Senin, 25 Juni 2018

Reuni Bola


Tim Senior Bangilan Foto. Rohmat S.
Setinggi elang terbang tak kan pernah lupa sarangnya. Sejauh perahu berlayar tak kan lupa dengan daratan. Sejauh orang merantau tak kan lupa kampung halaman. Seberapa lama orang berpisah tak kan lupa untuk bertemu kembali, meski menyimpan dendam kesumat sekalipun setitik noda rasa rindu dalam hati pasti ingin kembali untuk bertemu. Itulah pentingnya makna bertemu kembali dengan orang tua, sanak keluarga, sahabat, dan orang-orang sekitar yang dulu pernah bertegur sapa, berbincang, apalagi pernah membangun mimpi bersama, bercanda dan tertawa bersama.
Dan pada dasarnya setiap manusia selalu menyimpan rasa rindu, ini manusiawi. Tak ada manusia yang tidak punya rindu. Bahkan setanpun juga diciptakan oleh Allah juga lengkap dengan rasa rindu, tak henti-hentinya ia selalu menggoda anak manusia. Yang dulu pernah hidup satu lingkungan yaitu di surga. Ketika manusia dalam bentuk Nabi Adam disuir oleh Allah dari surga karena suatu kesalahan, tak henti-hentinya Nabi Adam menyesal, menangis, dan merasakan kesalahan dan kekeliruan atas suatu perbuatan yang telah ia lakukan. Bahkan ia pun memohon untuk bisa kembali dan rindu akan nikmat surga yang telah disiapkan oleh Allah swt. Maka, bertaubat, menyesali suatu kesalahan sedalam-dalamnya, berintropeksi, pelan-pelan belajar kembali mengenal hidup di lingkungan yang baru yaitu bumi. Belajar dan bertahan hidup di lingkungan baru, beradaptasi dengan cuaca dan keadaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya ketika masih berada di surga. Hatinya diuji oleh Allah, apakah ia akan menjadi manusia yang putus asa atau sebaliknya, kuat dan tangguh. Sepanjang hidup ia harus belajar, belajar, belajar, tiada henti. Utlubul ilmi minal mahdi ilal lahdi, tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai (menjelang) liang lahat.
Ketika berpisah dengan Siti Hawa, Nabi Adampun rindu dan ingin bertemu kembali, segala upaya yang berdarah-darah dilakukan, Nabi Adampun terus mencari Hawa, istrinya dengan penuh ketabahan hati dan doa serta linangan air mata yang bertahun-tahun baru bisa dipertemukan kembali oleh Allah. Betapa bahagianya sepasang manusia yang bertemu kembali. Bereuni kembali dan membangun mimpi-mimpi kembali, membangun ide-ide baru dengan semangat hidup yang terus menyala-nyala. Beranak-pinak menjadi manusia dengan ras yang berbeda-beda hingga saat ini.
Dari sedikit uraian sejarah di atas menjadi inspirasi bagi kita dalam memaknai pertemuan kembali yang sekarang orang banyak menyebutnya reuni, bertemu kembali setelah berpisah dari keluarga, sahabat, teman sejawat, dengan rentang waktu beberapa hari, bulan, bahkan tahun. Ada rasa rindu dan kangen untuk bisa bercengkerama kembali, membangun mimpi-mimpi kembali, membangun harapan-harapan yang belum tersampaikan, bertukar ide dan pendapat dengan indah dan saling melengkapi, bertegur sapa dengan akrab dan familiar, tersenyum dan tertawa bersama, bahkan saling berbagi, bermain, minum dan makan bersama-sama kembali dengan tiada sekat lagi, meski status telah membedakan. Membangun kembali tali silaturrahmi yang telah putus karena faktor kesibukan masing-masing. Tak jarang mereka memaknai reuni dengan acara-acara yang lebih besar, membentuk panitia, diselingi acara-acara seperti pengajian, makan-makan, pentas musik, bermain sepak bola, bermain badminton, dan entah apa lagi, sekarang makna reuni sudah banyak diselingi dengan hal-hal yang kompleks sesuai dengan kebutuhan manusia yang terus berkembang.
Itu hanya gambaran secara umum tentang reuni. Mungkin tak terlalu penting buat teman-teman, karena terlalu ribet, sok inteleklah, atau sok-sokan, intinya mau reuni ya, ayo, tak usah ribet-ribet untuk buat tulisan atau gambar dan sebagainya, toh arti reuni bagaimanapun juga selalu sama meski dikemas dalam bentuk yang berbeda-beda, yaitu pertemuan kembali. Saya juga ikut larut dalam ajang reuni dengan teman-teman yang dulu pernah membangun mimpi dan harapan. Meski mimpi-mimpi itu belum juga kesampaian, entah kapan akan tersampaikan? Meski mimpi itu tersampaikan atau tidak hasilnya juga relatif. Mimpi-mimpi itu adalah untuk bisa menjadi pemain sepak bola. Mimpi bisa bermain sepak bola secara pprofesional. Setiap hari berlatih dengan keras, menjaga kondisi tubuh, istirahat dengan teratur, tidak tidur di atas jam sembilan malam, pantangan makan ini dan itu, bertanding dengan semangat pantang menyerah dan harus menang, membeli sepatu bola baru, membeli bola baru, memakai kaos-kaos klub favorit, berdebat saling mengunggulkan bintang favorit dan klub-klub favorit, bertaruh, bermain bertandang dengan mengumpulkan iuran-iuran secara mandiri, semua lengkap dengan susah dan senang yang menjadi kisah indah tersendiri. Dan semua itu sangat indah untuk dikenang dalam pikiran dan hati kita masing-masing.
Alhamdulillah mimpi dan keinginan untuk reuni dan bertemu kembali dikabulkan oleh Allah. Dikemas dengan pertandingan sepak bola. De javu mengingat masa-masa bermain bola bersama ketika usia kita masih muda, masih kuat berlari dengan kencang ketika masih muda, menendang bola dengan keras seperti ketika masih muda, menggocek bola dengan lihai dan lincah ketika masih muda, menangkap bola dengan tangkas ketika masih muda, mengontrol bola dengan lengket ketika masih muda, semua ingin mengukir yang indah dan kuat ketika masih muda, meski juga sangat susah untuk kita upayakan karena umur itu jujur seperti cinta sangat susah untuk kita sembunyikan, meski kita poles sebaik mungkin manusia tak kan bisa mengalahkan waktu yaitu umur, semakin tua semakin berkurang produktivitasnya manusia. Tak kan mungkin bisa kembali seperti kita muda, meski kita bisa melakukan reuni. Setidaknya kita masih bisa mengenang daripada tidak bisa mengenangnya. Bisa bertemu dan berkumpul dengan keterbatasan-keterabatasan yang ada pada diri kita masing-masing tanpa menutup-nutupi merupakan hikmah yang luar biasa bagi kita. Bisa tersenyum kembali, bertukar pikiran, tertawa, bercanda, dan tentu saja membangun ide-ide besar dan segar kembali. Ada banyak kesempatan untuk menata dan membangun kembali mimpi-mimpi yang belum tersampaikan. Mimpi tentang sepak bola yang kian redup di kampung tercinta, kecamatan Bangilan. Dulu selalu tiga besar dalam setiap pertandingan di kabupaten Tuban kini makin terpuruk dan terpuruk. Dan momen ini pas bertepatan dengan liburan hari raya dan ajang piala dunia 2018 di Russia. Mengenang kembali dengan ajang pertandingan persahabatan sepak bola sangatlah pas sebagai ajang silaturrahmi, berkomunikasi kembali melalui olahraga sepak bola bukanlah hal yang merugikan namun memberikan kesan positif dan membangkitkan semangat untuk terus berolahraga dan berprestasi. Terutama pada kalangan pemuda. Pemudalah yang harus berperan penting menjadi garda terdepan dalam berprestasi.
Tim Yunior Bangilan. Foto. Rohmat S.
Dan reuni pertandingan sepak bola dengan even persahabatan ini mendorong para pemain-pemain muda untuk lebih berlatih kembali, bermian kembali, aktif kembali dalam ajang sepak bola di kecamatan Bangilan yang kian redup. Meski pertandingan tidak resmi tapi cukup menarik. Ada nilai-nilai historis, dengan mengenang sejarah masa lalu untuk berbuat terbaik pada masa depan. Memperbaiki segala sesuatu untuk lebih baik dan lebih baik lagi jika tidak ingin terpuruk.
Ada juga banyak kesan dan pesan dari para senior yang dulu bergabung dengan Klub Putra Gelora Bangilan, Khoirul Huda, bahwa dengan adanya ajang persahabatan ini memberikan nilai baik dan prestasi yang lebih maju bagi sepak bola kecamatan Bangilan, terutama bagi pemain muda agar lebih termotivasi untuk menjadi pemain profesional, jika ada tekad yang kuat dalam hati pasti akan berhasil. Mudah-mudahan. Dan yang paling penting saling berkomunikasi dan menjaga kebersamaan. Tanpa kebersamaan yang kuat mustahil akan menjadi tim yang hebat dan kuat. Dari pemain muda juga sangat antusias, seperti kesan dan pesan yang telah disampaikan adik kita, Budi Pranoto, dengan digelarnya ajang reuni persahabatan ini menjadikan sumber inspirasi positif untuk terus maju dan berlatih kembali dengan serius. Malu dengan para senior yang sudah berusia tidak muda lagi tapi semangatnya untuk bertanding masih luar biasa.
Menunggu apa lagi? Ayo berlatihlah kembali dengan serius. Prestasi terbaik tidak datang dengan tiba-tiba tapi prestasi terbaik mampu kita raih dengan kerja keras dan semangat yang terus menyala-nyala. Sering-seringlah bertanding dari banyak pertandingan akan membiasakan mental bertanding kita kuat. Bravo teman-teman tim senior dan tim yunior. Selamat bertanding!.

Lapangan 17 Agustus Bangilan, 24 Juni 2018.
Rohmat Sholihin, penulis salah satu pemain reuni bola dan aktif dalam komunitas literasi Kali Kening Bangilan.






Label:

Selasa, 05 Juni 2018

Provokasi



Ia tersenyum kecut melihat bangunan yang menjualang tinggi di tengah sawah yang menghampar dengan padi menguning dan sebentar lagi siap untuk dipanen. Kedua matanya merah menyala menahan amarah yang menggelora. Sekejap dilihatnya bangunan itu bercat warna biru yang mengkilap dengan sinar matahari yang berhamburan. Di tengah-tengah bangunan dengan ukuran panjang 8 meter kali 7 meter, pipa air lima dim menancap persis di bagian bawah bangunan persegi yang menjulur tinggi itu. Bangunan penampung air bersih dari  program bantuan pemerintah dengan biaya kurang lebih 1 Milyar. Hati Kurmin masih memaki-maki melihat bangunan itu. Bangunan yang tak bersalah namun ingin dijadikan biang kemarahan. Karena setiap bulan ia harus terus mengeluarkan uang untuk membayar iuran air bersih sedangkan cadangan air untuk musim kemarau sangatlah susah. Mengandalkan air sungai sudah tak mungkin karena airnya juga ikut mengering. Sumur-sumur warga juga banyak yang telah habis. Ia menjadi gusar, dalam pikirannya bahwa air ini diambil dari bumi yang telah ia pijak kenapa harus susah-susah membayarnya setiap bulan. Dan uang yang telah dikeluarkan untuk membayar kebutuhan air bersih juga tidak sedikit. Ia semakin marah. Apalagi kini ia nunggak lima bulan belum bayar.
“Bangsat! Air disedot dari lahan kami tapi kenapa kami masih harus membayarnya setiap bulan?” Hati Kurmin masih mendesah marah. Ini kan air milik kami, milik warga semuanya. Aku harus berbuat sesuatu agar air yang kami ambil bisa gratis. Katanya negeri ini makmur tapi urusan air saja harus bayar.
“Ini hanya akal-akalan dari badan-badan wakil desa yang tak becus bekerja, kemana lagi uang-uang itu kalau bukan masuk ke saku-saku mereka, uh…mereka hanya pandai bersandiwara di depan kami, mengelabuhi kami dengan dalih program-program pemerintah, jebulnya mereka pembohong. Uang-uang pembayaran air dari kami hanya untuk di korup.” Pikiran Kurmin semakin jelalatan termainkan ambisi kemarahan.
“Aku harus mengajak mereka yang juga ikut dirugikan, Kang Karjo, Kang Sumintro, Kang Ramuno, dan Kang Hindarno. Mereka harus aku ajak bicara. Masalah ini tak boleh dibiarkan karena masalah ini adalah masalah hajat orang banyak. Tak kan ada kehidupan jika tak ada air. Air adalah kebutuhan pokok. Seharusnya air yang diambil dari tanah-tanah kami bisa dimanfaatkan oleh kami tanpa harus membayar setiap bulan hingga ratusan ribu rupiah. Hidup macam apa ini, heh!” Batin Kurmin.
Beberapa hari ini ia sibuk mondar-mandir ke rumah orang-orang yang bisa diajak untuk bergerak untuk mengompori masalah air yang telah dikelola oleh desa itu. Tak jarang ia juga sibuk nyerocos di warung-warung kopi yang ada di sekitar lingkungannya. Memperjuangkan keinginan di warung kopi masih cara yang sangat efektif, ia lihai memainkan kata-kata kepada banyak orang yang telah bergumul di warung kopi, warung kopi adalah ruang balairung kawula alit yang membicarakan mimpi-mimpi mereka. Mulai hal-hal yang penting hingga hal-hal yang kurang penting. Warung kopi rumah kedua setelah rumahnya sendiri. Bahkan bisa menjadi rumah utama, karena tanpa ke warung kopi hidup tak kan tenang.
“Tarif air dari desa semakin menjulang tinggi ya, Kang.” Pancingnya dengan tenang.
“Iya, Kang Kurmin. Sekarang bayar air paling sedikit 150ribu.” Balas Yu Misih sambil buatkan kopi pelanggannya.
“Aku bulan kemarin membayar 200ribu.” Balas orang di pojok warung sambil menghisap rokok kreteknya dengan tenang.
“Itu 200ribu per bulan, berapa jika dikalikan 12 bulan, Kang? Bisa kurang lebih 2 juta 4 ratus ribu, Kang, per-tahun.” Kang Kurmin mencoba menambahi sesekali melirik orang tersebut.
“2 Juta 4 Ratus sudah bisa digunakan buat sumur bor.”
“Betul Kang.”
“Masak bayar air sampai sebesar itu. Sedangkan kita tidak tahu kemana larinya uang-uang itu mestinya kalau dikelola desa juga harus transparan toh hingga sampai detik ini juga belum ada laporannya.” Bicara Kurmin lagi.
“Baiknya kau bisa tanya Pak Inggi, Kang.” Timpal yang lain.
“Apa harus begitu? Kenapa pihak desa tidak langsung melaporkan setiap keuangan yang telah digunakan tanpa kita minta, kita ini kan sudah jelas sebagai warganya dan tidak perlu harus bertanya, mereka itu sudah dididik secara propesional toh, Kang.” Kurmin menjawab lagi dengan ketus. Rokoknya disulut lalu dihembuskan asapnya dengan lantang ke udara. Ia menggumam seperti ahli teori konspirasi terkemuka. “Orang-orang ini pasti bisa aku gerakkan untuk mendongkel masalah air minum desa, bahwa seharusnya air yang telah diambil oleh warga itu harus gratis kalau tidak tarifnya bisa diturunkan lebih kecil. Mau jadi apa desa ini jika mau minum saja susahnya setengah mati? Kita hidup bukan di negeri orang tapi kita hidup di tanah nenek moyang kita yang telah diwariskan untuk kesejahteraan kita, heh.” Batinnya.
“Kata Badan Perwakilan Desa, Pak Tarnu, membuat bangunan PAM Desa itu tidaklah mudah, Kang Kurmin, katanya butuh empat tahun mengajukan proposal bantuan kepada kabupaten. Karena dananya juga besar, 1 Milyar, Kang. Sudahlah Kang Kurmin kita terima saja bagaimana pengelolaannya kita serahkan pada desa.” Ujar Warno di sampingnya Kurmin.
“Loh, No, aku ini kan warga, aku punya hak untuk bersuara, wajar aku bertanya tentang masalah ini. Ini sudah zaman now, No. sudah zaman repormasi, keterbukaan dan demokrasi, No. Tak ada salahnya aku mengajak warga lainnya untuk menanyakan pada pemerintahan desa bagaimana solusi masalah air desa ini. Tak bisa dibiarkan jika tarifnya air sampai begitu mahalnya. Kalau usahaku ini berhasil, untuk menggratiskan tariff air, kau juga pasti akan ikut merasakan toh, ya kalau tidak gratis kan bisa diturunkan tarifnya, kita ini orang desa dan hanya mengandalkan ladang-ladang kita yang kebanyakan keringnya daripada panennya.” Kurmin masih menceramahi Warno di sebelahnya.
Dan usaha itu dilakukan oleh Kurmin setiap ia singgah di warung kopi, pertigaan, bahkan juga di pasar. Ia masih getol terus memperjuangkan keinginannya. Ia juga berani mendatangi ketua Badan Perwakilan Desa, Pak Tarnu menjelang tengah malam.
“Ada apa Min tengah malam mau mampir ke rumahku? Sepertinya ada urusan penting, Min?” Tanya Tarnu dengan tersenyum.
“Iya, Pak Tarnu, aku mau tanya masalah PAM Desa.”
“Kenapa dengan PAM Desa, Min?”
“Sejak PAM desa itu dibangun dan sejak digunakan oleh warga ternyata tidak memberikan kesejahteraan bahkan dengan tarifnya yang selangit membuat orang miskin, seperti kami ini megap-megap untuk membayarnya. Apa begitu aturannya? Bahkan sebelum ada PAM Desa ini untuk kebutuhan air gratis, Pak.” Kurmin langsung menghujam tanya pada ketua BPD itu.
“Loh kan sudah di sepakati bersama melalui rapat warga di Balai Desa bahwa tarifnya sudah segitu, Min.”
“Itu hanya sepakat warga yang hanya ikut-ikutan saja, Pak. Mereka hanya ikut bilang, setujuuuuu…mereka tak tahu dan tak mengira sampai akhirnya begini. Tarif yang mencekik.” Kurmin tak mau mengalah.
“Kenapa kau tak usul waktu pertemuan itu?” Tanya ketua BPD sedikit keras karena merasa kesal.
“Kami tak tahu cara menghitungnya tarif, Pak.”
“Kan sudah dijelaskan semuanya. Kalau meteran air itu semakin dipakai secara terus menerus untuk kebutuhan lainnya juga semakin mahal karena meteran itu berputar terus. Kau punya sapi di rumah kurang lebih empat, kau mandikan sapi-sapimu tiap hari tiga kali, pagi, siang, sore, setiap hari, otomatis tarifnya mahal. Namun, jika hanya untuk kebutuhan mandi, memasak, mencuci, saya kira tak kan mahal.” Ketua BPD itu menjelaskan dengan panjang lebar.
“Kalau begitu hadirnya PAM Desa hanya untuk mandi dan mencuci, ya Pak?”
“Ngawur kau, Min.”
“Katanya mahal, Pak.”
“Ya kita juga harus memikirkan cara menggunakan dengan hemat, Min.”
“Dulu pakai sumur resapan sendiri tak sampai begini, Pak BPD.”
Malam itu menjadi suasana sedikit gerah. Ketua BPD beradu mulut dengan Kurmin, warga desanya masalah PAM Desa. Kurmin sebagai warga desa merasa keberatan dengan tarif PAM Desa yang mahal. Ia merasa mewakili warga desa yang telah mengeluh tentang tarif itu. Sedangkan ketua BPD telah merapatkan bersama masyarakat di Balai Desa dengan hasil yang telah di sepakati, dan laporannya juga telah dikirimkan ke kantor kabupaten, sulit rasanya merubah kembali.
“Begini, Min, semua keluh kesahmu saya tampung dan besok akan saya rapatkan dengan pemerintah desa. Kau tak usah memanas-manasi ke warga lainnya. Beberapa hari hasilnya akan dibahas di Balai Desa, sekarang kau pulang saja.” Jawaban ketua BPD sepertinya tak mau panjang lebar menanggapi Kurmin.
“Saya tak memanas-manasi yang lain, Pak.”
“Syukurlah, dan sekarang pulanglah. Semua masih bisa dibicarakan.”
Kurmin tak menjawab dan langsung berpamitan.
“Ini pasti tak beres.” Bisik hati Kurmin.
Beberapa hari telah berlalu hasilnya tetap nihil. Pihak desa belum juga ada tanda-tanda menyelesaikan urusan PAM. Hati Kurmin marah. Ia merasa dipermainkan oleh Ketua BPD Tarnu. “Dasar, pejabat kampungan, bisanya hanya menunda-nunda, kupikir aku tidak bisa bertindak,” pikir Kurmin kesal. Ia pun segera berlalu dengan cekatan menembus malam menuju warung Yu Misih.
Esoknya desa menjadi gempar. PAM Desa telah menjadi macet, setetes pun air tak bisa keluar. Semua warga menjadi kelimpungan, mandi tak bisa, masak susah, seakan-akan desa menjadi kolaps. Kebutuhan air tak bisa diakses secara cepat. Semua aktifitas desa terhenti beberapa jam. Setelah diperiksa pipa PAM telah rusak.
Semua warga, tua, muda, laki-laki, perempuan, berduyun-duyun mendatangi kantor kepala desa. Mereka menuntut tanggung jawab atas PAM yang macet padahal mereka telah membayarnya. Mereka merasa dirugikan karena telah habis beberapa ratus ribu setiap bulan untuk membayarnya.
“Tenang, saudara-saudara, tenang, semua ini pasti akan bisa di atasi, tenang.” Pak Inggi dengan tergopoh-gopoh mencoba menenangkan massa yang semakin membludak.
“Tak bisa Pak, kita tak bisa tenang, sebelum PAM itu bisa beroperasi lagi, terus kita mau minum, masak, pakai apa, Pak Inggi? Pakai air kencing sapi.” Teriak salah satu dari mereka dengan setengah emosi.
“Ya, Pak Inggi, sungai juga sudah mengering, sumur-sumur kami juga sudah tak berair. Lantas kami harus bagaimana?” Protes warga.
“Kembalikan uang kami. Kembalikan uang kami. Kembalikan uang kami sekarang juga!” Teriak-teriak mereka sambil bergandengan tangan dan lunjak-lunjak persis mahasiswa demo di depan gedung DPR.
Dari kejauhan mobil patroli Polisi meraung-raung dan mendekat. Dengan senjata lengkap beberapa personil itupun ingin segera membubarkan massa. Tidak semudah itu. Massa semakin brutal. Kurmin tampil di depan dengan berapi-api ia berorasi, membakar massa tiada henti, “bahwa bumi dan kekayaan air adalah milik negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan seenaknya kita mengelola untuk kebutuhan pribadi saja. Sudah sepatutnya harga air diturunkan semurah-murahnya, kalau bisa gratis.” Orasinya.
Tepuk tangan dari warga semakin bergemuruh dan membuncah ke seluruh ruangan kantor kepala desa. Pak Inggi semakin ciut, pucat dan panik. Sedangkan kepala BPD tak berkedip terus memandang Kurmin yang masih berorasi. Dalam pikiran Pak Tarnu ada indikasi bahwa otak dalang semua ini adalah Kurmin meski ia belum berani menuduh. Akan tetapi dari geliat Kurmin yang berapi-api jelas ada maunya. Tak mungkin tak ada asap jika tak ada api, tak kan mungkin tak ada reaksi jika tak ada aksi.
Setelah beberapa hari kejadian itu, Kurmin pun ditangkap paksa oleh Polisi sewaktu minum kopi di warung Yu Misih. Dari data yang ditemukan Pak Tarnu bahwa Kurmin telah menunggak pembayarannya sampai lima bulan, ia merasa keberatan untuk membayarnya. Lalu memprovokasi warga lainnya.
Kurmin tak bisa berkutik, ia pun rela mendekam dalam penjara. Namun , dari kejadian itu, Pak Inggi segera menurunkan tarif air agar tidak membuat kericuhan berikutnya. Ada aksi tentu saja ada reaksi. Meski Kurmin telah ditangkap dan mendekam dalam penjara tapi aksinya memang luar biasa. Tak pernah takut apa yang terjadi apalagi dengan bayangan yang belum terjadi. Hasilnya harus ia bayar dengan mahal.


Bangilan, Maret 2018.
Rohmat S.   
Aktif di Komunitas Kali Kening   


Label: