Colt Camat, VW Combo Persatu
Oleh. Rohmat Sholihin*
http://imotorium.com/2016/02/05/sejarah-karoseri-ternama-di-indonesia-karoseri-new-armada/
Tiba-tiba bertemu di warung makan dengan teman lama,
sangat mengharukan. Kenapa? Karena ada rasa pangling
yang hinggap pada otak kita. Seakan-akan tak percaya jika orang yang berdiri
didepan adalah teman lama, teman seperjuangan, dan teman menggapai harapan. Kontan
berteriak histeris sambil memukul-mukulkan tinju ke arah bahuku. Yang ditanya
pertama: pastinya kabar, kedua: istri, bukan istri yang kedua lho, dan ketiga:
anak, keempat: kerja, kelima: kabar teman ini dan itu, dan seterusnya: tentu
saja kabar sepak bola, menarik ini tentunya karena sama-sama pernah bermain
bola. Dan tentu saja tentang Persatu Tuban. Tim kebanggan kota Legen dan Tuak
ini.
Ia bercerita dengan menyala-nyala sembari menikmati
hidangannya, tentang kisahnya ketika ia masih membela tim berjuluk Laskar
Ronggolawe, ia masih mengalami masa-masa prihatin ketika di Persatu. Belum ada
fasilitas menjanjikan seperti saat ini. Namun, sedikitpun tak ada guratan wajah
menyesal dan merugi tentang kiprahnya dalam dunia bola yang bundar. Justru
sangat bangga, meski hanya mendapatkan fasilitas seadanya. Uang jajan dari klub
yang tak seberapa dan sarana transportasi masih pakai mobil klasik, mobil Colt
Camat dan VW Combo untuk berangkat bertanding dalam laga tandang. “Tapi hati
ini puas, senang, bisa membela Persatu Tuban.” Katanya dengan bangga.
Colt Camat dan VW Combo sudah bagaikan Bus Pariwisata
full fasilitas bagi pemain-pemain Persatu saat itu. Tak ada yang mengeluh,
hampir semua menikmati. Dan pertandingan baik tandang maupun bermain di rumah
sendiri bisa berjalan dengan penuh semangat, meski belum meraih juara akan
tetapi telah membuktikan bahwa Persatu sebagai tim kesayangan warga Tuban tetap
terus eksis hingga sekarang.
“Hebat dan sukses buat mas
Karjan. Ia sekarang telah berhasil menjadi asisten pelatih yang handal,
sebentar lagi ia kandidat pelatih kepala.” Bicaramu disela menyeruput es teh
manis dengan senyum lepas. Aku hanya mengangguk saja. Mendengarkan ia bercerita
dengan penuh keceriaan. Aku membayangkan ceritamu kala itu. Banyak mantan
pemain Persatu yang kini telah menikmati hidup dengan tidak bermain bola lagi
karena faktor ekonomi dan usia. Jika mas Karjan memang tipe orang yang bekerja
keras mulai dari Persatu belum seperti sekarang. Ia konsisten dan mampu bertahan
di bidang sepak bola, khususnya untuk Persatu. Padahal sepak bola di negeri ini
memang masih hanya bersifat hobi saja dan belum bisa menghormati dan menghargai
nilai profesionalitas. Banyak kasus yang telah ditemukan dalam kubu klub sepak
bola dalam naungan PSSI. Mulai dari telatnya pembayaran gaji kepada pemain,
kematian pemain, perkelahian antar pemain, ulah supporter, geger dalam tubuh
lembaga PSSI, semua mengharu biru membentuk spiral perjalanan prestasi PSSI
yang miskin gelar di ajang-ajang International. Dengan negara tetangga saja
kita susah bersaing. Apa yang salah? Menengok beberapa tahun yang lalu bahwa
Timnas kita selalu jaya. Kita bisa meraih medali emas di Sea Games. Dan sekarang?
Semakin berat langkah Timnas kita untuk bertengger di kursi juara.
Setidaknya ada perombakan-perombakan sistem pembibitan di
ajang-ajang tingkat paling bawah. Mulai dari desa harus selalu terus
mendapatkan perhatian dari pemandu bakat dari tim PSSI tingkat kabupaten.
Perbanyak sekolah-sekolah sepak bola, buat klinik-klinik bola, perbanyak
menggelar kompetisi-kompetisi antar sekolah-sekolah sepak bola yang telah ada
di tiap-tiap kecamatan, membuat program kursus kepelatihan, logikanya bahwa
sekolah-sekolah sepak bola yang ada di tiap desa atau kecamatan jangan sampai
dibiarkan terbengkalai dan tidak mendapatkan perhatian. Karena banyak juga
pemain-pemain handal lahir dari desa. PSSI jangan hanya terus memperhatikan
sekolah-sekolah sepak bola yang ada di kota-kota besar saja, pada level-level
desa juga harus sering di kunjungi, dirangkul, diberi motivasi dengan acara
klinik dan pelatihan-pelatihan yang menyenangkan. Sehingga sepak bola tidak
hanya berkesan mencetak pemain-pemain handal tapi juga menjadikan sepak bola
adalah olah raga yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh, makna hidup sehat,
program olah raga masyarakat, ajang prestasi, produksi orang-orang bermental
positif, dan tentu saja program mencegah dan memerangi Narkoba.
Dengan perombakan-perombakan sistem sepak bola yang
revolusioner tadi masyarakat akan sadar bahwa proses untuk menjadi juara itu
bukanlah hal mudah. Dibutuhkan keseriusan, komitmen dan dedikasi yang tinggi
untuk mewujudkan prestasi yang gemilang. Intinya pemerintah melalui PSSI terus
menggelontorkan dana dan virus semangat kepada setiap daerah-daerah untuk terus
berlatih, berlatih, dan berlatih tanpa kenal putus asa. Jumlah penduduk ¼
miliar untuk menyeleksi dan mencari 11 orang saja kok susahnya minta ampun.
Apanya yang rumit? Karena kita tidak mau berinovasi dan malas merealisasikannya
setiap hasil musyawarah dalam tubuh PSSI.
Kini saatnya PSSI harus terus bekerja keras untuk mewujudkan
olah raga sepak bola sebagai olah raga masyarakat dan bernilai komoditas. Kita
punya banyak potensi, punya banyak bakat, dan punya banyak kesempatan untuk
terus mewujudkannya. Seperti belahan negara-negara Afrika yang punya banyak
kekurangan namun punya banyak talenta dalam olah raga sepak bola, banyak
pemain-pemian handal berkelas dunia yang lahir dari belahan negara Afrika,
seperti; Roger Milla (Kamerun), Samuel Eto’o (Kamerun), George Manneh Oppong Weah
(Liberia), Nwakwo Kanu (Nigeria). Belahan Afrika hampir sama dengan Brazil, negara
sebagai gudangnya pemain sepak bola handal. Seperti sang legendaris Pele, si
Mutaiara Hitam yang selalu dikenang masyarakat dunia hingga saat ini. Jika PSSI
bekerja keras dan bekerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat Indonesia
untuk mewujudkan program-program yang apik dan terbuka, tak ada sesuatu yang
dapat menghalangi untuk kemajuan sepak bola Indonesia. Jika antara PSSI dan
masyarakat seluruh Indonesia bersatu untuk mewujudkan cita-cita untuk kemajuan
sepak bola Indonesia.
Dan seperti semangat dari perjuangan kawan C. Hutanto ini, eks pemain sepak bola yang pernah membela Persatu Tuban dekade tahun 90-an meski hanya
dengan transportasi Colt Camat dan VW Combo, Persatu tetap setia mendekam dalam
hatinya hingga sekarang. Makan siangnya pun telah usai namun ceritanya tentang
perkembangan sepak bola terutama Persatu tetap menancap dalam kepalanya. Sebagai
kalimat penutup makan siangnya yang seru meski hanya di warung sekelas warteg,
mudah-mudahan Persatu Tuban tetap jaya dan sukses. Akupun turut mengamini
dengan setulus hati.
Merakurak, Warung mbak Rum, 2016.
*Penulis anggota Komunitas
Kali Kening Bangilan.
Label: Essai
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda