barang-barang itu adalah sumber penghasilan. Secara tidak langsung orang tuanya menciptakan lingkungan budaya kewirausahaan itu.
            Ketika ia menginjak remaja iapun meneruskan studinya ke Institut Tehnologi Bandung (ITB). Sejak 1961, setelah lulus iapun mendirikan PT Pembangunan Jaya, sebuah perusahaan konsultan arsitektur. Tetapi, kendati menjadi bagian dari pemilik perusahaan, ia secara psikologis, masih berada dalam situasi masa lalu. “at that time,” ujarnya, “I felt desperate because I had to work as a consultant. We were only completing the tasks assigned by customers. I soon knew this type of job required me to wait, and that would never bring multiple results.” (Pada waktu itu saya merasa hampir berputus asa karena saya harus bekerja sebagai seorang konsultan. Kami hanya menyelesaikan tugas-tugas yang diminta pelanggan. Segera saya sadari bahwa pekerjaan semacam ini memaksa saya untuk menunggu, dan itu tidak pernah melahirkan hasil yang berganda). Inilah yang menyebabkan Ciputra secara psikologis masih berada di bawah bayang-bayang situasi struktural masa kanak-kanaknya, yang terbatas dan “tak membebaskan”.
            Celah pembebasan dari psikologi keterkungkungan masa lalu itupun terkuak, ketika ia bertemu dengan Gubernur Jakarta Sumarno. Dalam kesempatan ini ia harus bertemu dengan Presiden Sukarno yang terkesan dengan ide dan gagasan serta tawaran untuk merubah konsep bangunan Pasar Senen. Ia merasa tertantang dan harus membuktikan bahwa ia harus bisa keluar dari situasi itu, how I could get out of that situation. Dengan proyek Pasar Senen tersebut, ia telah menjadi “tuan”, mengerjakan dan mewujudkan impiannya sendiri. Dan, pasca proyek tersebut Ciputra sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini, kian mengukuhkan posisi “tuan” atas dirinya sendiri. Dari pembangunan proyek Pasar Senen, Ciputra telah bergerak melebihi ekspektasi, bahkan Ciputra telah meresmikan pembangunan tiang pancang (groundbreaking) gedung perkantoran Ciputra World 2. Tujuannya adalah menciptakan sebuah kawasan yang: setara dengan ikon pusat perbelanjaan dan hiburan di kota besar dunia, seperti Orchard Road di Singapura, Champs Elysees di Paris dan Ginza di Tokyo. Dan proyek ini tentu ribuan kali lebih besar dari proyek pembangunan Pasar Senen abad lalu itu. Sebab, secara keseluruhan,proyek yang memadukan Ciputra 1, 2, dan 3 yang melingkupi kawasan superblok seluas total 15 hektar-itu direncanakan menjadikan Jakarta memiliki pusat perbelanjaan taraf dunia dan “tujuan utama orang ke Jakarta.” Benar-benar tombak Ciputra telah mengenai sasaran lebih dari yang ia perkirakan, bahkan lebih dari binatang buas sekalipun.
            Tulisan ini sebenarnya hanya ulasan dan kutipan yang aku ambil dari buku yang berjudul “Antara Pasar dan Politik. BUMN di Bawah Dahlan Iskan”. Yang ditulis oleh Fachry Ali dan R.J. Lino. Namun bagiku buku ini memberikan motivasi yang hangat untuk kita, bagaimana langkah-langkah kita bisa keluar dari banyak kesulitan terutama kesulitan dalam merintis usaha  apapun termasuk dalam membangun sebuah komunitas Literasi seperti Kali Kening ini. Kita perlu seorang manajemen yang handal dan petarung sejati dengan catatan tidak meninggalkan beberapa kasus yang bisa membuat komunitas itu sendiri mengalami degradasi. Dalam artian malah terpuruk. Membangun komunitas literasi itu memang lain dari yang lain tidak seperti membangun sebuah perusahaan dalam bidang perniagaan yang menghasilkan profit yang besar, akan tetapi kita dalam membangun komunitas literasi ini adalah bekerja untuk kebudayaan, dimana pola pikir kita yang banyak berhubungan dengan dunia membaca dan tulis-menulis kemudian berusaha untuk dibukukan menjadi sumber pengetahuan yang bisa di akses oleh banyak orang. Membukukan hasil karyapun harus rela membayar pada perusahaan penerbit dan itupun tidak murah. Jika orang waras dan tidak mencintai pengetahuan, mana mungkin mau berkiprah di dalamnya? Karena jawabnya pasti sederhana, tidak menguntungkan dan bahkan tak ada penghasilan. Usaha untuk membesarkan hati saja, ada ide dengan menjual hasil karya ke orang lain setelah menjadi karya buku. Itupun berapa untungnya? Dan pasti labanya dikembalikan pada modal patungan pada anggota dan keberlangsungan komunitas.
            Namun, kisah perjalanan seseorang ataupun kelompok terkadang tidak sejalan dengan garis linear pemikiran. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Karena hidup adalah dinamis, maka dari itu kita harus dinamis pula untuk mengikuti arus kehidupan ini. Seperti arus air sungai yang telah membawa beban dan akan lebih ringan jika kita mengikuti arusnya. Tulisan ini tidak ada niat sedikitpun untuk memprovokasi pada yang lain tapi kutipan yang aku ambil di atas melalui pengalaman orang-orang hebat seperti Ciputra adalah bahwa perjuangan selalu di mulai dari titik nol, hikmahnya dibalik itu bahwa kita harus kuat bertahan dan tabah dalam menyelesaikan permasalahan serta bijak dalam mengambil sikap serta tidak mudah berputus asa. Bekerja dalam kebudayaan adalah bekerja untuk keabadian. Maka tak usah takut untuk tidak mendapatkan apa-apa tapi setidaknya kita telah mendapatkan banyak tempat di hati orang lain melalui banyak karya. Dan bagaimana kita bisa keluar dari situasi apapun, meski sangat sulit. Salam kebudayaan. Maju terus Komunitas Literasi Kali Kening.


Bangilan, 23 Maret 2017.

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda