Jumat, 28 September 2018

Pram dalam Bingkai Bumi Manusia


https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/stella/7-alasan-mengapa-buku-bumi-manusia-karya-pram-begitu-melegenda

Oleh. Rohmat Sholihin*

Sudah lama saya ingin menulis tentang Pram. Meski hanya dalam bentuk kata-kata sederhana. Bisa puisi atau hanya sekedar namanya saja yang bisa saya tuliskan dalam buku-buku karyanya yang saya beli, lalu saya tulis dengan tinta hitam pada sampulnya: Pramoedya Ananta Toer, pengarang besar Indonesia. Setidaknya saya pernah menuliskannya meski hanya beberapa kata. Sebab, menurut Pram sendiri bahwa menulis adalah tugas nasional. Apa pentingnya menulis? Sampai menjadi tugas nasional. Bisa di bilang bahwa menulis itu sangatlah penting melebihi kebutuhan pokok, makan, minum dan buang air kecil maupun besar. Saya tergoda dengan ungkapannya itu. Saya bacai lagi buku-buku karyanya, mulai dari karyanya yang tipis, Bukan Pasar Malam, yang mengisahkan gejolak pengalaman pribadinya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup bersama dengan Ayahnya ketika menjelang sakit hingga tiada. Sedangkan buku karyanya yang tebal seperti, Arus Balik, mengisahkan tentang sejarah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan  berdirinya Kerajaan Demak. Dan masih banyak lagi buku-buku karya Pram lainnya. Tak kalah menarik tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) dari tetralogi Buru itu tak ada yang tipis. Hampir semua ditulis dalam masa pembuangan: Pulau Buru.
Nama Pram seperti tak pernah mati. Dalam kesunyian saja masih melambung tinggi. Ia sekarang sudah tiada, jasadnya sudah tenggelam dalam tanah kubur yang sudah tak lagi merah. Tapi kejujuran karyanya tak bisa dipungkiri, ibarat ombak laut semakin susah untuk dibendung. Menghantam karang-karang laut yang mencoba mematahkan semangat ide dan pemikiran yang telah dimuntahkan dalam karya sastra. Ia bukan hanya menulis tapi seperti berak. Hampir yang ada dalam perutnya ia keluarkan semua hingga ampas-ampasnya, maaf mungkin terkesan jorok. Tercecer-cecer menjadi karya yang monumental, Tetralogi Buru, bukti bahwa: di kamar yang singup dan penuh dengan keringat, novel itu lahir. Novel yang memberi gegap gempita bagi derita dan air mata, dicekal, dibakar, dan diberedel berkali-kali. Novel yang bagi Muhidin M. Dahlan (2018) disebutnya sebagai biang tragedi dan masalah, kini menjadi perbincangan paling menarik di dunia maya.[1] Namun, keyakinan Pram untuk tidak menyerah sangatlah kuat. Meski banyak jeruji yang menyudutkannya dan menghempaskannya dalam kesunyian dan keterasingan ia semakin lantang untuk terus menulis, menulis, menulis tiada kata henti. Benar apa yang telah ia tuliskan: menulis adalah keabadian. Menulis baginya adalah berenang ke samudera luas dan resiko yang ia hadapi sebagai konsekwensi sangatlah besar juga harus berani dihadapi. Namun ia berhasil mencapai suatu ruang yang telah ia cita-citakan sejak dalam pikiran yaitu keadilan. Dan keadilan tidak datang dengan sendirinya tapi dibutuhkan kerja keras dan usaha yang berdarah-darah untuk mencapainya.
Saya pernah membuat oret-oretan dalam bentuk puisi sehabis membaca Bumi Manusia, karya Pram yang sangat monumental. Meski tidak sedetail bukunya. Buku Bumi Manusia sangatlah tebal, di atas 400 halaman. Buku berat dan hanya orang jeniuslah yang bisa menulis karya setebal itu dengan apik. Baiklah, dengan terpaksa saya harus mencantumkan puisi itu disini agar rasa takut saya perlahan-lahan sirna, kenapa takut? Bumi Manusia bukanlah buku karya penulis sembarangan, dan jangan sembarangan pula mencoba-coba untuk ngawur dalam menilainya. Ah, ini mungkin saja sifat yang terlalu melebih-lebihkan sesuatu. Nyatanya ketika saya bertemu sendiri dengan sang adik kandung Pram, Mbah Soes di rumah Blora dan dengan sedikit takut saya ungkapkan beberapa tulisan padanya, ternyata responnya di luar dugaan saya, tulislah dengan berani, tak usah takut, dan tak usah sungkan-sungkan, kenalilah dirimu, dan ingat Mas Pram pernah bilang, yang terpenting dari hidup itu adalah keberanian. Sebab, orang-orang beranilah yang akan menguasai setidaknya tiga perempat dunia.
Pram memang tidak begitu produktif dalam menulis, eit, jangan kaget dulu, Pram tidak produktif dalam menulis puisi, jika tidak salah puisi itu pernah ia tulis judulnya: huruf. Dengan huruf kita mampu mengenali kasak-kusuk dunia. Ada karya puisinya yang lain, Antara Kita (Siasat) (1949), Anak Tumpah Darah (Indonesia, 1951), Kutukan Diri (Indonesia, 1951).[2] Pram lebih tertantang untuk menulis essai, cerpen, novel, roman, dan catatan-catatan harian. Meski Pram tidak pernah bilang jika ia tidak suka terhadap puisi. Apapun yang lahir dalam karya sastra baginya adalah informasi dan dokumen yang harus dihargai. Begini tulisan saya, Pram dalam Bingkai Bumi Manusia.
Minke...
Cerita...
Selamanya tentang manusia,
Kehidupannya, bukan kematiannya.
Ya...biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu.
Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia...
Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana,
Biar penglihatanmu setajam mata elang,
Pikiranmu setajam pisau cukur,
Perabaanmu lebih peka dari para dewa,
Pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan,
Pengetahuanmu tentang manusia tak kan bisa kemput.
Manusia...banyak juga manusia masuk dalam perangkap kejahilan manusia.
Kemerosotan nilai kemanusiaan adalah ketertindasan,
Ketertindasan tak kenal batas wilayah manusia,
Dimanapun manusia itu ada, ketertindasan selalu menempati ruang dengan santainya.
Entah kapan sejarah ketertindasan itu dimulai?
Tapi dahsyatnya sungguh terasa, bahkan diri kita sendiri selalu melawan ketertindasan dengan diri ini.
Hati kita,
Otak kita,
Jiwa kita,
Selalu mencoba melawan pergolakan batin yang tiada henti, setiap detik dan waktu.
Terkadang lelah, namun jangan menyerah.
Kecuali mati...
Manusia dengan pengetahuan bagai sajak dan syair.
Diotak-atik lahirlah penemuan, daya cipta dan budaya.
Itulah tingginya derajat manusia, burung terbangpun ia cipta, kelabang besipun ia temukan, kuda besipun ia buat.
Pendidikan yang membuat manusia merengkuh tinggi derajatnya.
Dari bodoh menjadi pandai, dari babu menjadi majikan, dari budak menjadi tuan, dari terjajah menjadi merdeka, dari jelata menjadi priyayi, dari tertindas menjadi melawan, dari pasif menjadi aktif, dari takut menjadi berani, dari huruf menjadi kata, dari kata menjadi kalimat, dari kalimat menjadi paragraf, dari paragraf menjadi bacaan, semua karena manusia...
Pendidikan tidaklah sempit hanya disekolah, pendidikan bisa ditempat mana saja, pendidikan tak ubahnya proses dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan tidak hanya sebatas guru dan murid, pendidikan bisa dengan siapa saja.
Jangan terlalu percaya pada pendidikan sekolah, guru yang sebaik-baiknya masih bisa melahirkan bandit yang sejahat-jahatnya, atau memang guru itu sudah bandit pada dasarnya.
Jawa...
Eropa...
Madura...
Perancis...
Belanda...
Semua sama, manusia yang mendiami bumi, berceloteh dengan suka dan duka, bergumul, bermamah biak, dan berkembang biak.
Menjadi banyak, bersuku-suku, dan mendiami bumi alam semesta.
Bumi manusia punya sejarah dan kiprah dalam kisah kehidupannya.
Mencintai,
Membenci,
Menindas,
Melawan,
 Di bumi yang sama, bumi manusia.
Minke....
Anelis....
Nyai Ontosoroh....
Herman Milema....
Hanyalah sekelumit tokoh-tokoh didalamnya, yang mengisi kisah sejarahnya sebagai manusia yang pernah singgah di bumi manusia.
Bangilan, 10 Mei 2016.
Diambil dari inspirasi buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Menganalisis tetralogi Bumi Manusia perhatian utama ditumpukan pada pemikiran Pramoedya yang diselundupkan melalui narasi-deskripsi, lakuan dari dialog tokoh-tokohnya. Dengan kata lain apa yang hendak disampaikan Pramoedya dalam karya itu lebih penting daripada penjelasan fakta sejarah yang terdapat di dalamnya. Bagaimanapun, sebagai seorang sastrawan yang juga penganut serius mengenai sejarah bangsanya. Pramoedya menyampaikan gagasannya melalui karya sastra. Menurut pandangan Jakob Sumardjo, sejarah merupakan harta karun budaya yang dapat digali, ditimba, ditafsirkan dalam kaitannya dengan pembicaraan masalah yang terjadi pada masa kini. Sejarah selalu dipenuhi lambang, kejadian yang tidak jelas dan karenanya menantang imajinasi untuk mengembangkannya. Sejarah sebenarnya wilayah sastrawan yang memberi berbagai keserbamungkinan.[3]
Sebagai seorang sastrawan, Prameodya amat beruntung karena dapat melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan disiplin sejarah yang sangat terikat pada fakta, bukti dan ketetapan peristiwa. Pramoedya, justru karena itu, secara bebas menghadirkan dan membentuk tokoh-tokoh historis mengikuti apa yang hendak disampaikannya. Maka, hasilnya lahirlah tokoh Minke atau tokoh R.M. Tirto Adhisoerjo, Bapak kewartawanan bahasa Melayu di Jawa dan perintis pergerakan yang telah mendirikan Syarikat Priyayi dalam tahun 1906, yang agak lebih romantis dan lebih “bersih” daripada kenyataannya.[4] Sehubungan dengan itu, dapat dikatakan, bahwa walaupun banyak kemiripan antara tokoh utama Minke dengan R.M. Tirto Adhisoerjo (R. M. Tirto), kedua tokoh itu tidak serupa secara keseluruhan. Pramoedya sendiri menegaskan bahwa novel-novelnya harus dibaca sebagai karya fiksi, bukan sebagai buku sejarah.[5] Oleh sebab itu, tokoh utama dalam tetralogi ini bukan R.M. Adisoerjo, melainkan Minke seorang tokoh rekaan yang lahir dari sumber tokoh sejarah. Maka, usaha untuk mencari persamaan peristiwa sejarah dalam novel sejarah, hanya salah satu aspek saja, dari aspek lain yang jauh lebih penting. Mengenai pengambilan tokoh R.M. Tirto Adisoerjo, Pramoedya menjelaskan:
R.M. Tirto bukan saya maksudkan ditampilkan sebagai hero, tapi sebagai individu yang telah melepaskan diri dari kebersamaan tradisional, yang berabad lamanya jadi penghambat progres. Ini nilai cultural yang telah dicapai oleh R.M. Tirto. Sayang, bahwa setelah keluar dari kebersamaan agraris, ia belum sepenuhnya berhasil melahirkan kebersamaan baru yang relevan karena usia tidak mengizinkan.[6]
Mungkin benar pendapat yang diberikan mengenai pemilihan peristiwa dalam novel sejarah, yiatu “pemilihannya ditentukan oleh kepentingan masa kini, untuk tujuan yang dipakai ini. Dengan memilih peristiwa sejarah, ia dapat memperlihatkan persamaan masa kini dengan masa lampau. Ada kemungkinan maknanya lain. Masa lampau itu dihadirkan berdasarkan fenomena masa kini. Unsur masa kini dipindahkan ke masa lampau, tentu saja dengan penyesuaian tertentu untuk dapat diyakinkan masyarakat (pembaca). Tentunya juga, dengan menggunakan prinsip “pembentukan realitas melalui penceritaan”, “penyejarahan fiksi” dan mungkin juga sebagai “pemfiksian sejarah” oleh karena itu, di sini berlaku masa kini yang dilihat lebih khusus, sebagai sesuatu yang biasa dilakukan.”[7] Meskipun begitu, sebuah karya sastra tidak dapat ditafsirkan dengan hanya sebagai yang mengandung ajaran-ajaran tertentu, seperti misalnya,”pertentangan kelas” tanpa bukti yang lengkap. Rendra juga menegaskan bahwa kritikus harus berfikir jernih dan adil. Seorang seniman yang tidak dapat bertindak adil akan kehilangan kepekaannya terhadap kenyataan.[8] Pandangan ini sejalan dengan gagasan C.W. Watson, bahwa keseksamaan-kecermatan, ketelitian dari tanpa prasangka mutlak dituntut untuk memahami pemikiran seorang penulis novel sejarah yang sejati.[9]
Tetralogi Bumi Manusia dapat dianggap sebagai novel sejarah Indonesia yang mengandung wawasan baru. Dalam karya itu, Pramoedya menyentuh beberapa hal yang belum pernah dibicarakan sastrawan Indonesia lainnya. Ia begitu gamblang memaparkan pandangan mengenai cita pemberontakan atas kekuasaan kolonial, warisan budaya bangsa, gerakan kebangkitan bangsa di Tanah Air, dan peranan wanita dalam peralihan zaman. Namun, seperti karya-karya yang dihasilkan sebelum Pramoedya diasingkan ke Pulau Buru, humanisme tetap merupakan dasar dan latar belakang pemikirannya. Dalam sebagian karyanya terdahulu, Pramoedya menceritakan masalah individu manusia yang diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang dialaminya sendiri.[10] Dalam tetralogi itu, ia mengolah masalah manusia sebagai warga dunia dan masalah warisan budaya yang berkaitan dengan masa depan bangsa. Kenyataan ini membuktikan bahwa pemikirannya dalam tetralogi itu lebih matang dan lebih luas dari masa sebelumnya. A. Teeuw beranggapan, bahwa karya itu adalah karya yang mempesona, matang dan arif, hasil dari sebuah kajian yang mendalam, dan lancar (mulus) dalam struktur. Dikatakannya pula, bahwa karya itu menampilkan kelahiran manusia Indonesia modern melalui penderitaan ganda: perpisahan pahit dengan dunia feodal, tradisi jawa dan penghinaan konfrontasi terhadap sistem kolonial dalam wajah aslinya yang jahat.[11]
Perlu diingat, bahwa sastra yang baik dapat menghadirkan kembali masa kehidupan, bobot, dan susunannya. Ia menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, gejolak emosi, dan perasaan individu atau masyarakat. Hal ini dihadirkannya bersama sama secara jalin-berjalin, seperti yang terjadi dalam kehidupan yang kita hayati sendiri. Sastra yang baik menciptakan kembali desakan hidup.[12] Dengan berpegang teguh pada prinsip itu, Pramoedya berusaha mengingatkan pembaca bahwa kekuasaan kolonial telah menindas kaum pribumi di Hindia Belanda, dan peristiwa ini terjadi karena kelemahan bangsanya sendiri. Maka, dengan membuang warisan-warisan budaya yang menjadi hambatan, penindasan seperti itu dapat teratasi dan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, Tanah Air Indonesia dapat menjadi “bumi manusia” yang sebenarnya. Menurut Pramoedya, “Bumi Manusia” adalah panggung di mana manusia memainkan peranannya. Manusia merupakan kesatuan dan abadi selagi buminya tidak musnah. Orang atau individu mempunyai jangka waktu hidup yang tertentu. Setiap orang pasti akan mati, akan tetapi manusia bersifat abadi. Bumi manusia juga berbeda dari pengertian “bumi malaikat” atau “bumi setan”. Setidak-tidaknya “bumi manusia” bukan surga juga bukan neraka, tetapi bumi yang dibangun oleh otak dan tangan manusia sendiri, bumi di mana manusia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri, dia tidak mengesampingkan tanggung jawabnya pada segala yang ada di luar dirinya.[13] Pandangan itulah yang menjadi salah satu alasan hadirnya novel sejarah tetralogi Bumi Manusia. Kesengsaraan nenek moyang yang sebenarnya perlu diberitahukan kepada keturunannya. Maka fungsi novel sejarah tidak dapat diabaikan. “Novel sejarah dapat membantu pembaca kembali pada sangkan parannya (asal usulnya) sebagai bangsa. Akar dan identitas bangsa barangkali dapat diraba di sana, lewat hidangan gambaran, pengalaman masa silam para sastrawannya.”[14]
Pramoedya menggambarkan tokoh utama yaitu Minke, untuk mengungkapkan kesengsaraan rakyat pribumi dan citra pemberontak terhadap kekuasaan kolonial, warisan budaya yang menjadi hambatan, dan gerakan nasionalisme di Tanah Air. Minke adalah seorang pribumi asli yang lahir dari kehidupan priyayi yang mendapat pendidikan Eropa di HBS (Hogere BurgerSchool, Sekolah Menengah Belanda) di Surabaya. Pramoedya mengambil latar belakang kota Surabaya yang pada waktu itu sebagai kota dagang terbesar, yang melahirkan ide-ide baru dari seluruh dunia. Maka, untuk menceritakan peralihan pemikiran, kota Surabayalah yang paling tepat. Waktu itu kota Betawi (Jakarta) boleh dikatakan sebagai kota priyayi. Sebagai seorang anak bupati, Minke mendapatkan kesempatan belajar di HBS. Menurut adat bisa dipastikan Minke adalah calon bupati, karena jabatan bupati diterima turun-temurun. Minke dihormati oleh lingkungan masyarakat Jawa maupun pemerintah kolonial Belanda melalui pendidikan dan pergaulan dengan orang-orang yang berpandangan liberal dan rasional, Minke pun berubah menjadi orang yang menyadari keadaan bangsanya dan berusaha mengatasi masalah-masalah yang bersumber dari tradisi budaya.
Begitu juga seorang perempuan pribumi yang lugu dan tidak tahu apa-apa, Sanikem, yang telah dijual oleh ayah kandungnya sendiri kepada Herman Mellema sebagai gundik demi ambisi ayah kandungnya untuk naik jabatan. Sanikem yang terkenal dengan sebutan Nyai Ontosoroh ternyata bukanlah sampah hina-dina seperti yang sering tergambar pada masyarakat kolonial waktu itu. Akan tetapi berkat ajaran dan didikan tuannya, Nyai berhasil mengembangkan perusahaan pertanian di Wonokromo, Broderij Buitenzorg, dan orang Jawa yang punya lidah berbeda sering menyebut Buitenzorg menjadi Ontosoroh karena Nyai Sanikem merupakan orang yang berpengaruh di kawasan tersebut. Nyai bersama dengan Annelies (putrinya dari hasil pergundikan yang tidak bisa disahkan oleh undang-undang kolonial Belanda sebagai anak kandung) menjadi tulang punggung tegaknya perusahaan setelah Tuan Mellema disingkirkan oleh Nyai. Dalam pandangan Nyai, suaminya tidak lagi dapat dianggap sebagai manusia bermoral yang patut dihormati dan disayangi. Nyai kini menempatkan diri seakan “macan betina” yang garang: keras, tegas, pintar dan memiliki harga diri yang tidak luluh oleh penindasan. Lebih tepatnya Nyai adalah manusia dengan pribadi yang mengagumkan. Pramoedya melukiskan tokoh Sanikem yang awalnya buta huruf sebelum dijual kepada tuannya. Berkat pengajaran tuannya, Nyai mengetahui baca tulis karena tuntutan kebutuhan kemajuan zaman yang terus berkembang.
Pramoedya sebagai pengarang sangatlah komplit, di sisi lain banyak yang mengelu-elukan meskipun juga tak kalah banyak yang menghujat. Banyak karya-karyanya yang memang fenomenal sebagai karya yang banyak bernuansa humanis. Pram adalah penulis Indonesia yang semasa hidup paling sering disebut sebagai calon penerima nobel sastra. Sekaligus mungkin penulis Indonesia yang paling dikenal di jagat sastra dunia.  Misalnya banyak karya-karya Pram seperti Bumi Manusia yang telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa di dunia. Dalam bingkai “bumi manusia” Pram telah bersemayam abadi bersama dengan karya-karya lainnya.

Bangilan, 28 September 2018
*Penulis anggota Komunitas Kali Kening







[1] Jawa Pos, Bumi Manusia dan Imajinasi yang mati. Sabtu 9 Juli 2018. Hal. 4.
[2] Muhammad Rifai, Biografi Singkat 1923-2006 Pramoedya Ananta Toer, (Yogyakarat: Garasi House of Book, 2010), hlm. 80.
[3] Jakob Sumardjo, 1985, “Novel Sejarah Kita,” Kompas, 15 Oktober.
[4] Ahmat Adam, 1989, Pramoedya Toer dalam Rumah Kaca,” Dewan Sastra, Juni, hlm. 32.
[5] Prof. Koh Young Hun, Pramoedya Menggugat Melacak Jejak Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 84.
[6] Surat Pramoedya kepada Marjanne Termorshuizen Arts, 6 Februari 1967.
[7] Umar Junus, 1989, Fiksyen dan Sejarah: Suatu Dialog, hlm. 137. Menurut Umar Junus, mungkin persembahan “Panembahan Rekso” Rendra juga menggunakan kemungkinan ini, yaitu membawa masa kini ke masa lampau yang entah kapan dan entah di mana.
[8] Rendra, 1981, “Si Nyai yang bikin heboh,” dalam Adhy Asmara (ed), Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia, hlm. 35.
[9] Lihat C.W Watson , 1983, ‘Pramoedya Ananta Toer ‘s Short Stories: An Anti Postmocularist Account,” kertas kerja untuk Fourth European Colloquim On Malay and Indonesian Studies, Leiden, 30 Mei – 2 Juni.
[10] Pada waktu menghasilkan Keluarga Gerilya dan Perburuan, Pramoedya baru berusia 24 tahun. Pramoedya juga mengakui, bahwa sewaktu menjadi tahanan di Pulau Buru, ia masih muda. Ia hanya ingin mengingat diri sendiri, dan belajar dari pengalaman, (Lihat Rita S. Hastuti, 1980. “Apa Khabar Pram!” dalam Salemba, No. 83/th. V. 20 Feb. hlm. 6)
[11] A. Teeuw, 1980, “In Indonesische Gevangenschap Geschreven,” de Volkskrant, 25 Oktober.
[12] Richat Hoggart, “Literature and Society,” Mckenzie (ed.), 1966, A. Guide in the Social Science, hlm. 226-227. 24 dalam surat kepada Farah Diba pada 6 Oktober 1980.
[13] Dalam surat kepada Farah Diba pada 6 Oktober 1980.
[14] Jakob Sumardjo, 1985, ‘Novel Sejarah Kita,” Kompas, 15 Oktober.

Label:

Senin, 17 September 2018

“Rantaimu Takkan Mampu Membelenggu Otakku.”


 Indonesiana Cerita dari Blora
“Rantaimu Takkan Mampu Membelenggu Otakku.”

Foto diambil dari pameran cukil 1000 wajah Pram di Sasana Bhakti Blora.

            Ketika kakiku menginjakkan di rumah masa kecil Pram, Blora, saat acara Indonesiana yang bertema “Cerita dari Blora” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Pariwisata dengan Ikon, Sastra Blora, Sastra Dunia. Dari tanggal 12-15 September 2018. Seakan-akan, “Pram belum mati, ia masih hidup.” Rasanya beliau masih ada di sekitar rumah masa kecilnya itu. Menanam jati, membakar sampah, merokok, bahkan sedang berada di depan mesin ketik tuanya yang ber-merk Optima produk Inggris sambil cetak-cetek menuliskan buah pikirannya lalu diteruskan dengan menggunting-gunting surat kabar untuk dikliping. Dengan telaten beliau selalu mengumpulkan berita-berita yang dikemas menjadi beberapa tulisan. Pram menulis selalu dengan data. Saking banyaknya data yang dikumpulkan jika ditumpuk bisa sampai beberapa meter tingginya. Lahirlah karya-karya beliau yang memukau dunia, seperti cover-cover buku karyanya yang telah dipajang di rumah masa kecilnya, ada 50 karya. Meski beberapa yang lain telah dibakar, dilarang dan hilang ditelan sunyi.
Ruang depan rumah masa kecil Pram itu telah berhasil disulap dengan apik dan unik, hingga menjadi Pameran Memoribilia Pram. Ada juga patung Pram, foto dan lukisan-lukisan wajah Pram, serta barang-barang peninggalan Pram seperti asbak, jam tangan dan barang pecah belah (gelas,piring). Mataku mencari kesana kemari tidak menemukan topinya. Entah disimpan di mana? Ada mesin jahit, bifet kuno yang berisi perkakas-perkakas kuno dan kertas.
Sebentar lagi rumah masa kecil Pram ini akan segera di revitalisasi oleh pemerintah sebagai rumah sastra. Disediakan pula aula diskusi bagi yang akan diskusi, kamar-kamar untuk menginap bagi pengunjung dari seluruh dunia. Pram tidak lagi menjadi milik masyarakat Blora saja akan tetapi telah menjadi milik anak semua bangsa. Sesuai dengan nama perpustakaannya yaitu Pataba, Pramoedya Ananta Toer anak semua bangsa, perpustakaan yang kini telah dikelola adiknya yaitu Soesilo Toer.
Dalam rangkaian acara Indonesiana, Cerita dari Blora. Hari pertama Rabu, 12 September 2018 mulai pukul: 09.00 WIB-Selesai, Pameran Memoribilia Pram yang dilaksanakan di rumah masa kecil Pram (Perpustakaan Pataba Blora), ceremony pembukaan pameran oleh Bapak Bupati Blora dan Soft lounching “Rumah Sastra Blora”, mengangkat tokoh Pramoedya karena karyanya telah diakui dunia. Sebagai pengarang, karya-karya Pram tidak lahir begitu saja, hampir semua karya-karyanya lahir dengan proses dan perjuangan yang berdarah-darah, hidup dari penjara ke penjara yang sangat melelahkan, 1965-1979, tanpa tahu apa perkaranya dan tidak pernah diadili, itulah bukti bahwa dirinya sosok pejuang yang tidak mudah menyerah, konsisten, idealis, bahkan kekuasaan manusia tak bisa membelenggu hati dan pikirannya, beliau tetap konsisten menyuarakan idenya dengan tulisan-tulisan yang memukau. “Rantai takkan mampu membelenggu otakku.” Beliau tetap terus menulis, menulis, menulis. Seperti apa yang pernah beliau tulis: menulis adalah tugas nasional. Jika ingin hidup abadi, menulislah! Ada lagi: manusia boleh pandai setinggi langit, namun jika ia tak menulis ia akan hilang ditelan sejarah.
Meskipun Pramoedya yang telah di akui oleh dunia lewat beberapa karya-karyanya, banyak juga warga Blora yang tidak mengenalnya jika beliau adalah seorang sastrawan dunia yang pernah lahir di Hindia Belanda, tepatnya Kabupaten Blora. 6 Pebruari 1925 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 30 April 2006 dalam usia 81 tahun. Banyak warga sekitar yang tinggal di sekitar Jetis di Jalan Sumbawa nomor 40 tidak mengenalinya, mereka bahkan mengira bahwa rumah masa kecil Pram itu adalah rumah hantu, angker, dan kosong, tak ada yang berani mendekati, baru pak Soesilo Toer adik kandung Pram kembali ke Blora dan tinggal di rumah itu, banyak tamu-tamu berdatangan silih berganti, bahkan juga banyak yang datang dari luar negeri. Orang-orang sekitar tidak mengira jika Pram adalah orang yang punya dedikasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan, beliau sangat menyukai buku, membaca buku, menulis, dan membuat catatan-catatan sejarah. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Muhidin M Dahlan sekitar tahun 1960-an bahwa Pram adalah seorang guru; pengajar sejarah Indonesia di Universitas Republika dan mentor utama di Akademi Multatuli sebagai bukti telah banyak lahir karya buku-buku: Arus Balik, Sang Pemula, Panggil Aku Kartini saja, Daendels, Mangir, Arok-Dedes, dan masih banyak lagi. Pram dan Blora seperti bertalian, segala kisah bentuk emosi manusia yang serba-serbi beliau tulis dengan lindap, Cerita dari Blora. Mengisahkan kesedihan, kemelaratan, ketertindasan, dan penyimpangan-penyimpangan sosial. Di mana kota Blora sebuah daerah yang kaya raya namun banyak penduduknya yang hidup tenggelam dalam kemelaratan dan kemiskinan. Ironis.
Pram selalu hadir di garda paling depan dan paling berani menyuarakan ketidakadilan. Pram membela dengan caranya sendiri. Dengan tulisan-tulisan yang beliau kumpulkan, menyusun dan mendokumentasikan menjadi sebuah laporan tertulis. Bentuk perlawanan jurnalistik kemanusiaan yang membuat penguasa megap-megap. Ketakutan dan was-was. Buatlah perlawanan yang tidak hanya cukup melawan namun buatlah perlawanan yang berdasarkan bukti dan realitas. Dalam tetralogi Buru, seorang tokoh Minke yang telah melawan dengan ketajaman penanya, ketajaman analisis datanya, melawan dengan bukti, meski kalah dan tersisih namun setidaknya diri ini telah melawan.
Pram adalah simbol perlawanan. Dalam Cukil 1000 wajah Pram, rangkaian Indonesiana hari ke-4, Sabtu, 15  September 2018 pukul 09.00 WIB-Selesai bertempat di Gedung Sasana Bhakti yang dimeriahkan oleh banyak komunitas seni seluruh Indonesia bahwa Pramoedya mampu menjelma menjadi banyak tokoh yang tidak hanya menulis namun juga membela. Setidaknya ajaran-ajaran Pram telah tersampaikan, nilai-nilai kritik sosial dalam bentuk karya lain seperti dalam karya cukil dengan tema seribu wajah Pram. Hampir seperti apa yang ada dalam setiap tokoh-tokoh yang beliau gambarkan pada karya-karya bukunya. Memang benar bahwa rantaimu takkan mampu membelenggu otakku, Pramoedya Ananta Toer. Piss!

Blora, 14 September 2018.
Rohmat Sholihin
Penulis aktif di Komunitas Kali Kening Bangilan-Tuban.

Label:

Jumat, 24 Agustus 2018

Ingin Menang? Fokus dan Jaga Emosi


https://www.google.co.id/search?q=timnas+u+23&safe=strict&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwifmLH9kIXdAhXKKY8KHcpJAa0Q_AUIDCgD&biw=1366&bih=631#imgrc=7W4Hpg9KcqCWIM:

            Detik-detik pertandingan Timnas Indonesia dengan Uni Emirat Arab dalam lanjutan 16 besar Asian Games sebentar lagi akan dimulai. Tepatnya, pukul 16.00 WIB nanti pada Jumat tanggal 24 Agustus 2018 di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi. Pertandingan ini cukup krusial, memasuki fase gugur, 16 besar. Ada rasa was-was bagi kedua tim untuk segera mengamankan tiket menuju 8 besar. Seluruh strategi dan taktik sama-sama dipersiapkan untuk meraih kemenangan dan lolos ke babak berikutnya. Terutama Timnas Indonesia sebagai tuan rumah.

Melihat peta kekuatan kedua tim bahwa tim Uni Emirat Arab jauh di atas Indonesia. Bahkan Timnas UEA (Uni Emirat Arab) pernah tampil di ajang paling bergengsi pesta sepak bola dunia yaitu Piala Dunia 1990 di Italia dengan juaranya Jerman Barat melawan Argentina. Itu menandakan bahwa UEA mempunyai tradisi sepak bola yang cukup kuat meski dalam ajang Asian Games 2018 hanya mampu menjadi peringkat ketiga dalam group C. Dan Timnas Indonesia dengan peringkat urutan 164 berada di bawah Taiwan dan Hongkong mampu menjadi kuda hitam dan melesat menjadi juara group. Luar biasa, namun jangan terlena masih ada ujian berat menuju 16 besar menghadapi Timnas UEA asuhan pelatih Magiet Skorza. Bagaimanapun pertandingan sore ini Timnas Indonesia harus sukses meraih poin kemenangan. Jangan mengandai-andai menuju final atau menjadi juara terlebih dahulu tapi lalui pelan-pelan tiap pertandingan dengan meyakinkan. Pastikan pertandingan yang berat ini adalah pertempuran yang memberikan kontribusi besar dengan semangat yang tak kunjung padam buktikan bahwa merah putih punya mental juara. Bermain dengan bebas dan hilangkan tekanan-tekanan yang bisa menghantui setiap saat. Kembangkan umpan-umpan pendek dengan cepat dan akurat dari lini ke lini, selesaikan peluang dengan baik dan jaga emosi jangan sampai terpancing oleh provokasi-provokasi yang selalu diciptakan oleh Timnas UEA karena untuk membuyarkan konsentrasi permainan. Selalu fokus dan tenang.

Meskipun dari beberapa hasil pertandingan yang pernah dilakukan oleh Timnas Indonesia asuhan dari Luis Milla melawan tim-tim dari Timur Tengah memang agak kurang sedikit menyenangkan karena banyak kekalahan. Melawan Palestina dalam babak penyisihan juga kalah 2-1. Skor tipis ini sangatlah berarti. Bagaimana semangat tim harus dibangun kembali, membenahi kelemahan-kelemahan tim yang perlu untuk diperbaiki, terutama emosi pemain. Jangan sampai emosi pemain-pemain Timnas Indonesia terpancing dengan drama-drama permainan yang akan disuguhkan oleh Timnas UEA. Semua pengamat banyak yang melihat gaya permainan Timnas UEA yang lebih mengedepankan memancing emosi lawan. Seperti yang pernah terjadi ketika melawan Timnas Malaysia dalam pertandingan uji coba bahkan sampai kisruh antar pemain. Jika ingin sukses meraih kemenangan pemain Timnas Indonesia harus menghindari itu. Tak ada sesuatu yang tak mungkin. Jangan berkecil hati. Buktikan bahwa kita bisa bermain bagus dan meraih ekspektasi lebih, inilah saatnya membuktikan bahwa tim Garuda Muda bukan tim yang lemah. Bangun sistem pertahanan yang kuat dan kokoh. Perkecil kesalahan dan jangan memberikan sedikit peluang pada lawan untuk menyerang. Bola tak ubahnya seperti politik, taktik dan strategi harus jitu.

Timnas Indonesia masih punya banyak peluang untuk memenangkan pertandingan sore hari ini. Saya kira Luis Milla bukanlah pelatih yang baru kemarin sore menangani tim, bahkan ia juga pernah punya pengalaman menangani tim dari UEA tepatnya Al Jazira, ia akan menempatkan beberapa pemain pilar-pilarnya dalam menghadapi Timnas UEA dengan tepat. Timnas Indonesia terkenal mempunyai kecepatan yang bisa dikembangkan untuk menggedor pertahanan Timnas UEA, mulai dari sayap dan tengah, juga daerah pertahanan yang dimotori oleh Kapten Hansamu Yama harus meningkatkan kewaspadaan kembali. Hasil dari pertandingan melawan Hongkong dan gol yang terjadi di gawang Timnas Indonesia adalah hasil kurangnya waspada di daerah pertahanan. Ini pekerjaan rumah Coach Luis Milla yang segera untuk dibenahi. Apalagi materi pemain-pemain UEA mempunyai postur tinggi dibandingkan dengan Timnas Indonesia, tentu saja bola-bola atas akan lebih mendominasi, jaga ketat dan waspada jika terjadi bola-bola mati dan tendangan pojok. Pemain-pemain Garuda Muda harus bisa mengembangkan permainan dengan umpan pendek dan cepat. Skill individu pemain Indonesia tidak kalah. Ini yang harus dimanfaatkan dengan matang. Jika Indonesia ingin menang, bermainlah dengan tenang dan fokus, tak usah terpancing emosi, bermainlah dengan lepas, nikmati gaya permainan ala kita, umpan pendek dan cepat. Tak ayal gol pasti akan tercipta dari Timnas Garuda Muda. Bravo sepak bola Indonesia. Tetap optimis untuk menang. Berikan kado spesial di HUT yang ke 73 Indonesia Merdeka!. Tentu saja dengan permainan yang cantik dan kemenangan. Aamiin.

Bangilan, 24 Agustus 2018.
Pukul 14:00. Belajar Analisis Tipis-tipis Timnas Kita.
Rohmat Sholihin
Penulis aktif di Tim Sepak Bola Bangilan FC.



Label:

Kamis, 23 Agustus 2018

Mendulang Harapan di Lokajaya



Tim Bangilan FC saat bertanding uji coba melawan Pemkab Tuban di Stadion Lokajaya Tuban. Dokumen pribadi. Foto. Rohmat S.

Jika ingin menjadi berani, berjuanglah terus untuk berani, berani tidak datang secara tiba-tiba tapi berani perlu untuk diperjuangkan secara terus-menerus dan tiada pernah berhenti. Kalimat ini sangat cocok untuk memotivasi semangat anak-anak muda dalam membangun tim sepak bola. Seperti tim sepak bola usia 15 dan 19 pada Bangilan FC yang beberapa hari kemarin bertanding dengan tim senior Pemkab Tuban di Stadion Loka Jaya Tuban. Tepatnya pada Jumat, 6 Juli 2018 pukul 15.30 WIB. Meski berakhir dengan kekalahan telak 4-1. Tapi makna di balik kekalahan itu sangatlah besar. Kemenangan yang mampu diraih itu adalah konsistensi dari hasil kerja keras yang berkesinambungan. Sedangkan kekalahan adalah hasil terburuk untuk kita jadikan cambuk untuk terus berusaha dengan sekuat tenaga agar menjadi menang.
Ada hal yang menarik yang perlu saya laporkan sebagai bahan kajian kita bersama. Pertama, melatih keberanian mental tanding anak-anak. Baru beberapa hari ini tim berlatih kembali secara terjadwal dan sesuai menu latihan yang seimbang. Fisik, tekhnik, dan game. Karena sebelumnya tim ini tercerai berai tidak pernah berlatih secara bersama. Ada faktor yang menghalangi, perbaikan sarana lapangan yang memakan waktu berbulan-bulan hingga tidak ada komitmen lagi untuk berlatih, juga lapangan yang belum bisa digunakan berlatih dan bertanding secara layak. Kondisi rumput dan batu-batu yang masih belum beres 100 persen, perbaikan lapangan tidak sampai tuntas, sehingga selera berlatih bersama-sama lagi menjadi hilang, menurut istilah anak muda zaman now atau kitab gaul, ill feel, hilang rasa atau tak berselera karena keadaan yang tidak mendukung. Di samping itu juga untuk keselamatan pada diri kita. Dari pada berakhir dengan cidera lebih baik tidak karena kondisi lapangan yang sangat buruk tidak bisa digunakan untuk bertanding. Saya pernah menyampaikan kritik langsung di depan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di MTs Ittihadul Islamiyah Kedungjambangan-Bangilan pada saat pertemuan pembentukan KKGO Madrasah Kecamatan Bangilan atas kondisi lapangan saat ini. Mendapat respon positif namun tidak pernah ada tindakan nyata akhirnya kita sendiri yang harus berbuat sesuatu agar lapangan bisa dipakai kembali meski masih ada beberapa titik yang perlu untuk di benahi lagi. Pelan-pelan, batu-batu yang masih ada dan berserakan menancap di lapangan kita rapikan lagi, kita benahi semampu kita dan tanah-tanah yang tidak rata kita ratakan dengan tambal sulam. Lumayan lambat laun bisa kita gunakan lagi. Berlatih kembali, menata lagi, semangat lagi dan bertanding kembali.
Kedua, menyatukan tim lagi. Dalam tim yang banyak karakter ini di satukan lagi dengan strategi dan taktik bermain yang terus berubah-rubah. Artinya memadukan tim tidak urusan mudah, perlu beberapa waktu dan proses berlatih secara intens. Sehingga kita bisa belajar dan mengetahui skill dan karakter beberapa pemain agar bisa mengembangkan beberapa strategi dalam tim.
Ketiga, memperbanyak pengalaman bertanding uji coba secara tepat dan terukur. Artinya kita bertanding harus memperhatikan waktu, tidak terlalu mepet dan tidak terlalu lama, rentang waktu harus kita atur sedemikian rupa sesuai dengan tingkat latihan dan persiapan. Idealnya dalam waktu satu sampai dua minggu kita bisa menyempatkan bertanding uji coba dengan tim yang jauh berada di atas kita secara kualitas agar kita bisa mendulang banyak pengalaman dari tim lawan yang lebih berkualitas. Namun jika kita akan mempersiapkan kompetisi kita bisa melakukan pertandingan uji coba minimal satu minggu satu kali. Di samping itu sistem pertandingan uji coba ini bisa sebagai salah satu cara untuk mengurangi kejenuhan dalam berlatih. Berlatih terus namun jarang bertanding, pasti jemu, out let dari hasil latihan menjadi semu. Tidak ada target tertentu. Motivasi pemain untuk berlatih bisa menjadi rusak.
Secara materi tim memang kita kalah. Tim Pemkab Tuban mempunyai banyak pemain-pemain yang sudah cukup berpengalaman baik secara mental, tehnik, dan skill. Sedangkan kita Bangilan FC yang banyak dihuni oleh pemain-pemian muda hanya mengandalkan kecepatan. Buktinya tidak lebih dari 10 menit tim Bangilan FC sudah bisa melesakkan bola ke gawang Pemkab Tuban. Menjelang 25 menit baru irama permainan bisa dikuasai oleh Pemkab Tuban karena materi pemain-pemainnya yang sudah cukup piawai dalam mengatur tenaga, kerja sama tim, dan skill yang mumpuni. Hingga pertandingan bubar keadaan skor mampu di balik 4-1 untuk Pemkab Tuban dengan 2 gol hasil tendangan finalti akibat pelanggaran yang dilakukan pemain-pemain Bangilan FC yang notabenenya, pemain muda, tentu saja muda segalanya termasuk skill, tehnik, dan pengalamannya. Semangat terus Bangilan FC. Bravo sepak bola Bangilan.

Lokajaya, 23 Agustus 2018.
Tulisan ini hanya sekedar belajar menganalisis tipis-tipis dari hasil pertandingan uji coba yang telah lalu.
Rohmat Shoihin
Penulis aktif di Bangilan FC.

Label:

Jumat, 03 Agustus 2018

Catatan 3 : Ada Bola di Dadaku

Ada Bola di Dadaku


            Masih ingat lagu Garuda di Dadaku, yang diciptakan oleh kelompok musik Netral. Dan biasa dinyanyikan oleh para supporter Timnas Indonesia, baik anak-anak kecil, muda, tua di setiap event sepak bola yang ada di seluruh penjuru tanah air dengan semangat menyala-nyala. Luar biasa. Masyarakat Indonesia memang gila bola atau sangat menyukai sepak bola. Belum lagi acara nonton bareng di kafe-kafe, lapangan, kecamatan, warung kopi, tempat parkir, dan bahkan di rumah masing-masing. Degup jantung dag-dig-dug, dibuatnya. Ketika Timnas kita sedang bertanding. Rasa nasionalisme kita tumbuh hanya dari pertandingan sepak bola. Sepak bola telah berhasil menjadi olahraga ikon nasionalisme. Seakan-akan bagaimanapun situasinya negara, kalau pertandingan sepak bola  Timnas menang pasti aman. Tak kan ada kemarahan rakyat meski kondisi ekonomi kian terpuruk. Jawabannya hanya singkat, yang penting Timnas kita menang. Mungkin itu terlalu berlebihan, meski Timnas kita belum berhasil lolos ke piala dunia ajang paling bergengsi event sepak bola di seluruh penjuru dunia.
Dan kita baru saja usai menonton Piala Dunia 2018 dengan gegap gempita. Demamnya juga masih tersisa. Meski masih ada yang kecewa. Jagoannya kandas. Sabar. Masih ada lagi Piala Dunia 2022. Namun jago kita kapan ya? Timnas Indonesia. Tak usah berharap banyak, siapa tahu bisa lolos. Dalam sepak bola semua serba mungkin. Masih ingat tim Italia dipecundangi oleh Korea Selatan? Bahkan yang masih hangat, Jerman sebagai juara bertahan di kandaskan oleh Korea Selatan juga dengan skor 2-0. Komplit, Korea Selatan bisa disebut sebagai Tim Jagal. Tim Jagal Korea Selatan U-19 saja juga pernah di pecundangi Timnas Indonesia U-19 dengan skor yang fantastis, 3-2, hasil hattrick Evan Dimas. Apa yang tidak mungkin dari sepak bola? Semua masih serba mungkin, maybe. Selama kerja keras dan terus berlatih dengan konsisten tak mungkin tidak. Semua bisa dicapai, proses yang baik hasil tentu baik.
Sepak bola saat ini sudah seperti nafas bagi penggemarnya. Bahkan sudah melalui tahap fanatik. Hancur lebur membela dan memberikan semangat kepada jagoannya. Sampai mati. Tak ingin jagoannya kandas. Saling tidak terima, kedua tim pun sering saling menyerang. Kacau jadinya. Bentrokpun terjadi. Imbasnya ada pengrusakan fasilitas-fasilitas umum sebagai pelampiasan rasa kesal, marah dan kecewa. Sepak bola adalah permainan, ada kalah dan ada menang seperti cabang olahraga lainnya. Bagaimanapun hasilnya kita harus belajar menerima dengan lapang dada. Tim yang kalah harus terima dan yang menang juga jangan jumawa. Sikap sportif itu harus ditegakkan setinggi-tingginya agar semuanya bisa berprestasi dengan baik, apapun itu, bukan hanya dalam sepak bola, bahkan bisa dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Bagi yang sangat menyukai sepak bola, rasa-rasanya itu: ada bola di dadaku, berdegup kencang dan berdebar-debar dalam jantung, mengalir dalam aliran darah dan menjalar ke seluruh tubuh. Pikiran yang keluar selalu bola. Bicara selalu bola. Bola melulu, kapan bosannya? Entah, sepak bola seperti makanan pokok ala orang Indoensia, yaitu nasi. Dan mungkin saja kalau Indonesia masuk piala dunia, nasipun akan ikut masuk menjadi menu piala dunia. Karena para supporter juga pasti akan nekat ikut serta melihat dan datang memberikan semangat pada tim jagoannya untuk bertanding. Aku memimpikan hal itu pasti seru. Seru “bingit,” bahasa gaulnya. Agar piala dunia menjadi lengkap. Karena ada Indonesia. Negara besar yang mempunyai jumlah penduduk hampir 250 juta jiwa, bermacam-macam suku bangsanya, luas wilayahnya, 17.506 jumlah pulaunya tersebar di lautannya yang luas. Pasti seru.
Sekedar mimpi tentu saja boleh, tiada yang melarang karena mimpi sampai kapanpun belum pernah dilarang. Dari membangun mimpi semua bisa terwujud. Bermimpilah setinggi langit. Dari mimpi akan terobsesi menata diri dan mempersiapkan diri sebaik mungkin, belajar dari waktu ke waktu tiada kenal lelah, demi mimpi. Masih takut bermimpi? Asalkan mimpi yang positif.
Membangun mimpi juga bisa dimulai dari hal yang paling sederhana. Seperti impian dalam membangun tim sepak bola tingkat bawah, dari tingkat desa. Struktur pemerintah paling bawah. Jangan salah, sulitnya juga luar biasa. Mempersiapkan beberapa fasilitas, pemain, instruktur, materi, kompetisi, pertandingan uji coba, dan juga yang lainnya. Tentu saja untuk prestasi yang baik, prestasi juara. Bukan sekedar bermain saja, siapapun pasti bisa.
Seperti Tim Bangilan FC, tim sepak bola dari Kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban, yang lama telah vakum tak ada kegiatan apapun, mati suri lebih tepatnya, sampai lapangan di rehabpun masih belum ada tanda-tanda bangkit untuk latihan seperti biasa. Seakan-akan animo masyarakat terhadap sepak bolapun menurun drastis, dan tidak sesuai pembahasan yang di atas, selalu mendukung tim dengan fanatik dalam tanda kutip dewasa, sportif dan antusias. Para penggemar sepak bola Bangilan seperti sedang lesu, ibarat sebuah perusahaan yang bertarung di pasar saham mengalami terjun bebas, hampir pailit atau bangkrut tak ada suplai dana untuk memperbaiki situasi atau memulihkan kondisi  di pasaran. Hancur total. Imbasnya dalam kompetisi tak mampu bersaing dengan tim-tim lain yang lebih sehat dan segar-bugar.
Segala daya dan upaya harus dibangun lagi. Segera. Tidak usah menunggu waktu esok atau lusa. Sekaranglah waktu yang tepat untuk membangun tim kembali. Semua pemain-pemain harus dikumpulkan lagi, disatukan lagi, semua umur, tim usia 12 tahun, tim usia 15 tahun, dan tim usia 19 tahun ke atas. Satukan semua dalam satu visi: membangun dan memajukan kembali sepak bola Bangilan. Semarakkan lagi Gelora 17 Agustus dengan kegiatan-kegiatan olah raga, sepak bola harus kembali di tata lagi dengan baik dan tersistematis. Semua stake holder harus mendukung. Bangilan harus punya kembali tim impian, The Dream Team, yang bisa diandalkan untuk bisa berkompetisi dengan baik bukan tim yang asal comot sekelas Tarkam habis main langsung buang baik menang atupun kalah. Tapi melalui fase-fase pembinaan yang terus berkesinambungan dengan runtut dan terukur. Meski masih sangat sulit, bukan berarti tidak mungkin kita coba. Mencoba akan lebih baik daripada tidak, mencoba akan mendapatkan pengalaman dan mengerti akan kekurangan. Mencoba akan menang selangkah bagi yang tidak mau mencoba.
Sangat tidak realistis ketika ingin menjadi juara tapi malas bekerja keras. Mulai berlatihlah yang keras dan rutin penuh semangat. Karena menjadi juara itu bukanlah hal yang mudah, menjadi juara sangat sulit meski hanya tingkat yang paling bawah. Beranikah bermimpi menjadi juara pada tingkat yang lebih tinggi? Silahkan mencoba dan berlatihlah yang keras untuk mewujudkan mimpi-mimpimu. Tentu saja dalam hal apapun dan positif.
Bangilan, 4 Agustus 2018.
Rohmat Sholihin
Aktif di literasi komunitas kali kening Bangilan.






Label:

Senin, 25 Juni 2018

Reuni Bola


Tim Senior Bangilan Foto. Rohmat S.
Setinggi elang terbang tak kan pernah lupa sarangnya. Sejauh perahu berlayar tak kan lupa dengan daratan. Sejauh orang merantau tak kan lupa kampung halaman. Seberapa lama orang berpisah tak kan lupa untuk bertemu kembali, meski menyimpan dendam kesumat sekalipun setitik noda rasa rindu dalam hati pasti ingin kembali untuk bertemu. Itulah pentingnya makna bertemu kembali dengan orang tua, sanak keluarga, sahabat, dan orang-orang sekitar yang dulu pernah bertegur sapa, berbincang, apalagi pernah membangun mimpi bersama, bercanda dan tertawa bersama.
Dan pada dasarnya setiap manusia selalu menyimpan rasa rindu, ini manusiawi. Tak ada manusia yang tidak punya rindu. Bahkan setanpun juga diciptakan oleh Allah juga lengkap dengan rasa rindu, tak henti-hentinya ia selalu menggoda anak manusia. Yang dulu pernah hidup satu lingkungan yaitu di surga. Ketika manusia dalam bentuk Nabi Adam disuir oleh Allah dari surga karena suatu kesalahan, tak henti-hentinya Nabi Adam menyesal, menangis, dan merasakan kesalahan dan kekeliruan atas suatu perbuatan yang telah ia lakukan. Bahkan ia pun memohon untuk bisa kembali dan rindu akan nikmat surga yang telah disiapkan oleh Allah swt. Maka, bertaubat, menyesali suatu kesalahan sedalam-dalamnya, berintropeksi, pelan-pelan belajar kembali mengenal hidup di lingkungan yang baru yaitu bumi. Belajar dan bertahan hidup di lingkungan baru, beradaptasi dengan cuaca dan keadaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya ketika masih berada di surga. Hatinya diuji oleh Allah, apakah ia akan menjadi manusia yang putus asa atau sebaliknya, kuat dan tangguh. Sepanjang hidup ia harus belajar, belajar, belajar, tiada henti. Utlubul ilmi minal mahdi ilal lahdi, tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai (menjelang) liang lahat.
Ketika berpisah dengan Siti Hawa, Nabi Adampun rindu dan ingin bertemu kembali, segala upaya yang berdarah-darah dilakukan, Nabi Adampun terus mencari Hawa, istrinya dengan penuh ketabahan hati dan doa serta linangan air mata yang bertahun-tahun baru bisa dipertemukan kembali oleh Allah. Betapa bahagianya sepasang manusia yang bertemu kembali. Bereuni kembali dan membangun mimpi-mimpi kembali, membangun ide-ide baru dengan semangat hidup yang terus menyala-nyala. Beranak-pinak menjadi manusia dengan ras yang berbeda-beda hingga saat ini.
Dari sedikit uraian sejarah di atas menjadi inspirasi bagi kita dalam memaknai pertemuan kembali yang sekarang orang banyak menyebutnya reuni, bertemu kembali setelah berpisah dari keluarga, sahabat, teman sejawat, dengan rentang waktu beberapa hari, bulan, bahkan tahun. Ada rasa rindu dan kangen untuk bisa bercengkerama kembali, membangun mimpi-mimpi kembali, membangun harapan-harapan yang belum tersampaikan, bertukar ide dan pendapat dengan indah dan saling melengkapi, bertegur sapa dengan akrab dan familiar, tersenyum dan tertawa bersama, bahkan saling berbagi, bermain, minum dan makan bersama-sama kembali dengan tiada sekat lagi, meski status telah membedakan. Membangun kembali tali silaturrahmi yang telah putus karena faktor kesibukan masing-masing. Tak jarang mereka memaknai reuni dengan acara-acara yang lebih besar, membentuk panitia, diselingi acara-acara seperti pengajian, makan-makan, pentas musik, bermain sepak bola, bermain badminton, dan entah apa lagi, sekarang makna reuni sudah banyak diselingi dengan hal-hal yang kompleks sesuai dengan kebutuhan manusia yang terus berkembang.
Itu hanya gambaran secara umum tentang reuni. Mungkin tak terlalu penting buat teman-teman, karena terlalu ribet, sok inteleklah, atau sok-sokan, intinya mau reuni ya, ayo, tak usah ribet-ribet untuk buat tulisan atau gambar dan sebagainya, toh arti reuni bagaimanapun juga selalu sama meski dikemas dalam bentuk yang berbeda-beda, yaitu pertemuan kembali. Saya juga ikut larut dalam ajang reuni dengan teman-teman yang dulu pernah membangun mimpi dan harapan. Meski mimpi-mimpi itu belum juga kesampaian, entah kapan akan tersampaikan? Meski mimpi itu tersampaikan atau tidak hasilnya juga relatif. Mimpi-mimpi itu adalah untuk bisa menjadi pemain sepak bola. Mimpi bisa bermain sepak bola secara pprofesional. Setiap hari berlatih dengan keras, menjaga kondisi tubuh, istirahat dengan teratur, tidak tidur di atas jam sembilan malam, pantangan makan ini dan itu, bertanding dengan semangat pantang menyerah dan harus menang, membeli sepatu bola baru, membeli bola baru, memakai kaos-kaos klub favorit, berdebat saling mengunggulkan bintang favorit dan klub-klub favorit, bertaruh, bermain bertandang dengan mengumpulkan iuran-iuran secara mandiri, semua lengkap dengan susah dan senang yang menjadi kisah indah tersendiri. Dan semua itu sangat indah untuk dikenang dalam pikiran dan hati kita masing-masing.
Alhamdulillah mimpi dan keinginan untuk reuni dan bertemu kembali dikabulkan oleh Allah. Dikemas dengan pertandingan sepak bola. De javu mengingat masa-masa bermain bola bersama ketika usia kita masih muda, masih kuat berlari dengan kencang ketika masih muda, menendang bola dengan keras seperti ketika masih muda, menggocek bola dengan lihai dan lincah ketika masih muda, menangkap bola dengan tangkas ketika masih muda, mengontrol bola dengan lengket ketika masih muda, semua ingin mengukir yang indah dan kuat ketika masih muda, meski juga sangat susah untuk kita upayakan karena umur itu jujur seperti cinta sangat susah untuk kita sembunyikan, meski kita poles sebaik mungkin manusia tak kan bisa mengalahkan waktu yaitu umur, semakin tua semakin berkurang produktivitasnya manusia. Tak kan mungkin bisa kembali seperti kita muda, meski kita bisa melakukan reuni. Setidaknya kita masih bisa mengenang daripada tidak bisa mengenangnya. Bisa bertemu dan berkumpul dengan keterbatasan-keterabatasan yang ada pada diri kita masing-masing tanpa menutup-nutupi merupakan hikmah yang luar biasa bagi kita. Bisa tersenyum kembali, bertukar pikiran, tertawa, bercanda, dan tentu saja membangun ide-ide besar dan segar kembali. Ada banyak kesempatan untuk menata dan membangun kembali mimpi-mimpi yang belum tersampaikan. Mimpi tentang sepak bola yang kian redup di kampung tercinta, kecamatan Bangilan. Dulu selalu tiga besar dalam setiap pertandingan di kabupaten Tuban kini makin terpuruk dan terpuruk. Dan momen ini pas bertepatan dengan liburan hari raya dan ajang piala dunia 2018 di Russia. Mengenang kembali dengan ajang pertandingan persahabatan sepak bola sangatlah pas sebagai ajang silaturrahmi, berkomunikasi kembali melalui olahraga sepak bola bukanlah hal yang merugikan namun memberikan kesan positif dan membangkitkan semangat untuk terus berolahraga dan berprestasi. Terutama pada kalangan pemuda. Pemudalah yang harus berperan penting menjadi garda terdepan dalam berprestasi.
Tim Yunior Bangilan. Foto. Rohmat S.
Dan reuni pertandingan sepak bola dengan even persahabatan ini mendorong para pemain-pemain muda untuk lebih berlatih kembali, bermian kembali, aktif kembali dalam ajang sepak bola di kecamatan Bangilan yang kian redup. Meski pertandingan tidak resmi tapi cukup menarik. Ada nilai-nilai historis, dengan mengenang sejarah masa lalu untuk berbuat terbaik pada masa depan. Memperbaiki segala sesuatu untuk lebih baik dan lebih baik lagi jika tidak ingin terpuruk.
Ada juga banyak kesan dan pesan dari para senior yang dulu bergabung dengan Klub Putra Gelora Bangilan, Khoirul Huda, bahwa dengan adanya ajang persahabatan ini memberikan nilai baik dan prestasi yang lebih maju bagi sepak bola kecamatan Bangilan, terutama bagi pemain muda agar lebih termotivasi untuk menjadi pemain profesional, jika ada tekad yang kuat dalam hati pasti akan berhasil. Mudah-mudahan. Dan yang paling penting saling berkomunikasi dan menjaga kebersamaan. Tanpa kebersamaan yang kuat mustahil akan menjadi tim yang hebat dan kuat. Dari pemain muda juga sangat antusias, seperti kesan dan pesan yang telah disampaikan adik kita, Budi Pranoto, dengan digelarnya ajang reuni persahabatan ini menjadikan sumber inspirasi positif untuk terus maju dan berlatih kembali dengan serius. Malu dengan para senior yang sudah berusia tidak muda lagi tapi semangatnya untuk bertanding masih luar biasa.
Menunggu apa lagi? Ayo berlatihlah kembali dengan serius. Prestasi terbaik tidak datang dengan tiba-tiba tapi prestasi terbaik mampu kita raih dengan kerja keras dan semangat yang terus menyala-nyala. Sering-seringlah bertanding dari banyak pertandingan akan membiasakan mental bertanding kita kuat. Bravo teman-teman tim senior dan tim yunior. Selamat bertanding!.

Lapangan 17 Agustus Bangilan, 24 Juni 2018.
Rohmat Sholihin, penulis salah satu pemain reuni bola dan aktif dalam komunitas literasi Kali Kening Bangilan.






Label:

Selasa, 05 Juni 2018

Provokasi



Ia tersenyum kecut melihat bangunan yang menjualang tinggi di tengah sawah yang menghampar dengan padi menguning dan sebentar lagi siap untuk dipanen. Kedua matanya merah menyala menahan amarah yang menggelora. Sekejap dilihatnya bangunan itu bercat warna biru yang mengkilap dengan sinar matahari yang berhamburan. Di tengah-tengah bangunan dengan ukuran panjang 8 meter kali 7 meter, pipa air lima dim menancap persis di bagian bawah bangunan persegi yang menjulur tinggi itu. Bangunan penampung air bersih dari  program bantuan pemerintah dengan biaya kurang lebih 1 Milyar. Hati Kurmin masih memaki-maki melihat bangunan itu. Bangunan yang tak bersalah namun ingin dijadikan biang kemarahan. Karena setiap bulan ia harus terus mengeluarkan uang untuk membayar iuran air bersih sedangkan cadangan air untuk musim kemarau sangatlah susah. Mengandalkan air sungai sudah tak mungkin karena airnya juga ikut mengering. Sumur-sumur warga juga banyak yang telah habis. Ia menjadi gusar, dalam pikirannya bahwa air ini diambil dari bumi yang telah ia pijak kenapa harus susah-susah membayarnya setiap bulan. Dan uang yang telah dikeluarkan untuk membayar kebutuhan air bersih juga tidak sedikit. Ia semakin marah. Apalagi kini ia nunggak lima bulan belum bayar.
“Bangsat! Air disedot dari lahan kami tapi kenapa kami masih harus membayarnya setiap bulan?” Hati Kurmin masih mendesah marah. Ini kan air milik kami, milik warga semuanya. Aku harus berbuat sesuatu agar air yang kami ambil bisa gratis. Katanya negeri ini makmur tapi urusan air saja harus bayar.
“Ini hanya akal-akalan dari badan-badan wakil desa yang tak becus bekerja, kemana lagi uang-uang itu kalau bukan masuk ke saku-saku mereka, uh…mereka hanya pandai bersandiwara di depan kami, mengelabuhi kami dengan dalih program-program pemerintah, jebulnya mereka pembohong. Uang-uang pembayaran air dari kami hanya untuk di korup.” Pikiran Kurmin semakin jelalatan termainkan ambisi kemarahan.
“Aku harus mengajak mereka yang juga ikut dirugikan, Kang Karjo, Kang Sumintro, Kang Ramuno, dan Kang Hindarno. Mereka harus aku ajak bicara. Masalah ini tak boleh dibiarkan karena masalah ini adalah masalah hajat orang banyak. Tak kan ada kehidupan jika tak ada air. Air adalah kebutuhan pokok. Seharusnya air yang diambil dari tanah-tanah kami bisa dimanfaatkan oleh kami tanpa harus membayar setiap bulan hingga ratusan ribu rupiah. Hidup macam apa ini, heh!” Batin Kurmin.
Beberapa hari ini ia sibuk mondar-mandir ke rumah orang-orang yang bisa diajak untuk bergerak untuk mengompori masalah air yang telah dikelola oleh desa itu. Tak jarang ia juga sibuk nyerocos di warung-warung kopi yang ada di sekitar lingkungannya. Memperjuangkan keinginan di warung kopi masih cara yang sangat efektif, ia lihai memainkan kata-kata kepada banyak orang yang telah bergumul di warung kopi, warung kopi adalah ruang balairung kawula alit yang membicarakan mimpi-mimpi mereka. Mulai hal-hal yang penting hingga hal-hal yang kurang penting. Warung kopi rumah kedua setelah rumahnya sendiri. Bahkan bisa menjadi rumah utama, karena tanpa ke warung kopi hidup tak kan tenang.
“Tarif air dari desa semakin menjulang tinggi ya, Kang.” Pancingnya dengan tenang.
“Iya, Kang Kurmin. Sekarang bayar air paling sedikit 150ribu.” Balas Yu Misih sambil buatkan kopi pelanggannya.
“Aku bulan kemarin membayar 200ribu.” Balas orang di pojok warung sambil menghisap rokok kreteknya dengan tenang.
“Itu 200ribu per bulan, berapa jika dikalikan 12 bulan, Kang? Bisa kurang lebih 2 juta 4 ratus ribu, Kang, per-tahun.” Kang Kurmin mencoba menambahi sesekali melirik orang tersebut.
“2 Juta 4 Ratus sudah bisa digunakan buat sumur bor.”
“Betul Kang.”
“Masak bayar air sampai sebesar itu. Sedangkan kita tidak tahu kemana larinya uang-uang itu mestinya kalau dikelola desa juga harus transparan toh hingga sampai detik ini juga belum ada laporannya.” Bicara Kurmin lagi.
“Baiknya kau bisa tanya Pak Inggi, Kang.” Timpal yang lain.
“Apa harus begitu? Kenapa pihak desa tidak langsung melaporkan setiap keuangan yang telah digunakan tanpa kita minta, kita ini kan sudah jelas sebagai warganya dan tidak perlu harus bertanya, mereka itu sudah dididik secara propesional toh, Kang.” Kurmin menjawab lagi dengan ketus. Rokoknya disulut lalu dihembuskan asapnya dengan lantang ke udara. Ia menggumam seperti ahli teori konspirasi terkemuka. “Orang-orang ini pasti bisa aku gerakkan untuk mendongkel masalah air minum desa, bahwa seharusnya air yang telah diambil oleh warga itu harus gratis kalau tidak tarifnya bisa diturunkan lebih kecil. Mau jadi apa desa ini jika mau minum saja susahnya setengah mati? Kita hidup bukan di negeri orang tapi kita hidup di tanah nenek moyang kita yang telah diwariskan untuk kesejahteraan kita, heh.” Batinnya.
“Kata Badan Perwakilan Desa, Pak Tarnu, membuat bangunan PAM Desa itu tidaklah mudah, Kang Kurmin, katanya butuh empat tahun mengajukan proposal bantuan kepada kabupaten. Karena dananya juga besar, 1 Milyar, Kang. Sudahlah Kang Kurmin kita terima saja bagaimana pengelolaannya kita serahkan pada desa.” Ujar Warno di sampingnya Kurmin.
“Loh, No, aku ini kan warga, aku punya hak untuk bersuara, wajar aku bertanya tentang masalah ini. Ini sudah zaman now, No. sudah zaman repormasi, keterbukaan dan demokrasi, No. Tak ada salahnya aku mengajak warga lainnya untuk menanyakan pada pemerintahan desa bagaimana solusi masalah air desa ini. Tak bisa dibiarkan jika tarifnya air sampai begitu mahalnya. Kalau usahaku ini berhasil, untuk menggratiskan tariff air, kau juga pasti akan ikut merasakan toh, ya kalau tidak gratis kan bisa diturunkan tarifnya, kita ini orang desa dan hanya mengandalkan ladang-ladang kita yang kebanyakan keringnya daripada panennya.” Kurmin masih menceramahi Warno di sebelahnya.
Dan usaha itu dilakukan oleh Kurmin setiap ia singgah di warung kopi, pertigaan, bahkan juga di pasar. Ia masih getol terus memperjuangkan keinginannya. Ia juga berani mendatangi ketua Badan Perwakilan Desa, Pak Tarnu menjelang tengah malam.
“Ada apa Min tengah malam mau mampir ke rumahku? Sepertinya ada urusan penting, Min?” Tanya Tarnu dengan tersenyum.
“Iya, Pak Tarnu, aku mau tanya masalah PAM Desa.”
“Kenapa dengan PAM Desa, Min?”
“Sejak PAM desa itu dibangun dan sejak digunakan oleh warga ternyata tidak memberikan kesejahteraan bahkan dengan tarifnya yang selangit membuat orang miskin, seperti kami ini megap-megap untuk membayarnya. Apa begitu aturannya? Bahkan sebelum ada PAM Desa ini untuk kebutuhan air gratis, Pak.” Kurmin langsung menghujam tanya pada ketua BPD itu.
“Loh kan sudah di sepakati bersama melalui rapat warga di Balai Desa bahwa tarifnya sudah segitu, Min.”
“Itu hanya sepakat warga yang hanya ikut-ikutan saja, Pak. Mereka hanya ikut bilang, setujuuuuu…mereka tak tahu dan tak mengira sampai akhirnya begini. Tarif yang mencekik.” Kurmin tak mau mengalah.
“Kenapa kau tak usul waktu pertemuan itu?” Tanya ketua BPD sedikit keras karena merasa kesal.
“Kami tak tahu cara menghitungnya tarif, Pak.”
“Kan sudah dijelaskan semuanya. Kalau meteran air itu semakin dipakai secara terus menerus untuk kebutuhan lainnya juga semakin mahal karena meteran itu berputar terus. Kau punya sapi di rumah kurang lebih empat, kau mandikan sapi-sapimu tiap hari tiga kali, pagi, siang, sore, setiap hari, otomatis tarifnya mahal. Namun, jika hanya untuk kebutuhan mandi, memasak, mencuci, saya kira tak kan mahal.” Ketua BPD itu menjelaskan dengan panjang lebar.
“Kalau begitu hadirnya PAM Desa hanya untuk mandi dan mencuci, ya Pak?”
“Ngawur kau, Min.”
“Katanya mahal, Pak.”
“Ya kita juga harus memikirkan cara menggunakan dengan hemat, Min.”
“Dulu pakai sumur resapan sendiri tak sampai begini, Pak BPD.”
Malam itu menjadi suasana sedikit gerah. Ketua BPD beradu mulut dengan Kurmin, warga desanya masalah PAM Desa. Kurmin sebagai warga desa merasa keberatan dengan tarif PAM Desa yang mahal. Ia merasa mewakili warga desa yang telah mengeluh tentang tarif itu. Sedangkan ketua BPD telah merapatkan bersama masyarakat di Balai Desa dengan hasil yang telah di sepakati, dan laporannya juga telah dikirimkan ke kantor kabupaten, sulit rasanya merubah kembali.
“Begini, Min, semua keluh kesahmu saya tampung dan besok akan saya rapatkan dengan pemerintah desa. Kau tak usah memanas-manasi ke warga lainnya. Beberapa hari hasilnya akan dibahas di Balai Desa, sekarang kau pulang saja.” Jawaban ketua BPD sepertinya tak mau panjang lebar menanggapi Kurmin.
“Saya tak memanas-manasi yang lain, Pak.”
“Syukurlah, dan sekarang pulanglah. Semua masih bisa dibicarakan.”
Kurmin tak menjawab dan langsung berpamitan.
“Ini pasti tak beres.” Bisik hati Kurmin.
Beberapa hari telah berlalu hasilnya tetap nihil. Pihak desa belum juga ada tanda-tanda menyelesaikan urusan PAM. Hati Kurmin marah. Ia merasa dipermainkan oleh Ketua BPD Tarnu. “Dasar, pejabat kampungan, bisanya hanya menunda-nunda, kupikir aku tidak bisa bertindak,” pikir Kurmin kesal. Ia pun segera berlalu dengan cekatan menembus malam menuju warung Yu Misih.
Esoknya desa menjadi gempar. PAM Desa telah menjadi macet, setetes pun air tak bisa keluar. Semua warga menjadi kelimpungan, mandi tak bisa, masak susah, seakan-akan desa menjadi kolaps. Kebutuhan air tak bisa diakses secara cepat. Semua aktifitas desa terhenti beberapa jam. Setelah diperiksa pipa PAM telah rusak.
Semua warga, tua, muda, laki-laki, perempuan, berduyun-duyun mendatangi kantor kepala desa. Mereka menuntut tanggung jawab atas PAM yang macet padahal mereka telah membayarnya. Mereka merasa dirugikan karena telah habis beberapa ratus ribu setiap bulan untuk membayarnya.
“Tenang, saudara-saudara, tenang, semua ini pasti akan bisa di atasi, tenang.” Pak Inggi dengan tergopoh-gopoh mencoba menenangkan massa yang semakin membludak.
“Tak bisa Pak, kita tak bisa tenang, sebelum PAM itu bisa beroperasi lagi, terus kita mau minum, masak, pakai apa, Pak Inggi? Pakai air kencing sapi.” Teriak salah satu dari mereka dengan setengah emosi.
“Ya, Pak Inggi, sungai juga sudah mengering, sumur-sumur kami juga sudah tak berair. Lantas kami harus bagaimana?” Protes warga.
“Kembalikan uang kami. Kembalikan uang kami. Kembalikan uang kami sekarang juga!” Teriak-teriak mereka sambil bergandengan tangan dan lunjak-lunjak persis mahasiswa demo di depan gedung DPR.
Dari kejauhan mobil patroli Polisi meraung-raung dan mendekat. Dengan senjata lengkap beberapa personil itupun ingin segera membubarkan massa. Tidak semudah itu. Massa semakin brutal. Kurmin tampil di depan dengan berapi-api ia berorasi, membakar massa tiada henti, “bahwa bumi dan kekayaan air adalah milik negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan seenaknya kita mengelola untuk kebutuhan pribadi saja. Sudah sepatutnya harga air diturunkan semurah-murahnya, kalau bisa gratis.” Orasinya.
Tepuk tangan dari warga semakin bergemuruh dan membuncah ke seluruh ruangan kantor kepala desa. Pak Inggi semakin ciut, pucat dan panik. Sedangkan kepala BPD tak berkedip terus memandang Kurmin yang masih berorasi. Dalam pikiran Pak Tarnu ada indikasi bahwa otak dalang semua ini adalah Kurmin meski ia belum berani menuduh. Akan tetapi dari geliat Kurmin yang berapi-api jelas ada maunya. Tak mungkin tak ada asap jika tak ada api, tak kan mungkin tak ada reaksi jika tak ada aksi.
Setelah beberapa hari kejadian itu, Kurmin pun ditangkap paksa oleh Polisi sewaktu minum kopi di warung Yu Misih. Dari data yang ditemukan Pak Tarnu bahwa Kurmin telah menunggak pembayarannya sampai lima bulan, ia merasa keberatan untuk membayarnya. Lalu memprovokasi warga lainnya.
Kurmin tak bisa berkutik, ia pun rela mendekam dalam penjara. Namun , dari kejadian itu, Pak Inggi segera menurunkan tarif air agar tidak membuat kericuhan berikutnya. Ada aksi tentu saja ada reaksi. Meski Kurmin telah ditangkap dan mendekam dalam penjara tapi aksinya memang luar biasa. Tak pernah takut apa yang terjadi apalagi dengan bayangan yang belum terjadi. Hasilnya harus ia bayar dengan mahal.


Bangilan, Maret 2018.
Rohmat S.   
Aktif di Komunitas Kali Kening   


Label: