Jembatan Kereta Api Tua
https://www.google.co.id/search?q=jembatan+kereta+api+tua+ambruk&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjk0L-y4KPbAhWYf30KHW6aDJIQ_AUICigB&biw=1366&bih=637#imgrc=uelTm9ftOtwGQM:
“Braaaaaakkkk…”
Gemuruh suara itu terdengar keras dan bumi menjadi bergetar. Waktu seakan
berhenti sejenak. Hening. Dan setelah itu suara jeritan dan kaki-kaki gedebukan
berlari mendekati jembatan kereta api tua yang telah ambruk. Ramai. Orang
berduyun-duyun mendekat mencoba tahu. Aku masih ingat tempat itu dulu adalah
tempat mangkal pelacur-pelacur tua. Menunggu lelaki yang kesepian lalu
membocengkannya dengan sepeda onthel dan berlalu dalam pekat malam. Dan entah
kemana dua anak manusia itu akan membuang hasrat? Sawah, kebun jagung atau
bahkan di bendungan-bendungan peninggalan Belanda yang sepi mampring.
Lebih parah
lagi jika bulan suci Ramadan tiba aku dan teman-teman sering mengganggunya
dengan menyulut petasan. Suaranya cetar-cetir membahana, membisingkan gendang
telinga. Mereka pun merasa terganggu, lalu marah-marah, kamipun berlari dengan
tawa cekikikan karena misi berhasil membuat mereka terganggu.
“Mak Ijah,
Mak Ijah…” Jerit perempuan montok dari pinggir sungai.
“Bagaimana
dia?” Penasaran perempuan montok itu masih terus melolong-lolong minta tolong
karena warungnya Mak Ijah yang di atas jembatan itu juga ikut tersungkur.
“Cepat,
tolonglah, Pak! Kasihan Mak Ijah. Ia sudah tua, tak kan mungkin bisa meloncat…”
Perempuan itu semakin histeris. Semua orang masih diam mematung seakan tak
percaya melihat jembatan kereta api tua yang kokoh itu bisa ambruk. Sesekali
kepala mereka melihat-lihat bangunan warung yang juga ikut tercebur ke sungai.
Piring, gelas, panci, puing-puing kayu menjadi berantakan dan jatuh ke sungai.
Mungkin batin mereka, “Mak Ijah, apa juga ikut jatuh ke sungai atau tertindih
besi-besi jembatan kereta api tua yang sudah ada sejak abad 18 di kampung ini.”
Meski mereka belum juga bergerak karena menunggu situasi lebih lanjut. Apakah
ada ambruk susulan?
Tak lama Si
Sidin tukang ambil air Mak Ijah itu tak sabar langsung meloncat dengan
kaki-kakinya yang lincah. Semua orang masih mematung. Dan perempuan montok
masih tetap histeris. Semua orang heran tentang kecekatan Sidin. Tak biasanya.
Apa ia mencari simpati pada perempuan montok itu? Yang jelas perempuan montok
yang menjerit-jerit histeris itu seperti rohnya warung Mak Ijah, semacam ikon,
penglaris, atau artisnya warung Mak Ijah yang telah dibangung sekitar tahun
90-an setelah beberapa tahun kereta tua jurusan Rembang-Bojonegoro itu berhenti
total, stasiunnya telah hilang, puing-puingnyapun sirna. Tuminah namanya, orang
lebih singkat memanggilnya Tum. Singkat, jelas, padat berisi seperti tubuhnya.
Banyak lelaki hidung belang kelojotan ketika dekat dengan Tum. Tak tahu
sebabnya? Makhluk Tuhan yang seksi atas nama Tum ini punya daya magis yang
tinggi dihadapan kaum Adam. Tak perduli lelaki yang telah matang atau lelaki
yang masih bau kencur jika memandang Tum rontoklah ia. Bahkan bisa bermimpi
basah sebagai tanda akil baligh laki-laki tiba lebih awal. Jika lelaki yang
telah berumur pasti ia tak kan tenang dalam batinnya. Bergejolak dan bergetar
seperti jembatan kereta api tua itu. Ambruk dan goyah kelelakiannya. Bahkan
rela menyerahkan keperjakaannya pada Tum. Ugh…Tum benar-benar idola seperti dalam
film Malena yang dibintangi Monica Belucci.
Sidin masih buas mencari
sela-sela untuk bisa masuk ke dalam warung Mak Ijah yang telah lungset itu.
“Mak Ijah,
Mak Ijah….” Teriaknya. Tak ada suara balasan.
Ia
meronta-ronta lagi mencari sela-sela dari puing-puing besi yang telah mengurung
warung Mak Ijah. Sesekali melirik pada wajah Tum meski dengan cara mencuri. Tum
masih sesenggukan dan meraung-raung tak terkendali. Lelaki yang melihatnya, Tum
semakin seksi ketika meraung-raung persis artis India. Bahkan enggan menolong
Mak Ijah yang tak tahu bagaimana nasibnya di dalam warung yang lungset itu? Lelaki-lelaki
itu lebih rebutan untuk menolong Tum, menghiburnya, membesar-besarkan hati Tum,
memegang pelan-pelan pundak Tum, bahkan memberi air minum Tum agar tidak
pingsan. Tum adalah anak Mak Ijah yang membantu kesibukan warungnya. Maklum, Mak Ijah sudah semakin tua dan siapa
lagi yang akan menggantikannya. Tum pernah bersuami namun gagal ditengah jalan.
Cerai. Dan belum punya anak. Ia berstatus janda. Tapi bukan sembarang janda,
tentu, menjadi barang rebutan lelaki buas yang ingin menjadi kekasih Tum. Janda
kembang ia menyandangnya. Siapa yang tidak tergoda dengan senyum Tum? Bisa-bisa
lelaki itu dipertanyakan status akan kelelakiannya. Jangan-jangan lelaki itu
tak tertarik dengan perempuan. Homo.
“Mak Ijah, Mak
Ijaaaaaaaaaaaaaah,…” Teriak Sidin semakin keras dan kesal karena orang-orang
lebih memilih menolong Tum daripada Mak Ijah. Masih tak ada sahutan dari dalam
warung itu. Maka dengan pelan-pelan, tubuh Sidin mulai berani masuk melalui
pintu depan yang telah mengkeret hingga tinggal separo lubangnya. Besi-besi tua
menjepit gubuk itu dengan kuat. Tubuh kurusnya mudah saja masuk ke dalam
warung. Ia melihat tubuh Mak Ijah terjepit meja warung yang terbuat dari kayu
waru. Tanganya bergerak-gerak minta tolong, matanya terbuka lebar-lebar menahan
sakit, dan mulutnya hanya bergerak tak bersuara, bisu, karena tenaganya telah
habis menahan sakit.
“Sabar, Mak
Ijah, kuatkan hatimu, aku akan menolongmu, sabar,….” Sidin mencoba menenangkan
Mak Ijah yang tak berdaya. Hanya kepalanya yang mengangguk pelan. Dan matanya
yang terus menatap Sidin dengan mengharap belas kasihan. Sidin pelan-pelan
mencari celah untuk membebaskan tubuh Mak Ijah dari himpitan meja. Sulit. Namun
ia tak putus asa. Ada harapan besar dalam pikirannya. Menolong Mak Ijah sama
juga menolong Tum. Maka ia begitu semangat untuk bisa menolong Mak Ijah karena
ia butuh perhatian Tum. Jika ingin menarik simpati seseorang maka dekatilah
keluarganya terlebih dahulu. Tum adalah janda cantik, punya banyak teman lelaki,
ia tinggal pilih lelaki mana yang ia sukai, jadi deh, tentu saja lelaki yang
mapan, punya pekerjaan, punya masa depan cerah. Sedangkan aku sebagai tukang
ambil air tak kan pernah sedikitpun dilirik oleh kedua matanya yang indah. Aku
harus bisa meraih hati Emaknya sebelum meraih hatinya. Ini kesempatan emas yang
tak boleh aku sia-siakan. Hatiku tak ingin sakit jika melihat warung Mak Ijah
yang penuh dengan para pelanggan dari lelaki yang tajir, punya uang, loyal,
begitu enak dan beraninya mereka menggoda Tum bahkan maaf mereka pun berani
membayar mahal Tum untuk sekedar menemani malam-malam yang sepi. Dan itu aku
lihat berapi kali Tum harus menemani mereka secara bergantian. Bergilir seperti
piala sepak bola tingkat RT. Hatiku sakit. Cinta yang aku pendam tak kan
mungkin tersampaikan kepada Tum karena aku hanya sebagai tukang ambil air. Bisa
menikmati secangkir kopi dari warung Mak Ijah saja hanya gratisan sebagai bonus
dari Mak Ijah. Karena faktor kasihan dan rasa ucapan terima kasih atas jasa
baik mau mengambil air untuk kebutuhan warung.
Melihat wajah
Tum setiap hari saja rasanya sudah nikmat yang tak tertahankan apalagi bisa
menjadi suaminya. Eit, maaf terlalu jauh kalau suami, ya, setidaknya teman
curhat, atau teman ngobrol saja, tak lebih dari itu. Wajar jika lelaki tajir
dan hidung belang berani membayar mahal demi tubuh Tum, berapa lelaki saja yang
telah takluk dengan Tum. Tak terhitung. Mobil-mobil mewah sering menjemput Tum
ke warung Mak Ijah dan berlalu begitu saja melewati malam. Tak tahu apa yang ia
kerjakan tapi…mereka adalah anak manusia yang telah berumur dan tentu saja
butuh akan hasrat cinta.
Dan warung
Mak Ijah menjadi terkenal mendadak ke seluruh penjuru mata angin karena adanya
Tum. Menjadi warung yang paling ramai dan laris di kotaku ini karena Tum. Warung
jembatan kereta api tua ini lebih terkenal dari pada jembatannya itu sendiri.
Mungkin sejarah kereta api tua yang sudah tak beroperasi belasan tahun ini akan
selalu diingat oleh masyarakat luas bukan karena kereta apinya tapi karena tubuh
Tum dan kecantikannya dengan warungnya yang berdiri diatas jembatan kereta api
tua. Seperti juga negara Amerika bisa terkenal karena ada Merlyn Monroe, Mesir
terkenal karena ada Cleopatra, Jepang terkenal karena ada Miyabi, dan kotaku
terkenal karena ada Tum.
“Praaaaakkk,…”
bunyi kayu yang telah dipatahkan oleh Sidin dengan kuat.
“Aaah,..pelan-pelan
Sid, tubuhku sakit.” Bisik Mak Ijah pelan hampir saja tidak terdengar.
“Maaf, Mak,
kayu ini memang harus aku patahkan agar tubuh Mak Ijah bisa aku angkat.”
“Baiklah,
pelan-pelan, Nak. Rasanya tubuhku sudah tak kuat, rasanya tulang belakangku ada
yang patah….”
“Tenang, Mak.
Kau harus kuat, tahan, Mak,..”
“Ah, Sid,
lebih baik aku mati saja,..”
“Ah, Mak, tak
boleh berkata begitu, kau harus bisa diselamatkan, kasihan Tum, hidup
sendirian.”
“Tak usah kau
hiarukan Tum!, dia tak kan kesepian kehilangan aku, karena,…” Mak Ijah tak
melanjutkan bicaranya, matanya merem-melek menahan sakit pada pinggulnya yang
masih tertindih meja kayu.
“Karena apa,
Mak?” Desak Sidin penasaran.
“Karena dia
telah menjadi bagian banyak lelaki dan hidupnya tak kan pernah merasakan sepi.”
Mak Ijah menjawab dengan terpaksa, kedua matanya terlihat sembab.
“Tapi Tum
adalah anakmu Mak.”
“Kata siapa?”
Mak Ijah menjawab dengan cepat meski dengan meringis kesakitan.
“Anak siapa?”
Sidin kaget dan menghentikan usahanya untuk mengangkat meja kayu.
“Ia aku ambil
dari tong sampah. Dan tak tahu siapa bapak ibunya. Aku besarkan seperti orokku
sendiri. Dan sekarang biarkan dia bebas melampiaskan dendamnya.”
“Dendam?”
“Ya, dendam
dengan hatinya sendiri, Sid. Ia telah dendam dengan keadaan ini. Ia kecewa
dengan masa lalunya yang melarat. Makan saja susah, harus mengemis dari rumah
ke rumah. Sungguh baginya Tuhan tidak adil dalam kehidupan ini, sekali melarat
tetap melarat. Sekali tertindas tetap tertindas. Ia telah melalui kehidupan
yang paling kelam, tubuhnya telah direnggut oleh lelaki yang telah tega berbuat
kurang ajar padanya saat tak berdaya karena kelaparan. Saat itu ia baru berumur
sepuluh tahun dan baru saja akil baligh. Sedangkan aku tak bisa berbuat apa-apa
karena telah diancam. Lelaki itu memberikan imbalan uang. Bergegaslah ia beli
makanan. Karena lapar lebih perkasa dari ancaman hukuman dosa.”
Sidin menarik
nafas panjang, mencoba merasakan kisah kelu Tum dan mak Ijah hingga terdampar
di kota ini. Kota yang telah memberikan ribuan harapan bahwa hidup sesungguhnya
tak layak hanya berpangku tangan. Hidup itu kejam dengan segala kisah yang
dibentuknya. Manusia bukan singa tapi manusia bisa berbuat lebih kejam dari
singa. Apa saja bisa dimakan meski sebangsanya.
“Tenang, Mak
Ijah, ayo gerakkan kakimu perlahan-lahan, Mak, meja kayu ini telah aku angkat.”
Mak Ijah hanya menggelengkan kepala. Ia putus asa. Sudah terlalu berat hidup
yang telah dijalaninya. Banyak segala kisah yang telah menghiasi hatinya, ia
adalah sosok perempuan yang kuat. Namun, tidak untuk hari ini. Ia tak berdaya
dengan tubuh tertindih mejanya sendiri.
“Aku tahu kau
menyukai Tum.”
Aku hanya
diam tak bicara.
“Maka sebelum
kau bertekad menyukai perempuan montok itu, kuatkan hatimu bahwa Tum lahir dari
sejarah kelam, bahkan paling kelam, agar kau tahu dan tidak menyesal seumur
hidup. Cinta itu terkadang sangat melelahkan, Sid.”
Aku tetap
diam saja dan mendengarkan cerita Mak Ijah. Ada gumpalan bara panas dalam
hatiku, rasanya Tuhan juga tidak adil terhadapku. Aku yang mencintai tapi orang
lain yang telah membeli cintanya. Semurah itukah cinta? Uang saja bisa
merengkuhnya dengan puas.
“Busyet…”
“Kenapa, Sid?
Marah? Kecewa?”
“Bukan, Mak,
aku cuma merasa kasihan.”
“Pada siapa?
Tum. Ia perempuan tangguh tak perlu kau kasihani. Ia bisa menaklukan apa saja
yang ingin ia taklukan termasuk kaum lelaki. Berapa lelaki saja yang tiap malam
ia taklukan?” Mak Ijah tersenyum sinis meski setelah itu meringis lagi
kesakitan, nafasnya tersengal-sengal seakan paru-parunya mau lepas.
“Oh, tapi
hati ini aneh, Mak. Sudah tahu ia begitu tapi segenggam daging dalam perutku
ini tak mau juga mengerti sedikitpun masih saja terus mengharapkannya. Padahal
Tum tak pernah merasakan itu. Tidak seperti apa yang aku rasakan ini.”
“Karena ia
asyik dengan dunianya, Sid. Ia hanya merasakan uang dan kenikmatan dekapan
lelaki yang terus mencumbuinya. Dan tentu saja ia makin segar dan montok.”
“Ah sudahlah,
Mak. Sekarang angkat tubuh Mak pelan-pelan, Mak harus kuat.”
“Rasanya
berat, Sid. Aku tak kuat, aku menyerah saja.”
“Tak boleh
begitu, Mak. Kau harus berusaha kuat. Kasihan Tum, Mak.”
“Berat, Sid.”
Dan orang-orang masih saja diam terpaku. Melihat aksi Sidin selanjutnya, apakah
berhasil ataukah hanya sia-sia saja. Raungan Tum masih selintas terdengar meski
tidak sehisteris awalnya. Tubuh montoknya masih saja menarik meski dalam
keadaan histeris. Tuhan menghadiahinya tubuh yang seksi. Namun, tak juga ia
tahu, tubuhnya masih saja diobral dengan lelaki yang butuh akan hasrat cinta.
Tak perduli dengan apa yang terjadi di kemudian hari, masa bodoh saja, ia
terlena dengan materi yang ia dapat dengan mudah. Ia benci dengan masa lalunya,
terlunta-lunta, tertindas, dan menderita. Dendam. Hidup hanya butuh kesenangan
bukan penderitaan. Ia telah mengubur semua kenangan-kenangan masa lalunya yang
suram. Kini, ia telah menjadi perempuan pujaan kaum lelaki tajir. Lelaki yang
hanya perduli pada hiburan semata. Sidin
masih sibuk mencari cara mengeluarkan Mak Ijah dari himpitan besi jembatan
kereta api tua.
“Sudahlah,
kenapa aku yang masih keki? Biarkan saja apa yang ia kerjakan. Dunia ini bebas
untuk manusia. Tak ada hak sedikitpun aku melarangnya.” Batin Sidin. Tangannya
kemudian menarik tubuh Mak Ijah yang tak berdaya dengan hati-hati.
“Aduh, sakit,
Sid.” Rintih Mak Ijah.
“Sabar, Mak,
aku pasti bisa.”
Dengan sabar
dan hati-hati tubuh Mak Ijah berhasil diselamatkan Sidin. Ada tulang bagian
belakang mengalami patah. Dan harus
beristirahat. Sidin menjadi pahlawan tragedi jembatan kereta api tua yang
roboh. Namanya menjadi harum di masyarakat.Tapi tidak dimata Tum. Ia tetap
lelaki kere. Tak punya pengharapan dan tak bisa diandalkan selain mengambil
air. Apa hebatnya? Tak ada. Tum tetaplah Tum. Dan bukan Tum jika tak bisa
mendapatkan gebetan baru setiap malam. Kupu-kupu memang indah, memandangnya
sesaat menari-nari dipelupuk mata, menghiasi dunia dan singgah pada indahnya
bunga-bunga. Namun jika kau dekati dan memegangnya ternyata tak seindah tubuhnya.
Jika tak tawar gatal-gatal pastinya. Apalagi kupu-kupu malam, indah bukan
buatan, dan Tum, ternyata tetap saja indah. Masih lihai memikat kumbang. Cantik
adalah keabadian? Bagi sang pemuja keindahan. Mungkin saja. Dan Sidin masih
saja takut dengan kecantikan Tum, semoga tidak lekas pudar. Sedikitpun ia belum
pernah merasakan hangat tubuhnya Tum meski banyak kumbang terus menghisapnya.
Kecantikan dan kemontokan Tum memang banyak membikin hati pupus. Tak terkecuali
pada Tum sendiri yang telah dititipi keindahan oleh Tuhan tak bisa menjaganya.
Ia telah mengobralnya ke semua lelaki yang telah membutuhkannya. Karena dendam
dengan masa lalunya. Kini ia tergolek lemas dengan luka dan penyakit yang telah
ia deritanya, sekejap para kumbang enggan menghampirinya. Perlahan-lahan ia
terbunuh sepi. Menyendiri dan entah kemana ia pergi? Tum, ternyata kau telah
menyelamatkanku dari amukan raga. Meski hatiku sesak untuk mengingatnya. Tum
adalah catatan penting kehidupan manusia meski telah keluar dari adatnya
manusia pada umumnya. Karena ia berani dan punya pilihan termasuk resiko kehidupan
yang ia derita. Sayang, kau telah pergi entah kemana? Tum, jembatan kereta api
tua itu telah ambruk bersama dirimu namun jejak-jejak kehidupan masih ada
terekam jelas dalam hati.
Bangilan, 10 Mei 2018.
Rohmat S
Label: cerpen