Berkhayal Hari Ini
Oleh. Rohmat Sholihin*
www. google
Terkadang kita meremehkan berkhayal.
Sehingga berkhayal tak lagi penting. Karena hanya sebuah khayalan, tentu tidak
nyata atau belum pasti terjadi. Di negara-negara maju seperti Amerika yang
bermuara di Hollywood sebagai gudangnya pengkhayal, banyak khayalan-khayalan
yang telah dijadikan moment dalam bentuk film, dan tentu mendatangkan uang
super besar dari hasil mengkhayal tersebut. Ternyata orang-orang suka melihat
hasil khayalan dari orang yang kreatif dalam me-manajemen dunia khayalnya. Contoh
kecil, khayalan World Disney yang mencoba membuat dunia khayalnya menjadi dunia
nyata, seakan-akan bahwa tokoh-tokoh dalam World Disney adalah tokoh inspiratif
yang bisa dipetik moral serta amanatnya dalam kehidupan sehari-hari, meski
banyak konyolnya tapi terkadang ada juga yang menggunakannya dalam menggaris
bawahi di dalam proses kehidupan manusia. Itulah manusia yang cerdas dalam
memoles segala nilai moral dalam kehidupan untuk menjadi nilai yang bisa
dipetik oleh semua orang melalui penayangan dalam bentuk film bahkan juga
tulisan.
Begitulah arti penting dunia
khayalan dalam kehidupan yang nyata. Bahkan sangat menariknya khayalan itu,
sampai kita menjadi kabur, apakah itu nyata atau hanya fiksi?, buram, sehingga kita mengartikannya bahwa antara
fakta dan fiksi hanya beda tipis. Tipis sekali. Apalagi saat ini kemajuan
tekhnologi informasi sangat tinggi sehingga banyak orang yang tertipu dengan
khayalan-khayalan tingkat tinggi, dalam dunia maya orang menyebutnya menjadi
“berita hoax” yang kini semakin beredar ke seluruh dunia maya.
Mengkhayalku hari ini rasanya ingin
bisa membuat film. Saat ini banyak kalangan sudah bisa dan pandai membuat film.
Anak-anak juga sudah pandai membuat film, meski proses pengambilan adegan
gambarnya sederhana melalui perangkat handphone pada aplikasi video. Setidaknya
adegan-adegan itu bisa di tonton oleh bnyak orang melalui penyebaran di
facebook, You Tube, Email, BBM, WhatsApp dan sebagainya. Film sudah bukan benda
asing lagi tapi film sudah menjadi trend tersendiri dalam kehidupan sekarang.
Hampir setiap ada moment penting tak usah susah-susah untuk menuangkannya dalam
bentuk film. Saling berbagi dalam bentuk film betapa mudahnya saat ini, semua
serba canggih dan mudah. Tinggal klik. Jadilah film yang disunting dari video
kamera. Membuat film tak sesulit dalam bayangan. Anak kecil saja bisa.
Membuat film seperti memaparkan
kisah kehidupan. Kisah-kisah yang menarik untuk bisa dijadikan moment penting
bagi audiens. Film sudah seperti sarana untuk pembelajaran kehidupan yang
nyata. Film sudah bagian dari dokumentasi penting, mengisahkan segala kisah untuk
bisa menginspirasi kehidupan masyarakat luas. Namun, setidaknya film harus
memberikan informasi dan pesan moral untuk kehidupan yang lebih baik. Ada
beberapa kendala perkembangan pola pikir anak-anak dengan perkembangan film
yang telah bertebaran di program-progarm stasiun televisi kita yang menurut
para pakar perkembangan anak-anak adalah film yang tidak memberikan gambaran
edukasi yang baik tapi malah memberikan pengaruh buruk pada perkembangan pola
pikir anak-anak. Pertama, peran aktor
dan artis tertentu yang memerankan situasi pembelajaran di sekolah-sekolah
dengan menggunakan mobil mewah, bahkan di antar oleh sopir pribadinya. Ini
menggambarkan kemewahan pada diri anak, bukan mencerminkan situasi
kesederhanaan pada diri anak. Karena anak-anak masih memasuki masa-masa sulit
dalam meraih arti jati diri dan kesuksesan, meskipun semua fasilitas itu orang
tuanya punya dan meski sedang memerankan tokoh anak tajir namun jangan terlalu
berlebihan untuk ditonjolkan. Pihak sutradara dan produser tidak boleh egois
hanya ingin mementingkan nilai profit pada filmnya saja karena sukses dengan
jutaan pemirsa, tapi juga harus lebih memerhatikan kondisi psikologis anak, apa
akibat dari film dan sinetron yang telah diproduksinya itu? Pemandangan ini
banyak saya temukan pada sinetron-sinetron di program-program televisi kita.
Anehnya, hampir semua sinetron itu mendapatkan tempat di hati masyarakat yang
pada intinya situasi kehidupannya jauh dengan apa yang masyarakat alami.
Benar-benar kita telah dirasuki kebohongan oleh film-film yang tidak bermutu.
Tapi berkuasa karena berhasil ditayangkan oleh program televisi tertentu karena
paling sukses ditonton oleh pemirsa. Sengaja sedikit membandingkan dengan
sinetron-sinetron dan film-film luar negeri, misalkan film dan sinetron Korea
dan Japan, hampir sangat sedikit mengisahkan dunia pendidikan dengan kemewahan,
meskipun ada tapi sangat jarang, hampir yang aku temukan ketika para aktor dan
artis yang memerankan pelajar berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda,
bus umum, kereta api, bahkan tak jarang harus di tempuh dengan berjalan kaki,
ini jelas pemandangan nyata yang dialami oleh masyarakat mereka, sangat jarang
pelajar berangkat ke sekolah dengan mobil mewah dan sopir pribadi karena
biayanya mahal. Lain di sinetron-sinetron kita yang sering memperlihatkan
pelajar berangkat ke sekolah dengan mobil mewah dan sopir pribadi padahal
mereka statusnya masih pelajar dan secara status ekonomi masih mengandallkan peranan
orang tuanya. Kedua, cerita yang
terlalu bertele-tele dan membosankan dengan seri yang terlalu panjang dan
berakhir tidak jelas arahnya. Faktor ini hanya ingin merebut hati pemirsa namun
membuat pemirsa mabuk terbuai oleh
penasaran tak terhingga dan lupa segalanya demi kelanjutan sinetron dan film
kesayangan dan hasil akhir cerita yang tidak begitu memuaskan bahkan tidak
tamat, bisa juga berubah jam tayang. Ketiga,
cerita yang diambil masih banyak yang bertema unsur magis, kemewahan, gaya
hidup dan harta warisan. Jarang sinetron dan film kita yang memiliki unsur
edukasi yang positif bagi perkembangan anak-anak. Dan lebih membahayakan lagi
ketika para orang tua yang begitu egois lebih mementingkan acara-acara televisi
dan mengabaikan waktu belajarnya anak-anak. Ini juga berbahaya, karena peran
keluarga sangatlah penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Ibaratnya lingkungan keluarga yang harmonis adalah surga bagi anak. Dengan
lingkungan keluarga yang harmonis akan banyak melahirkan generasi yang kuat dan
kokoh. Pada lingkungan keluarga yang harmonis, ada penanaman akhlak yang
positif bagi anak secara langsung dan terjadi setiap hari. Orang tua yang
menjadi peran sentral akan menjadi guru yang baik di lingkungan keluarga, anak
akan meniru peran dan kebiasaan yang dilakukan orang tua. Hati-hati, secara
perlahan anak-anak akan dengan mudah menyerap nilai-nilai yang menjadi
kebiasaan orang tua di rumah, termasuk kebiasaan negatif, seperti contoh kecil,
kebiasaan marah-marah, berkata-kata kotor, bahkan kebiasaan-kebiasaan buruk
lainnya. Orang tua harus bisa membiasakan kebiasaan positif dimanapun berada.
Agar anak-anak juga menirunya. Lebih-lebih peran orang tua harus bisa
mengarahkan anak kepada nilai-nilai pendidikan tauhid (keimanan). Entah apa pun
agamanya, akan mengukuhkan keyakinan dan keimanan anak. Tidak akan terombang-ambing
oleh simpang siur opini yang terus berkembang, lebih-lebih kabar “hoax” baik
yang ada di media apapun, termasuk televisi. Menguatkan sikap lebih takut Tuhan
daripada lingkungan. Banyak anak dan remaja berbuat kriminal hanya karena
dorongan teman. Banyak anak gadis takut ditinggal pacar sehingga melepaskan
kehormatan. Padahal, ada orang tua yang menyayangi, ada Tuhan yang melindungi.
Keluarga merupakan tempat terbaik untuk berkeluh kesah dan menikmati bahagia.
Mendidik hormat kepada orang tua. Pendidikan itu berlaku dua arah. Artinya,
hormat anak kepada orang tua akan lahir jika anak menyaksikan contoh baik.
Keteladanan sangatlah menentukan. Jadi, tidak ada pilihan lain bagi orang tua:
berakhlaklah mulia agar anak meneladaninya. Harmoni antara anak dan orang tua
menhasilkan energi positif bagi anak. ( Jawa Pos, Kembalikan Keluarga sebagai
Surga bagi Anak; Rabu 12 April 2017; hlm. 4)
Mulailah dari sekarang untuk membatasi
waktu bagi anak yang suka melihat televisi dengan program-program yang kurang
mendidik. Temani anak-anak melihat televisi secara langsung, dan ikut memberikan
komentar ketika menemukan sesuatu yang buruk pada penayangan program televisi
yang ia lihat karena jangan sampai anak ikut berlarut-larut terhadap pengaruh
yang ada pada televisi. Apalagi ada banyak kasus kekerasan yang mengerikan
dalam berita-berita yang hanya patut di lihat oleh orang dewasa. Ajaklah untuk
melihat konser musik yang beradab, kekayaan budaya-budaya Nusantara, melihat
siaran langsung pertandingan olah raga, dan penayangan-penayangan yang bersifat
alam seperti tempat-tempat yang indah di tanah Nusantara ini. Apakah peran
orang tua seperti ini sangat mengganggu kebebasan anak? Tentu tidak, asalkan
kita ikut menemani dan menjadi pendamping bagi anak secara bijak dan
menyenangkan. Misalkan, ketika ada pertandingan olah raga kita bisa nonton
bersama dengan penuh keakraban. Dari kebiasaan itu tak ada sekat-sekat yang
membebani dari kedua belah pihak, baik bagi anak dan juga orang tua. Asalkan kita
sportif, penuh keterbukaan dan kejujuran serta tanggung jawab sesuai peran
masing-masing.
Khayalan-khayalan yang positiflah
yang mampu memberikan inspirasi positif. Pikiran dan hati kita juga akan tetap
sehat dengan suplemen inspirasi yang penuh aura positif. Motivasi hidup kita
akan selalu terbangun dengan khayalan-khayalan yang bernilai baik. Sehingga kita
tidak rentan terhadap kecemasan-kecemasan, stress karena banyak pikiran,
ketakutan, bahkan menjadi paranoid terhadap bayangan kita sendiri. Menjadi takut
akan sesuatu hal yang belum terjadi. Pikiran kita susah untuk berdialektika
dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial sekitar karena inspirasi dan
khayalan kita telah penuh dengan kekhawatiran yang berlebihan, negatif
thinking. Banyak orang-orang yang sukses selalu mempunyai khayalan tingkat
tinggi yang bernilai positif. Sehingga betapapun besarnya halangan dan rintangan
yang menghadangnya ia selalu mempunyai pikiran dan inspirasi untuk dapat
melaluinya. Tak takut dan penuh percaya diri dalam menghadapinya, motivasi
positifnya sudah terbentuk sekian lama dari proses ketika ia akan mewujudkan
impiannya. Selamat berkhayal. Semoga senang.
Bangilan, 13
April 2017.
*Penulis anggota
Komunitas Kali Kening.
Label: Opini
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda