Kamis, 31 Agustus 2017

Perempuan Itu

https://amaranthp.wordpress.com/category/%D0%BC%D0%BE%D0%B5-%D1%82%D0%B2%D0%BE%D1%80%D1%87%D0%B5%D1%81%D1%82%D0%B2%D0%BE/%D1%80%D0%B0%D0%B7%D0%BC%D0%B8%D1%81%D0%BB%D0%B8/

Oleh. Rohmat Sholihin*

Bangunan megah bergaya kolonial Belanda itu masih megah berdiri. Hanya orang-orangnya saja yang berganti-ganti. Orang lama pindah lalu mati. Orang baru datang menggantikan orang lama dan melakukan aktifitas seperti yang dulu. Mengurusi lumbung pangan dari berbagai macam hasil bumi. Padi, jagung, kedelai, serta kacang hijau. Masih ingat, dilantai pojok sebelah kanan dekat pohon kelapa tertera tulisan angka Agustus 1921. Mungkin pada tahun tersebut bangunan rumah ini mulai dibangun. Sudah ada sebelum negeri ini merdeka.
Bangunan rumahnya masih seperti dulu, baik warna cat, halaman, taman, dan juga tanah lapang yang telah diplester untuk mengeringkan padi. Lebih tepatnya rumah pertanian: rumah untuk pembenihan benih padi. Hanya saja kita tak bisa menyamakan suasana dan empati para penghuninya. Dulu ketika aku usia belasan tahun sering bermain dan menghabiskan waktu senja dengan teman-teman dengan bermain bola ditanah lapang itu. Asyik dan riang. Masa kecil yang menyenangkan. Ditemani pohon kelapa yang berjejer-jejer, pohon mangga, pohon pisang, dan tentu saja tanaman padi yang hijau menghampar. Kaki-kaki kecil kita berlari-larian mengejar bola dan harapan hingga suatu saat kita sadar, kita telah hidup dan dibesarkan pada alam yang luar biasa, indah dan menawan. Tak ada persaingan, kecuali bersaing melesakkan bola plastik ke gawang yang terbuat dari batu. Kita menyebutnya dengan sebutan “gooool”, hadiah terindah dari permainan bola. Kita berteriak-teriak gembira. Seakan-akan dunia kita genggam seutuhnya. Bermain bola ditengah-tengah sawah yang sejuk dengan perkampungan yang sulit kita lupakan yaitu, kampung halaman. Rumah warga pinggir sawah yang berjejer-jejer dan berdempet-dempet memberikan kesan kedamaian. Suara bel kereta api kuno yang akan singgah di stasiun Bangilan menambah suasana kehidupan desaku yang permai seperti dalam kehidupan di negeri dongeng.
Setelah beberapa tahun hingga aku menginjak dewasa rumah itu masih seperti semula, masih berdiri kokoh. Hanya saja anak-anak bermain disekitar halaman tak aku temukan lagi. Anak-anak riang bermain bola juga tak aku dapati. Anak-anak bermain layang-layang juga tak tampak, apalagi anak-anak mencari ikan disungai-sungai kecil disekitarnya, juga tak ada. Yang aku lihat semua sibuk bekerja, tanah lapang bersemen ada lagi satu. Penuh dengan padi dan jagung yang lagi dikeringkan. Taman-tamannya yang penuh dengan pohon mangga, jambu, pisang, ketela berubah menjadi taman gersang, berganti garasi mobil disisi kanan beserta mobil baru. Suara kereta api pun telah lama sirna beserta stasiunnya.
Bangunan rumah dari bambu dan sumur dibelakang tak aku temukan juga. Dulu sewaktu aku bermain petak umpet sering masuk dirumah itu dan bersembunyi ditumpukan jerami. Aman seaman-amannya. Sampai berjam-jam kawanku tak kan bisa menemukanku, hingga menjadi kesal lalu ditinggal pulang. Tinggal aku sendiri kasak-kusuk menahan rasa gatal akibat alergi jerami. Tak sadar ternyata kawanku telah lama pulang. Sungguh kasihan, tak apa, hatiku tetap merasa senang, bisa bermain sepuas-puasnya sampai petang.
Lama-kelamaan rumah bambu itu mulai berpenghuni. Seorang buruh tani dan berperan ganda menjadi penjaga rumah megah itu. Hingga awal tragedi bermula. Cerita ini sulit aku lupakan karena ada dan nyata menghiasi kehidupanku, menghiasi masa kanak-kanakku yang begitu bahagia. Seorang buruh tani mempunyai anak perempuan yang telah berumur. Namun tak juga laki-laki datang untuk melamarnya dan menikahinya. Berlarut-larut waktu itu terus berlalu. Tak juga ada laki-laki yang datang melamarnya. Menurut orang-orang disekitarku jika perempuan yang telah berumur dua lima tahun ke atas belum juga menikah ada dua arti, pertama: ia tak laku, kedua: ia kadaluarsa sehingga para lelaki merasa enggan untuk menikahinya. Apalagi perempuan itu dianggap oleh banyak orang ia mempunyai keanehan dan kejanggalan. Namun, aku sendiri tak pernah melihat gelagat itu karena memang aku tak paham, belum cukup umur. Hanya menurutku perempuan itu baik, sering memberikanku minum di saat kelelahan bermain bola. Dan aku tak melihat suatu kejanggalan pada dirinya. Menurutku semua baik-baik saja. Tapi, pemuda-pemuda sering mengartikan ia kelainan. Apanya? Aku juga tidak tahu ia masih menjadi perempuan yang baik sebagaimana perempuan pada umumnya, memasak, menimba air, menyapu rumahnya, berpenampilan sewajarnya, belanja, dan membantu kedua orangtuanya di sawah. Tak ada tanda-tanda kejanggalan, lebih tepatnya perempuan aneh. Tapi aku pernah sekali melihat beberapa pertengkaran terjadi antara perempuan itu dengan kakaknya pada suatu siang yang lengang.
“Kau semalam kemana, Ti? Anak perempuan suka kelayapan.”
“Itu urusanku, kak, kenapa kau ikut campur?”
“Aku ini kakakmu, tahu? Kalau sampai terjadi sesuatu hal padamu, siapa yang tanggung jawab? Kau ini anak perempuan harus tahu bagaimana menjaga kehormatan keluargamu.”
“Kehormatan apa, kak? Sok tahu kamu tentang kehormatan.”
“Kehormatan sebagai anak perempuan, agar orang lain tak menganggap macam-macam padamu, Ti.”
“Macam-macam….”
“Iya kau ini sudah waktunya menikah tapi belum juga datang pria yang ingin melamarmu.”
“Lantas…”
“Semua pria enggan, Ti, jika melihat kau berkelakuan seperti tidak wajar, malam-malam keluar sendirian dan pulang tengah malam.”
“Aku tak butuh pria yang akan menikahiku kalau menikah itu hanya urusan bawah perut, saja. Kalau sudah melakukan itu kenapa harus menikah.”
“Kau ini ngawur ya, Ti. Huuus,..jangan teruskan ucapanmu. Kau ini perempuan, kenapa harus ngomong begitu?”
“Suka-suka aku, kehidupanku adalah aku sendiri, segala sesutau resiko juga aku sendiri yang menanggung, segala perbuatan yang aku lakukan aku yang merasakan, bukan kau.”
“Tapi aku kakakmu, saudaramu.”
“Dari dulu aku sudah tahu, kakak.”
“Kau memancing kemarahanku, Ti.”
“Kau sendiri yang merasa terpancing.”
Perempuan itu masih saja terus menanggapi bicara kakaknya dengan memasak didapur.
“Kau itu sering kesurupan, Ti. Jika keluar sendirian berbahaya. Siapa nanti yang akan menolongmu?”
“Aku baik-baik saja. Aku sudah sembuh, ada kang I yang telah mengobatiku.”
“Siapa?”
“Kang I.”
Kakaknya tak bertanya lagi. Terdiam sejenak kemudian memandangi wajah adiknya  dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ada perasaan cemas dalam hati laki-laki itu. Ia pandangi wajah adiknya lagi. Ia merasa iba pada adiknya yang lama menderita penyakit epilepsi. Tubuhnya sering kejang-kejang tak ada sebab.
“Kau diobatinya?” lalu ia tanya lagi.
“Iya, kenapa?”
Kakaknya tak meneruskan pembicaraan lagi dalam hatinya menangkap kejanggalan yang belum juga ia omongkan. Ia pendam dalam-dalam dan berharap semoga hanya pikiran buruk saja yang ada pada batok kepalanya.
Setelah itu aku tak tahu pembicaraan apa lagi yang mereka bincangkan.
Hari-hari berjalan biasa tak ada yang aneh. Masih saja aku dan kawan-kawan menghabiskan waktu bermain disekitar rumah benih itu. Namun, beberapa hari aku tidak bertemu perempuan itu. Biasanya menyodorkan air minum dalam kendi tanah liat yang segar, tak pernah ada lagi. Desas-desus, ia telah pergi dari rumah tanpa pamit. Karena ia telah hamil. Dan benar apa yang dicemaskan kakaknya. Kang I-lah biangnya. Laki-laki yang telah bersuami dan beranak-pinak itu pelakunya, laki-laki yang juga bekerja sebagai kuli harian merangkap asisten mantri pertanian yang tega menodai perempuan lugu itu. Kakaknya menjadi marah, ia selalu mencari kang I, tentu saja ia ingin melukainya bahkan membunuhnya.
Beberapa bulan perempuan itu belum juga pulang ke rumah. Dan hari-hari tetap seperti biasa. Rumah tua dengan bangunan arsitektur kolonial Belanda masih tetap utuh, asri, dan sejuk. Angin sawah yang selalu berhembus lirih seakan-akan membawakan kabar damai sepanjang hari. Bumi pertiwi yang asri dan kaya selalu memberikan hasil bumi yang melimpah-ruah. Benih-benih selalu tumbuh dengan baik, air tetap jernih berkilau, burung-burung terus berkicau riang seriang hatiku dan kawan-kawan yang selalu menghiasi hari-harinya. Padi panen, berganti tanam jagung, jagung panen, berganti tanam kacang hijau begitu seterusnya. Hingga suatu pagi aku melihat sosok perempuan dengan perut buncit sedang termenung didepan rumah bambu. Pandangannya kosong. Aku bisa menebak siapa dia. Tapi aku tak berani menyapa karena dari raut wajahnya, terlihat ia sedang galau. Aku hanya mengawasi dari jauh sambil menunggu kawan-kawan datang untuk menyapa hari dengan main, main, main sepuasnya.
Kabarnya ia telah dinikahi oleh kang I, meski pernikahan tak resmi secara pemerintahan, tapi sah menurut agama, perkawinan siri. Namun, Kang I masih sangat jarang terlihat karena takut pada kakaknya, bisa-bisa ia dibunuh. Awalnya berlagak mengobati penyakit epilepsinya, lama-lama tergoda dengan molek tubuhnya. Akhirnya kasus pun terjadi. Ia hamil. Dan kini usia kehamilannya semakin tua. Celoteh orang-orang kampung semakin menggila, namun perempuan itu tetap seperti biasa. Ia telah menjadi dirinya sendiri dengan keterbatsan-keterbatasan yang ia miliki sebagai manusia perempuan pada umumnya. Hanya saja, kakak dan keluarganya yang kurang begitu suka. Ia tetap tegar dan tak pernah menyesali hasil perbuatannya. Masa bodoh dengan itu semua. Ia tetaplah perempuan yang punya naluri keibuan meski terkadang perempuan lain mencampakkan sifat itu, rela membuang bayi yang masih orok, menggugurkan janin demi menutupi aib. Ia juga ingin seperti perempuan-perempuan yang lain, menggendong anak, menyuapi anak, bersenda gurau dengan keluarga, tapi keadaan yang membuat ia harus tersisih dengan lingkungan ia hidup, sering kesurupan, gila, tak waras, epilepsi, aneh, bahkan akhir-akhir ini ia harus rela dengan julukan perempuan sundal. Ah terlalu naas sebutan itu.
Bulan Agustusan tiba. Tanaman jagung melambai-lambai menyambut rumah tua dengan mesra. Sebentar lagi dipanen dan masuk digudang. Segala hiburan digelar untuk memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu saja tak ketinggalan konser musik dangdut di lapangan kecamatan. Penonton-penonton bergoyang dengan indahnya sesekali ada yang liar. Polisi dengan pentungan tak kuasa menahan itu semua, sebagai jalan keluar dibiarkan saja apa yang mereka suka, berjingkrak-jingkrak awuran, asal tak mengganggu para biduan yang sedang menghibur dipanggung. Tiba-tiba sekelompok orang berduyun-duyun menggerombol disuatu tempat. Semakin ramai dan ricuh. Aku penasaran untuk mendekatinya. “Astaghfirullohaladziim, perempuan dengan perut buncit menggelepar-gelepar kesurupan. Ya, itu kau. Apa yang baru saja terjadi? Tak ada yang tahu.” Batinku bingung dan apa yang harus aku lakukan. Beberapa orang membopongnya menuju Puskesmas. Setelah itu aku tak tahu nasibnya. Hiburan dangdut tetap terus melaju, mendayu-dayu. Orang-orang masih sibuk menikmatinya.
Esoknya dan esoknya. Ia telah meninggal dalam proses persalinan bersama dengan bayi yang ada dalam rahimnya. “Innalillahiwainnalillahirojiun.” Ia telah pergi bersama bayangan-bayangan yang belum pernah dicapainya. Menjadi perempuan yang ingin menggendong anak, menyuapi anak, merawat anak, dan bercengkerama dengan keluarga.
Dan rumah tua bergaya kolonial Belanda itu masih tegak berdiri, manis, pahitnya kehidupan tak pernah merobohkan dindingnya.

Bangilan, 31 Agustus 2017.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.




Label:

Senin, 28 Agustus 2017

Panjat Pinang

http://motobikerz.com/archives/6845

Oleh. Rohmat Sholihin*
Wanita setengah baya itu terkejut setengah mati. Dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup kencang, dan bibirnya gemetar pucat pasi. Melihat seorang pemuda yang baru datang dengan berpakaian rapi, kemeja biru muda, bercelana biru tua, bersepatu, dan membawa tas kecil untuk memasuki rumahnya. Dengan tenang pemuda itu mengeluarkan buku catatan warna ungu batik dari dalam tas kecilnya.
“Ibu Kastijah, hari ini ibu harus melunasi pinjaman ibu. 750 ribu plus bunga 12 bulan jadi totalnya, satu juta tiga ratus ribu.” Bicara pemuda rapi itu.
            “Ampun nak, ibu belum bisa membayar hutang ibu hari ini, bisakah kau kasih kesepatan beberapa hari lagi, nak.” Orang tua itu berkata pelan dengan gemetar.
            “Tidak bisa, bu. Kalaupun itu bisa bunganya akan bertambah lagi. Gimana, ibu? Ibu mau?” Jawab anak muda yang berdandan rapi dengan sedikit menggertak.
Ibu setengah baya itu masih diam, menahan nafas yang masih tersengal-sengal. Ia berfikir dan membayangkan bunga hutangnya yang kian selangit. Sesekali batuknya tersendat-sendat akibat penyakit asma yang telah bertahun-tahun ia derita. Ia pun memohon lagi pada pemuda rapi yang duduk didepannya.
            “Tidak bisakah bunganya dikurangi, nak? Beberapa hari saja?” pinta wanita setengah baya.
            “Tidak bisa, bu. Bunga tetaplah bunga, jika tidak dibayar bunga itu akan terus bertambah sesuai dengan perjanjian awal, ibu, atau uang pokoknya saja yang harus ibu bayar sehingga bunganya tak lagi berkembang” Jawab pemuda rapi itu dengan ketus.
            “Belum bisa nak, saya hanya minta tambahan beberapa hari saja, nak.” Jawab ibu lagi.
            “Aduh, yang dimarahi atasan itu saya, bu. Bukan ibu, karena ibu telat untuk melunasinya.” Jawab pemuda rapi dengan sedikit kesal.
            “Iya nak, tapi anakku butuh membayar buku-buku dan keperluan disekolah awal tahun ajaran baru ini.”
            “Bukankah sekolah sekarang gratis, bu?”
            “Tidak nak, untuk buku-buku pelajaran baru tidak gratis, nak. Harus beli.”
            “Kapan ibu akan melunasinya?”
            “Sepuluh hari lagi, nak.”
            “Baiklah ibu dan tentu saja nanti bunganya bertambah. Pihak kantor akan selalu menghitungnya.”
            “Tidakkah ada sedikit keringanan, nak?”
            “Aku tidak punya wewenang tentang usulan itu, bu. Maaf. Sampai bertemu sepuluh hari lagi. Tentu saja, harus sudah lunas.” Pemuda rapi itu kemudian berdiri dan berlalu.
Ibu itu hanya memandang pemuda rapi dengan mata nanar. Mengulur waktu hanya akan menambah bunga semakin tinggi dan mencekik. Namun bagaimana lagi, ia hanya bisa melakukan cara itu, karena memang tak ada lagi uang untuk digunakan melunasinya. Kebutuhan sekolah anaknya semakin banyak, membayar buku-buku pelajaran, membayar agustusan, membayar seragam baru dan masih banyak lagi pengeluaran-pengeluaran lainnya. Sedangkan jualan sayur-mayur setiap hari uangnya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Kepada rentenir lah, semua permasalahan ia limpahkan. Namun, permasalahan semakin runyam dan runyam, bunganya terus menumpuk seperti gunung, membesar siap meletus dan menghancurkan segalanya. Rentenir dimanapun tempatnya selalu menjadi lintah darat, bukan hanya menghisap tapi juga melumpuhkan.
            “Kenapa ibu menjadi gemetar?” Tanya anaknya yang baru saja keluar dari kamarnya.
            “Itu nak,….”
            “Itu siapa, bu?”
            “Pegawai koperasi nak. Ibu punya pinjaman yang belum bisa melunasinya.”
            “Aku mendengar percakapan dari dalam kamar, seakan-akan ibu menjadi pihak yang terjepit. Pemuda itu selalu menjelaskan bunganya akan tambah dan tambah seakan-akan tidak ada rasa toleran sedikitpun.” Protes anaknya.
            “Begitulah nak kalau pinjam uang dikoperasi, jika molor membayarnya bunganya akan selalu bertambah dan bertambah bahkan ada banyak kasus orang-orang yang punya banyak hutang di bank dalam jumlah jutaan dan tidak bisa melunasinya, rumah, tanah, mobil, perusahaan, sebagai jaminan harus rela untuk disita.” Terang ibu dan sesekali harus batuk-batuk.
            “Lantas kita akan membayar kapan, Ibu?” Tanya anaknya.
            “Belum tahu, nak. Ibu belum ada uang. Hasil penjualan sayur juga tidak seperti dulu. Sekarang hampir semua orang sudah pada pinter untuk meniru, jika usaha itu sedikit jalan orang lain banyak yang meniru. Termasuk menjual hasil tanaman sayur. Semakin banyak barangnya semakin bersaing harganya tentu saja kualitas barang menjadi pilihan pembeli.” Terang Ibu.
            “Sedangkan tanah yang kita miliki tak seluas milik mereka, nak. Tanah kita hanya berada dipekarangan belakang rumah, sempit, hasilnya tidak banyak. Hasil jualnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Terang ibu lagi.
Anaknya hanya mematung mendengarkan ibunya bicara dengan perlahan-lahan sesekali memegangi dadanya yang masih sesak. Sebentar anaknya menyodorkan gelas yang berisi air.
            “Silahkan minum, ibu. Ibu tidak usah terlalu memikirkannya, pasti akan ada jalan untuk melunasi pinjaman itu, ibu. Aku khawatir nanti sakitnya ibu tambah parah dan kita akan menjadi bingung lagi, ibu.” Bicara anaknya.
            “Tapi kita akan membayar kapan, nak? Uangnya belum ada. Kita hanya mengandalkan menjual sayur tapi itu tidak cukup.”
            Anaknya masih mematung memikirkannya.
            “Kita jual motor tua itu, bu. Motor peninggalan bapak yang masih tersisa.” Usul anaknya.
            Ibunya masih diam. Tak menjawab usul anaknya. Matanya tertuju pada motor tua GL 100 warna merah didepannya yang menyimpan banyak kenangan ketika pertama kali dibeli dengan hasil jerih payah suaminya. Suaminya yang bekerja diproyek bangunan mendapatkan borongan pengecatan beberapa ruang yang hasilnya bisa digunakan membeli motor sewaktu ibu hamil kamu, nak. Betapa bahagianya ibu dan bapakmu bisa membeli motor itu. Ibu dibonceng bapakmu berjalan-jalan menyusuri kampung dan kota. Namun begitu cepatnya waktu berlalu, nak. Ketika bapakmu pulang hanya tinggal nama sewaktu kembali bekerja dikota. Bapakmu meninggal ditempat kerja karena jatuh dari lantai sembilan dikawasan proyek Kuningan-Jakarta. Tubuhnya remuk, nak. Kasihan bapak. pihak perusahaan memberikan uang santunan yang aku belikan tanah dibelakang rumah yang kita tempati ini. Dan jika ibu memetik sayurnya dan menjualnya ke pasar hati ibu selalu mengingat bapakmu, nak. Andaikan ia masih ada ditengah-tengah kita, takkan begini jadinya. Tak terasa air mata menetes membasahi pipi wanita separuh baya yang sudah berkerut.
            “Ibu menangis, ibu tidak setuju? Tak apa, bu. Aku tahu itu motor penuh kenangan ibu bersama almarhum bapak. Bagi ibu, motor tua itu adalah jelmaan jiwa raga bapak. Motor yang tidak pernah protes diajak kemanapun pergi meski orang yang membelinya telah pergi selamanya.” Bicara anaknya.
            “Iya nak. Ibu masih merasakan getaran hati jika melihat motor tua itu. Seakan-akan bapakmu masih menyapa dan tersenyum padaku. Hatiku menganggap bahwa bapak masih berada ditengah-tengah kita.” Jelas ibu.
            “Sudahlah ibu. Pasti ada jalan. Tuhan masih bersama kita.” Anaknya mencoba menyemangatinya.
Setelah selesai bicara, anaknya tidak meneruskan pembicaraan itu lagi. Ia tak tega melihat ibunya sedih dan ia lebih memilih pergi ke belakang dan merenung untuk ikut mencari solusinya, melunasi hutang-hutang ibu pada rentenir. “Apa aku harus berhenti sekolah dan bekerja? Ah ibu jelas tidak setuju niatku ini. Ibu telah berkorban banyak untuk membiayaiku agar aku bisa terus bersekolah.” Tiba-tiba niat itu terlintas dalam pikiranku.
Suara batuk ibunya diruang depan semakin bertambah parah. Mendengarnya, hati semakin teriris. Apalagi yang harus bisa diperbuat? Ibunya semakin tua dan rapuh. Tak mungkin harus terus memikirkan kebutuhan-kebutuhannya. Ia bertambah kalut. Sedangkan ia tak bisa berbuat apa-apa selain belajar dan sekolah. Mau bekerja jelas tak bisa. Kecuali bekerja sambilan setelah pulang sekolah, itupun waktunya telah habis digunakan untuk membantu ibunya dikebun belakang rumah untuk memetik sayuran dan mengikatnya menjadi berikat-ikat yang siap dijual ke pasar esok harinya. Ada kerja sambilan, namun tidak setiap hari ia lakukan. Memetik buah kelapa milik H. Munir yang punya beberapa pohon kelapa dikebunnya. Dan juga pohon-pohon kelapa milik warga lainnya. Hasilnya sangat lumayan bisa digunakan untuk membeli segala keperluan sekolah. Ia memang terkenal paling mahir dalam memanjat pohon kelapa. Apakah ini memang sudah faktor keturunan?, karena bapaknya dulu adalah pemanjat pohon kelapa yang paling tersohor. Nyalinya sungguh kuat diketinggian dan skillnya sangat jempolan. Bahkan bapaknya mati terjatuh dari lantai sembilan waktu mengerjai apartemen gedung pencakar langit bukan karena tiada sebab. Desas-desus berkembang bahwa tali pengamannya sengaja diputus oleh seseorang sahabat yang telah mengkhiantinya karena rasa iri. Namun, ibu tidak mau menuduh siapa pelakunya. Ibu hanya menyerahkan semua kepada Tuhan. Ibu menerima kalau musibah itu adalah murni kecelakaan bukan karena akibat ulah seseorang. Meski disisi lain ibu terkadang punya niat untuk menguaknya namun apalah daya kemampuan seorang perempuan rumah tangga yang hanya bisa mengurusi urusan dapur dan sumur takkan punya kemampuan untuk berbuat lebih. Bukti-bukti itupun juga belum seratus persen benar.masih harus dibuktikan oleh beberapa saksi. Ibu tak tahu dan tidak kenal siapa saksi-saksinya, dan akankah mereka bersedia atau tidak untuk menjadi saksi sedangkan bosnya hanya diam dan tak pernah memberikan solusi akan langkah-langkah itu. Ibu sudah pasrah dan menerima musibah itu. Ibunya hanya bisa menarik nafas panjang setiap kali ia akan berangkat untuk memetik buah kelapa.
Dua hari setelah itu.
Ia memutuskan untuk mengikuti lomba panjat pinang dikecamatan yang setiap tahun diadakan pada bulan Agustus dalam rangka memperingati ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Hadiahnya lumayan, beberapa juta telah dipersiapkan oleh panitia kecamatan. Setidaknya dalam hatinya mampu meraih hadiahnya. Dan dalam pikirannya hanya ada satu kata, melunasi hutang-hutang pada rentenir itu. Setiap hari bunganya selalu meraung-raung, mencekik segala kebutuhan hidup, menumpuk-numpuk menjadi lahar yang mematikan. “Aku harus bisa merebut hadiahnya. Dan hutang-hutang ibu akan aku lunasi.” Tekad bajanya. Namun, niat itu masih tersendat-sendat oleh keraguannya sendiri, bayangan dikepalanya tergambar jelas wajah ibunya. Kenapa? Ia dari dulu selalu punya keinginan untuk ikut kompetisi panjat pinang tapi trauma ibunya akan bapaknya yang telah runtuh terjatuh. Ia selalu mengurungkan niatnya itu. Dan baru kali ini ia akan tampil beserta dengan timnya. Diam-diam ia harus mewujudkannya.
Siang, terik matahari semakin panas bersinar. Namun tidak menyurutkan orang-orang untuk berduyun-duyun mendatangi lomba panjat pinang di halaman pasar kecamatan. Tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, semua pada ikut menyaksikan hiburan yang telah menjadi tradisi tahunan ini. Pohon pinang yang telah tegap kokoh berdiri menjadi saksi bisu oleh sejarah peradaban manusia. Setiap tahun selalu saja ada yang menjadi pemecah rekor. Menggapai pucuknya dengan cepat dan selamat. Dan mengambil beberapa hadiah yang telah ditata rapi dipucuknya. Ada radio, tape recorder, vcd player, baju taqwa, kaos oblong, sarung, handphone, rokok berapa tang, bahkan ada amplop berisi uang jutaan. Tapi jangan tanya kesulitannya untuk bisa meraih puncaknya, diperlukan perjuangan dan kekompakan tim yang solid serta fisik yang prima dan skill memanjat yang handal untuk bisa mencapai pohon pinang yang telah dihaluskan kulit luarnya dan diolesi oli stempet hingga berwarna cokelat kehitam-hitaman. Lalat saja enggan mendekat, tentu saja akan terpeleset. Cecak, tokek yang punya perekat dibantalan kakinya dijamin takkan sanggup merayapnya. Namun, dengan kesabaran, keuletan, kerja keras, fisik yang prima dan skill yang mumpuni, pohon pinang itupun dapat ia taklukan bersama dengan timnya. Tak lebih dari durasi waktu satu jam lebih sedikit. Rekorpun terpecahkan.
Sepuluh hari berlalu dengan hati yang berdegup kencang. Ibu itu semakin sedih dan khawatir. Tentu saja anaknya tahu, apa yang telah dirasakan oleh ibunya?. Ia lalu mendekati ibunya dan berkata dengan pelan.
“Ibu, maafkan aku, aku telah melunasi hutang ibu kemarin siang sewaktu aku pulang dari sekolah. Hutang ibu semuanya satu juta tiga ratus ribu rupiah. Maafkan aku ibu, aku tidak sempat beritahu ibu.” Ucapnya pelan didepan ibunya yang telah duduk diruang tamu dengan perasaan yang cemas.
“Jadi…..”
“Iya ibu.”
“Uang darimana, nak?”
Ia belum bisa jawab dengan pasti masih ada keraguan dalam hatinya.
“Nak, jujurlah.”
“Panjat pinang, ibu.”
“Apa, nak?”
“Panjat pinang, ibu.”
Tak ada kemarahan yang terpancar dari raut muka ibunya, hanya terkejut tak percaya dan rasa haru. Kemudian tubuh renta dengan terbatuk-batuk memeluk anak kebanggannya itu.
“Kau anak yang baik, kau adalah titisan bapakmu yang telah Tuhan titipkan pada ibu.”

Bangilan, 29 Agustus 2017.

*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.



           
           
           

           

            

Label:

Sabtu, 26 Agustus 2017

Maskot

http://pontianak.tribunnews.com/2015/05/03/busana-etnik-dari-bahan-daur-ulang

Oleh. Rohmat Sholihin*
Bu Mila memasuki ruangan kelasku dengan membawa catatan kertas putih. Lalu duduk dimeja guru dengan penuh wibawanya. Kaca matanya mengarah kepada seisi ruangan tanpa berkedip sedikitpun. Sesekali pulpen yang ia pegang, ia tuliskan pada kertas putih itu. Entah apa yang ia tulis? Tak ada yang tahu, hanya hati menebak-nebak, pasti bu Milla akan memilih anak-anak untuk mengikuti perlombaan karena bulan ini adalah bulan Agustus, bulan penuh dengan kegiatan lomba dalam rangka memperingati hari ulang tahun Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus.
            Dalam pikiranku membayangkan, bagaimana menjadi pemeran seorang putri maskot dalam karnaval? Dengan berdandan cantik, memakai baju indah berjuntai-juntai, memakai lipstik, memakai sanggul dengan kerlap-kerlip mahkotanya, bersepatu indah, senyum cantik indah mempesona. Semua penonton pasti akan tertuju padaku, semua mendekat lalu mengambil gambar untuk diabadikannya, fotoku akan dipajang kemana-mana, di Facebook, WhatsApp, BB, Messenger, dan media sosial lainnya. Serasa aku menjadi bintang idola anak semua bangsa. Seluruh dunia akan menyaksikan gambar-gambar indahku yang telah dibagikan.
            Sekali lagi bu Milla aku pandangi. Dan ia tersenyum manis yang tidak biasa ia lakukan padaku. Ia katakan dengan lirih namun telingaku menangkap suara itu dengan kuat.
            “Nem, kau ku pilih jadi maskot ya.” Bicaranya padaku dengan senyum manisnya.
            “Oh iya,” aku terkejut tapi dalam hatiku menjerit-jerit bahagia. Tepat seperti apa yang aku impikan.
            “Apa tidak salah, bu Milla?” Jawabku untuk meyakinkan.
            “Tidak, kau jadi maskot, Nem.” Jawab bu Milla pasti.
Hatiku melonjak girang, senang bukan buatan. Inilah yang aku inginkan. Lebih tepatnya pikiran untuk menjadi maskot ada sejak aku masih kecil. Ketika sering diajak Emak melihat karnaval dikecamatan setiap bulan Agustus. Dan tanpa basa-basi aku jawab, “iya bu.” Meski hatiku sedikit kecut namun masih kalah dengan keinginanku yang menghentak luar biasa.
            “Baiklah, Nem aku catat ya, sekalian ini surat pemberitahuan dari sekolah untuk orang tuamu dirumah.” Bu Milla menyodorkan surat padaku. Hatiku kembali ragu, aku terima atau tidak. “Ah, sudahlah aku terima saja, setidaknya ada langkah-langkah lain yang bisa kupertimbangkan dengan Emak dirumah.” Batinku sambil kupegang surat pemberitahuan itu.
            “Untuk format rias dan kostumnya dua hari lagi, Nem. Nanti aku beritahukan lagi padamu. Agar kau bisa mencari perias dan kostum disalon yang kau inginkan. Oh iya, kamu pesan duluan ke salon agar tak keduluan yang lain.” Bicara Bu Milla yang terus mengiang-ngiang ditelingaku. Aku hanya tersenyum meski hati ini agak kecut dan ragu. Kenapa? Emak dirumah apakah setuju dengan keinginanku. Keinginan yang telah lama menggumpal dalam pikiran dan hatiku. Emak pasti tak punya uang. Musim tanam jagung di tanah persilan belum juga panen. Baru saja tanam, sedangkan modal tanam yang pinjam dari bank dengan setoran waktu panen tiba, kini telah habis. Belanja kebutuhan setiap hari juga ngebon di Toko Bu Kaji Endang kian menumpuk-numpuk. Belum lagi setoran sepeda motor yang tiap bulan harus bayar. “Ah, bagaimana ini? Aku jadi bingung, kenapa aku tadi dengan percaya diri menerima tawaran Bu Milla sedangkan kondisi ekonomi keluargaku lagi kesulitan.” Batinku membuncah-buncah. Mataku menerawang tak semangat lagi ketika pertama kali namaku disebut oleh bu Milla. “Ah, sudahlah. Kesempatan tidak datang dua kali. Aku akan tetap izin sama Emak. Siapa tahu Emak masih punya uang slempitan yang disimpan di bawah bantal, diatas lemari, atau dibawah baju-bajunya.” Hatiku masih berontak dengan alasan-alasan dan kemungkinan-kemungkinan yang kecil harapan dan bertautan dengan keinginanku yang masih berputar-putar mencari solusinya.
            Mendengar aku akan dijadikan maskot. Tak semua kawan-kawan bersikap senang. Bahkan mereka yang tak suka hanya bersikap sinis padaku. Sedikitpun tak ada rasa empati meski hanya sekedar memberikan support. Apalagi si Mouly yang kaya, namun bodinya yang tak mendukung. Tapi tetap saja bu Milla memilihnya karena ia telah menyanggupi untuk menyewa mobil truk Fuso besar yang akan ia sulap untuk dijadikan taman istana raja untuk sang putri. Dan tentu saja semua biaya ia yang akan menanggungnya. Luar biasa. Menjadi kaya itu memang mulia. Semua urusan menjadi mudah. Bapaknya yang kaya sebagai bos di sebuah perusahaan selalu memanjakannya. Apa yang ia inginkan selalu saja terwujud. Sedangkan aku sebagai anak petani miskin sulit berbuat sesuatu. Selalu saja kesulitan pada uang, uang, dan uang. Sampai kapan miskin selalu mengikuti kehidupanku? Menyulitkan langkah-langkahku. “Ah, sudahlah. Kita semua punya kelemahan dan kelebihan. Aku tak mau membuang-buang waktu hanya untuk berandai-andai. Percuma. Aku masih punya waktu berfikir dan membicarakan dengan Emak dirumah. Jika memang cita-citaku untuk menjadi maskot hanya sebatas angan, apa boleh buat. Anak seorang Emak sebagai petani persil yang berkeinginan menjadi maskot karnaval hanya sebuah impian saja. Padahal semua orang berhak dan berkesempatan untuk menjadi maskot, bukan hanya orang yang berduit saja namun aku juga bisa menjadi maskot. ” Hatiku masih meronta-ronta dibuatnya.
            Ketika sampai dirumah kucari Emak yang sudah tak ada lagi dirumah. Pasti masih berada di hutan untuk bercocok tanam jagung. Menggapai sejuta harapan untuk menghidupi keluarga ini. Keluarga yang telah ditinggal sang bapak karena meninggal terpatok ular dihutan sewaktu menunggui tanaman kacang mendekati musim panen tiba. Emaklah pejuang sejati dalam keluarga. Hingga kini masih kuat berjibaku melawan angan-angan. Tak ada orang hebat didunia ini sehebat Emak. Dan akupun segera menyusul Emak ke kebun.
            “Emak…” Panggilku.
            “Iya, Nem, ada apa? Sudah pulang?” Jawab Emak dengan senyum senang.
            “Aku dipilih bu Milla untuk menjadi maskot karnaval, Emak.”
            “Oh iya. Tapi…” jawab Emak dengan sedikit tertekan.
            “Tapi apa Emak? Bukankah kita senang Emak, dipilih bu Milla untuk menjadi maskot.”
Emak masih diam memandangiku dengan penuh ketulusan. Seakan-akan ada yang hilang dariku. Tak berkedip sedikitpun. Mata Emak yang indah berkaca-kaca.
            “Memang kau cantik, Nem. Kulitmu putih, tubuhmu tinggi semampai, rambutmu panjang hitam dan lebat,  alismu juga bagus, hidungmu seperti noni-noni Belanda, dan matamu indah sekali. Emak membayangkan kau, betapa cantiknya anak Emak ketika berjalan paling depan dengan diiringi dayang-dayang. Tapi, Nem…”
            ‘Tapi apa Emak?”
            “Uang simpanan Emak telah habis untuk modal tanam jagung dan belanja untuk kebutuhan sehari-hari. Adikmu juga butuh membayar LKS yang kemarin belum Emak kasih. Cicilan sepeda motor juga belum ku bayar.” Bicara Emak dengan mata berkaca-kaca.
            “Tapi aku telah dipilih bu Milla, Emak.”
            “Iya aku tahu, Nem. Karena kau cantik. Dan aku tak tahu kenapa kau cantik, Nem? Karena yang ngasih itu Tuhan. Aku yang hanya sebagai petani persilan yang miskin tapi punya anak yang cantik sepertimu. Kau tak berdandan saja sudah cantik , apalagi berdandan?” Bicara ibu lagi.
            “Ah Emak.”
            “Tahun kemarin Lek Tumi cerita waktu si Kinkinarti mengikuti karnaval dan merias di salon habis sekitar 750ribu padahal tidak menjadi maskot, Nem. Kalau maskot bisa jadi sejuta lebih. Uang darimana lagi, Nem? Mau utang rentenir tak bisa kubayangkan bunganya, pasti selangit dan mencekik.” Bicara pelan Emak lalu mengusap dahinya yang penuh dengan keringat.
Aku hanya terdiam. Rasa kecewa singgah lagi dalam hati. Dan Emak paling mengerti tentang perasaanku.
            “Coba besok bilang sama bu Milla, kau tetap ikut, tapi aku sendiri yang akan merias dan menentukan pilihan bajunya.” Jawab Emak tegas.
            “Emak, kau serius, Emak.”
            “Iya, aku serius, Nem.”
            “Nem akan dipermak Emak jadi maskot apa?”
            “Nanti kalau sudah waktunya akan Emak beritahu. Ayo kita pulang! Hari telah berangsur sore.” Ajak Emak.
            Mereka berduapun pulang dengan langkah yang tetap percaya bahwa esok hari masih menjadi miliknya. Meski hidup dalam kesulitan dan itu tidak menjadi biang kendala untuk terus mengabdi kepada dirinya dan keluarganya. Hidup tidak hanya tenggelam dalam kesedihan karena keadaan, hidup itu merdeka, bebas menentukan pilihan mesti harus bersusah payah untuk mewujudkannya. Semua orang selalu berkutat dengan kelemahannya masing-masing meski sisi lain punya banyak kelebihan. Terkadang itu tidak disadarinya.
            Dan ketika aku bertemu bu Milla disekolah aku utarakan keinginan Emak padanya. Tak ada protes, bu Milla hanya mendukung saja. Karena bu Milla hanya ingin aku ikut dan berada dalam bagian team karnaval tahun ini. Hanya baru tahun ini aku bersedia menjadi bagian dari team karnaval disekolahku, dua tahun kemarin aku tak mau. Menginjak kelas tiga aku baru bersedia.
            Beberapa hari ini Emak selalu pulang sore menjelang petang. Jika aku tanya, Emak hanya diam. Tidurpun selalu malam. Bangun fajar dan sudah menghilang. Emak semakin sibuk dan sibuk. Jarang bersenda gurau lagi setiap akan tidur malam, ditanah persil juga hanya sebentar dan aku disuruh cepat pulang. Seakan-akan Emak menutup diri beberapa hari ini. Aku bingung dan khawatir. Apakah Emak terbebani dengan keinginanku menjadi maskot? Aku kasihan pada Emak, jika tak bisa dipaksa lebih baik aku batalkan saja. Daripada harus menyiksa Emak.
Saat pulang sekolah dan kurang dari dua hari pelaksanaan karnaval, aku belum tahu akan menjadi apa? Emak tak pernah bercerita lagi padaku tentang rencananya itu. Aku sendiri tak berani menanyakannya lagi. Malam menjelang tidur aku dipanggil Emak diruang tengah. Duduk dan menanyakan lagi rencanaku menjadi maskot.
“Nem, kau masih ingin menjadi maskot? Kok tak pernah lagi kau bicara tentang itu Nem.” Tanya Emak pelan.
“Entahlah, Emak. Aku kasihan pada Emak.”
“Kasihan….”
“Iya, Emak.”
“Aku berani hidup tidak untuk minta dikasihani oleh siapapun, Nem. Termasuk kau sendiri sebagai anakku. Aku hidup merdeka, Nem. Merdeka menentukan langkahku kemana kita pergi?” Jawab Emak.
“Lantas, Emak, Nem akan jadi maskot apa?” Tanyaku pelan.
“Kemarilah, Nem. Kau ini sudah cantik sejak dalam kandunganku. Kau ini cantik sebagai takdir Tuhan. Dan kecantikanmu adalah anugerah dari Tuhan sebagai kelebihan anak manusia. Kau hanya butuh aku rias sendiri, tak usah ke salon dengan make-up yang tebal untuk menutupi kulit pipimu yang sudah putih bersih ini. Kau hanya butuh dipoles sedikit saja.” Bicara ibu meyakinkanku.
“Nem akan menjadi maskot apa, Emak?” Tanyaku lagi.
“Nem akan menjelma sebagai Putri Klobot Alas Gede.” Jawab Emak percaya diri.
“Seperti apa Emak? Nem penasaran sekali. Sepertinya Emak memberikan kejutan pada Nem.” Nem tersenyum bahagia.
“Sebentar aku ambilkan model bajunya. Pasti cocok untuk anak cantik sepertimu, Nem.” Emak meninggalkan Nem sendirian duduk diruang tengah. Menunggu Emaknya masuk keruang kamarnya. Dan benar, tak berapa lama Emak keluar dengan membawa seuntai gaun indah dari bahan alami klobot jagung yang telah dipermak dengan rapi dan unik. Unik dengan selempang klobot yang dipadu dengan gaya batik yang eksotik. Aku tak percaya Emak bisa mengerjakan model baju yang hebat begini. Aku tertegun tak percaya. Khayalku menjulang tinggi ke awan, seakan model gaun baju didepanku adalah gaun baju yang dikirim malaikat Jibril dari langit. Jatuh secara tiba-tiba. Air mataku menetes. Aku tampar pipiku berulang-ulang hingga terasa panas. Apakah aku mimpi malam ini? Oh tidak, ini nyata, Emak. Aku peluk Emak dengan kebahagiaan yang mahal tiada tara. Emakku, malaikatku yang sengaja Tuhan kirim untuk menemaniku.
Siang itu cuaca tidak terlalu panas, mendung namun tidak hujan. Malamnya yang telah diguyur hujan membuat siang itu menjadi teduh dan tidak berdebu. Aku berjalan dengan senyum bangga. Tentu saja bangga dengan Emakku yang telah menyulapku menjadi maskot Putri Klobot Alas Gede di karnaval Agustusan. Luar biasa. Dahsyat tak terhingga. Semua orang terkagum-kagum dengan baju Emak. Alami, unik dan eksotik. Gemas dan penasaran dengan gaun yang telah kupakai. Berjuntai-juntai seperti putri salju padahal bahannya hanya dari klobot jagung emak didapur belakang. Aku tak habis pikir, Emak memang luar biasa. Idenya brilian.
Berganti-ganti orang untuk berfoto ria denganku. Sengaja mengabadikan keunikan penampilanku. Dan hampir semua penonton meneriaki namaku. Hebat bukan buatan. Sungguh menawan. Gambarku bercerai-berai dan berhamburan memenuhi dunia maya hingga menjadi penampilan yang paling viral. Sekali lagi aku tampar kedua pipiku, apakah aku mimpi? Tentu saja tidak. Telingaku dipenuhi oleh suara bu Milla dari pengeras suara yang tiada henti mengelu-elukan penampilanku, meski semua peserta juga ikut disebut dengan mendayu-dayu.

Keterangan:
Persilan, merupakan kegiatan bercocok tanam dengan menyewa kawasan hutan.
Ngebon, berhutang.
Slempitan, sisa uang yang disimpan disuatu tempat.
Bangilan, Agustus 2017.
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening.




Label: