Minggu, 18 Februari 2018

“Apa Kabar Rinduku”



www. google. com
Rindu tak selamanya bisa mendayu-dayu. Rindu terkadang membuat hati teriris pilu bahkan histeris. Dan kau sangat tahu jika aku tertarik padamu lebih dari yang kau kira. Berapa kali aku harus dengan berani mengucapkan “cinta”? Dan berapa kali kau harus menjawab dengan berbasa-basi? Meski sejatinya cinta tak perlu untuk diucap berkali-kali kalau akhirnya harus kalah dengan suratan kisah dan takdir. Aku harus menyimpan kesabaran ketika aku kenal pertama kali denganmu. Hatiku tak sengaja tertegun, berdetak tak biasa seperti menyimpan bom waktu, tersiksa dan terkadang begitu resahnya ketika beberapa hari tidak melihat kau.
Semua orang tahu jika pertama kali merasakan demam asmara selalu begitu, namun aku tak sadar dan tidak mengerti dari ketidakmengertianku. Apa itu cinta? Dan apa itu kasmaran? Aku hanya mengerti jika saat ini hatiku semakin edan menyimpan beberapa senyummu. Rasanya tak kuasa meninggalkan jejak senyum manismu itu. Ya, aku hanya mengakui jika aku tertarik dengan senyummu itu. Senyum itu berhasil membuat hatiku bungkam seribu bahasa, tak berkutik untuk beranjak dan berdiri meninggalkan senyum dari perempuan sepertimu. Jangan ditanya cantik atau tidak, tak perlu. Cinta adalah cinta tak bisa ditafsirkan dengan segudang kata.  
Aku seperti orang kalah, pesimis bahkan enggan untuk segera melayangkan kabar ini padamu. Ada rasa malu, ragu, dan bimbang dengan kuat menyerangku. Aku tidak seperti lelaki sungguhan ketika berada didepanmu. Lebih tepatnya lelaki kaku yang mematung, mengangguk, diam, dan maaf, mau senyum saja bibir terasa penat. Dan kau pun tahu tentang semua itu. Kau bahkan sering mengingatkan dengan suaramu yang lembut yang tak kau buat-buat. Mengalun seperti suara malaikat.
“Biasa sajalah, jangan biasakan kau larut dengan perasaanmu!” Kau bicara dengan sekenanya.
“Maaf, aku juga tidak tahu tentang ini semua.”
“He..he…” Kau hanya tersenyum kecil yang menjengkelkan dan tentu saja dari senyummu seakan kau puas dan bahagia. Aku bisa menebaknya bahwa dalam hatimu ada jawaban: kau sedang terserang kasmaran. Sepertinya, baru pertama kali kau kena virus cinta.
Untungnya kau berhati baik. Sebagai perempuan yang kuanggap cantik, kau tidak punya sikap sombong, angkuh kepada yang lain, kau punya banyak teman, laki-laki dan juga perempuan. Dan sepertinya kau belum punya teman spesial, meski ini menurut perkiraanku karena doaku mengiyakan begitu. Hanya mendengar sekilas saja, kau sedang dekat dengan laki-laki lain. Hanya dekat belum ada ikatan status berpacaran.
“Kalau boleh tahu kau punya teman dekat?” Tanyaku suatu malam di depan beranda rumahmu yang mungil.
“He…he…ehm, kalau teman banyak. Tapi belum ada yang spesial, semua itu teman, tak lebih dari itu.” Jawabmu kali ini juga mengundang hatiku semakin berteriak, “yes”. Gemetar hatiku perlahan-lahan kian susut seperti orang melakukan program diet. Berkurang dari hari ke hari. Namun, resikonya tubuh mudah menjadi gemetar. Dan itu kualami ketika aku menyimpan perasaanku tentangmu. Jika aku tak sabar, ingin rasanya berlari menghindar dan sembunyi dibalik malam. Tapi sebagai lelaki normal apa aku harus begitu. Selalu menghindar jika hati berdetak dan gemetar ketika melihat perempuan cantik sepertimu. Sampai kapan? Jika aku tak berani mendekatimu, itu seperti aku berlebel lelaki pecundang. Aku tidak mau begitu. Aku harus menaklukanmu. Kalau tidak menjadi pacar setidaknya aku pernah menjadi teman dekat denganmu. Tak ada bedanya, bukan? Teman dekat dengan sang pacar, bagiku tak ada beda. Karena kita bisa saling mendekati, siapa tahu ada mimpi-mimpi kita terjawab oleh keadaan dan terkabulkan oleh Tuhan? Siapa tahu, ya siapa tahu? Harapan dalam otakku mengawang-awang, memutar-mutar seperti lebah mencari bunga untuk menghisap madu.
Perempuan itu seperti magnet, jika di dekati terus suatu saat ada induksi dengan jarak yang kian dekat. Semakin besar induksi terjadi, semakin lengket daya pikatnya. Cinta tak jauh beda dengan magnet, dua kutubnya yang seirama akan saling tolak menolak, jika tak seirama akan menjadi lengket seperti mengandung perekat.
“Kau tahu sayang? Rasa cinta yang tumbuh dalam hatiku ini adalah murni datang secara spontan. Sekali bertemu hati ini bergetar. Dan kalau boleh jujur lagi. Salahkah jika cinta ini tumbuh? Jika kau bilang salah, aku akan berusaha dengan sekuat tenaga membuangnya, tak perduli apa reaksi berikutnya padaku? Resiko seberat apapun akan aku lalui. Jika kau benar, akan aku pertahankan hingga seluruh nafasku menghilang.”
“Kau ini bicara apa? Aku sulit memahaminya. Biarlah semua berjalan dengan semestinya. Kita ini tak bisa lepas dari takdir Tuhan. Tuhanlah yang berhak menentukan kutukan rindu itu pada setiap makhluk-Nya. Tuhan menciptakan cinta bagi siapa saja. Dan aku tak berhak menyalahkan hati manusia yang menyimpan cinta.”
“Itu artinya kau mengizinkan aku untuk merawat cinta yang mendekam dalam hati ini. Kau punya konsekwensinya atas bicaramu itu?”
“Setiap bicara yang keluar dari mulut punya konsekwensinya masing-masing.”
“Sungguh…”
“Aku tak pernah sedikitpun bohong padamu.”
“Lantas kenapa setiap kali aku utarakan cinta padamu kau hanya menjawab dengan basa-basi dan terkesan tidak serius?”
“Tak pantas aku menjawabnya detik ini tapi bertahannya hanya hitungan detik. Kau mau begitu? Hari ini aku menjawab “iya”, lantas tidak lama aku bilang selesai. Menyakitkan tidak? Dan aku tahu kau itu baik, punya dedikasi tinggi, lelaki berkarakter, setia, dan sebagainya. Aku tak sampai hati menyakiti hatimu, karena kau juga tak pernah berniat menyakitiku.”
“Dan semua orang tahu bahwa aku adalah memelihara cinta yang bertepuk sebelah tangan, kau pernah dengar itu?”
“Tak pernah, karena aku tak pernah menganggapmu begitu.”
“Tapi yang lain,…”
“Kenapa kau sibuk urusi yang lain, buktinya aku tak pernah mengatakan begitu. Jika kau terlalu larut dengan orang lain jadinya kau akan begitu, punya pikiran yang tidak sejalan dengan niatmu, kau akan mudah kalah, termakan oleh omongan orang lain, prinsipmu sendiri akan terkubur, dan hidup seperti itu sangat tidak mengenakkan. Percaya diri sajalah terus-menerus agar kau tetap kuat.”
“Aku catat omonganmu ini.”
“Silahkan. Sampai kapan kau kuat menyimpan rasa cintamu itu.”
“Apakah ini tantangan?”
“Bisa juga begitu. Dan jika kau lengah anggap semuanya seperti tak pernah terjadi apapun antara kau dan aku.”
“Lengah apa maksudmu?”
“Aku adalah pemuja kesetiaan, aku tak ingin di sakiti meski itu hanya sekali saja, aku punya naluri selektif yang sangat dalam, ini hatiku tak bisa kau samakan dengan hati perempuan yang lain, karena ini adalah aku, dan hatiku adalah hatiku bukan hati milik orang lain. Maka dari itu aku tidak ingin memberikan jawaban kepada lelaki lain, termasuk kau. Namun, yang kuharapkan dari kau sebagai temanku, tak lain adalah tetaplah terus percaya diri.”
“Kenapa percaya diri?”
“Karena dengan percaya diri, manusia akan selalu berfikiran positif dan selalu menjaga dirinya sebagai pribadi yang utuh bukan pribadi yang mudah goyah dengan pengaruh-pengaruh yang lain.”
“Kau bicara seperti itu tentu ada maksud yang tersembunyi, apa hubungannya percaya diri dengan jawabanmu yang selalu kutunggu-tunggu. Kau suka memainkan aku rupanya.”
“Bukan hanya suka memainkan tapi memang kau perlu untuk disukai. Kau…..”
“Eit…kau mulai berterus terang, dan itulah dari sekian jawaban yang selalu ku harapkan.”
“Kau itu ada tapinya, …..”
“Semua orang ada tapinya. Tak ada manusia yang sempurna, mencoba iya, tapi hasilnya, orang lain juga yang menilai.”
“Jangan GR dulu, kau itu patut disukai karena baik sebagai teman. Lain itu aku belum bisa menilai karena kita belum pernah dekat.”
“Belum pernah dekat?”
“Iya.”
“Kau itu suka membelokkan pembicaraan, ya.”
“Memang iya.”
“Ah kau masih saja berkelit dengan seribu alasan yang terus kau gelontorkan seperti peluru. Namun, cinta yang ada dalam hatimu tak kan bisa kau sembunyikan kemanapun juga karena ia seperti umur. Ia akan selalu tampak memadati raut wajah manusia. Termasuk kau, sehebat apapun kau beralasan suatu saat akan tersungkur dalam pelukan cintamu sendiri. Karena dari matamu aku bisa membacanya.”
“Sok tahu, kau.”
“Kenapa?”
“Ya itu kau sok tahu.”
“Haaha…tak boleh?”
“Boleh dan itu hakmu sebagai warga negara.”
“Apa hubungannya?”
“Berhak merengkuh dan memperjuangkan cintamu yaitu aku.”
“Siapa bilang?”
“Dasar lelaki buaya.”
“Buayanya hanya untukmu.”
“Gombal.”
Dan kau masih tetap tak kan mau menjawab dengan pasti setiap kita saling bertemu dan mengobrol. Meski secara langsung kau tak pernah menyakitiku. Kau masih menganggapku sebagai teman baik bahkan lebih dari itu. Maka dari awal aku katakan bahwa tak ada bedanya antara pacar dengan teman. Aku lihat tidak sedikit yang mengatakan pacar tapi ketika bertemu hanya marah-marah dan sebagainya. Menyakitkan. Lebih baik menjadi teman, dan hubungan tetap baik. Jika terjadi salah paham semua bisa langsung teratasi dengan cepat dan baik, tak perlu marah-marah sampai berlarut-larut dan ujung-ujungnyapun minta berakhir.  
“Kenapa kini kau hanya diam, mematung? Tak bisakah bicara lagi?”
Dengan diam semua akan membeku. Pertemuan hari ini masih saja dingin laksana singgah di kutub utara. Masih tak ada jawaban dengan pasti. Aku sadar, meski dalam hatimu ada sepenggal harapan cinta untukku namun masih menjadi harta karun yang sulit untuk digali. Biarkan saja, ya biarkan saja, jika harta karun cinta itu untukku pasti dengan mudah akan aku temukan jika harta karun cinta itu bukan untukku, apa boleh buat. Semua pasti akan hilang dan berlalu. Maka akupun tak ingin mengungkit-ungkit lagi. Apakah aku sedang putus asa? Tidak.
Rasa cinta itu berlalu, beberapa semester. Betapa rindu masih menghangat untuk mencari titik wajahmu. Meski rembulan malam semakin tak jelas menampakkan wajahnya karena awan hitam selalu menghadang. Jawaban-jawaban yang selalu aku tunggu darimu masih saja bungkam. Seperti hanyut ditelan ombak laut Jawa.
“Hallo, apa kabar rinduku?” Sapaku pelan melalui telpon umum di terminal bus dengan uang receh lima ratusan.
“Ya siapa ini? Apa yang bisa aku bantu.” Jawabmu dari telpon rumah.
“Aku…”
“Hai, hallo, kaukah itu, apa kabar, kau dimana?” Jawabmu seperti orang tak sabar segera ingin bertemu denganku.
“Aku sedang berada diterminal bus dikotamu. Dan ini aku sedang menunggu bus untuk balik ke kota Surabaya. Karena besok kuliah masuk.”
“Hai, tunggu dulu disitu, aku akan kesana. Bisakah kita bertemu dan berbicara, sudah lama aku tak bicara denganmu apalagi bertemu. Ku jemput kau ya?” Tiba-tiba kau ingin bertemu denganku.
“Ehm….”
“Sudahlah, pokoknya aku jemput, dan kuliah kan besok, masih ada banyak bus ke Surabaya, 24 jam tak usah khawatir.” Kau memaksaku untuk bertemu dan tak tahu apa yang harus aku lakukan, paling-paling kau akan menambah beban hatiku lagi, rasa itu masih kuat mendekam dalam kalbuku. Dan aku sudah bisa memprediksi kau tak kan sudi menjawab atas rasa yang dulu pernah aku ungkapkan. Apalagi kau sudah bekerja, perempuan yang sudah punya masa depan baik. Sedangkan aku masih melalui kuliah dan masa depan yang belum jelas. Jujur rasanya aku kalah dengan tantanganmu. Aku sudah tak tahu lagi rindu yang ada dalam kepalaku ini. Meski kau masih yang terhebat.
Angin laut Jawa semakin deras menghujan tubuhku. Aku mematung menunggumu di sudut terminal yang usang. Orang berlalu lalang dengan tujuan di kepala mereka masing-masing tanpa pernah aku ketahui semuanya. Mereka punya hak menuju tempat yang akan mereka tempuh. Datang, pergi dan berlalu sesuka hati.
“Lama menunggu, apa kabar?”
“Tidak. Alhamdulillah sehat. Kau?”
“Baik seperti yang kau lihat saat ini.”
Dan pertemuan itupun penuh dengan kehangatan, kita memang lama tidak bertemu, kau sibuk bekerja sedang aku harus rela untuk kembali mengenyam bangku kuliah. Namun tak apa. Kita tak tahu jalan apa lagi yang akan kita lalui. Nasib manusia tidak ada yang tahu. Apakah kau masih menungguku, aku juga tak tahu, setidaknya aku telah mengucapkan uneg-uneg hatiku beberapa tahun silam. Dan sampai hari ini aku belum menerima jawaban pasti darimu.
“Bagaimana kehidupanmu di kota Surabaya?” Tanyamu tiba-tiba membuka kebekuan hati.
“Baik.”
“Kau punya pacar?”
“Ada, tapi tak tahu apakah bisa berjalan atau tidak?” Jawabanku spontan keluar tanpa pikir panjang.
“Waw, sungguhkah? Syukurlah kau telah punya pacar.” Kau menjawab seperti bukan jawaban hatimu. Dan itu aku bisa membacanya dari pandangan matamu yang telah lama aku kenali. Kau seperti terpukul meski dengan sekejap kau mengalihkannya. Tapi kau tak bisa marah karena kau tak pernah memberikan jawaban pasti dariku.
“Anak mana? Tentu saja cantik.” Kau masih memberanikan diri untuk bertanya tentangnya.
“Ehm, Surabaya.” Aku masih menjawab dengan separuh jawaban sekenanya.
Dan suasana masih saja tenggelam dalam perasaan masing-masing. Ada misteri hati yang sekian lama tak terkuak. Antara aku dan kau. Dan kini seperti terkena tsunami. Hancur dan pupus. Ada janji yang telah terucap meski tak jelas. Hatimu kelu. Kata kunci pesan dari hatimu tentang“optimis” telah berubah menjadi “pesimis”. Ombak laut Jawa menjadi limbung. Kau semakin bergetar. Ada perasaan hati yang tak tersampaikan. Waktu sekian lama yang berjalan dan mengharap bertemu dalam suasana haus akan rindu dan cinta kasih anak manusia menjadi pertemuan seperti air dan oli. Aku tak menyadari jawaban jujur dariku tadi sempat memukul jiwamu. Aku tak tahu episode apa lagi yang akan aku lalui denganmu, semua masih menjadi teka-teki rindu yang telah kaku. Yang jelas kau telah kecewa hari itu. Bertemu denganku di sudut terminal yang usang yang telah membawa kisah sendu setengah mati.
“Apa kabar rinduku yang telah menancap di relung hati?”
“Ya, meski kau telah berlalu dengan harapan yang lebih indah. Aku masih tetap saja setia dengan teka-teki hatimu yang belum terpecahkan. Tak tahu sampai kapan?”
Semua akan indah pada saatnya. Aku percaya itu. Rambutmu yang terurai dan berkibar-kibar disapu angin laut Jawa perlahan hilang, hilang, dan hilang.
“Maafkan aku, aku telah gegabah mengartikan maksud hatimu yang selama ini tak pernah memberikan jawaban atas cintaku, sedikitpun. Meski kau benar-benar telah merasakan rasa itu. Mungkin kau sendiri ragu terhadap kepastianku, dan aku maklum itu.” Batinku
Dan bus yang aku tumpangi begitu melaju dengan kencangnya. Bayangan wajah sendumu kian tak bisa lepas dari ingatanku. Merasa berdosa dan bersalah karena telah gagal memahami hatimu yang telah menjadi misteri. Aku sudah tak bisa lagi menguaknya. Sedangkan  bayangan perempuan lain yang sembunyi dalam kerinduan, sayup-sayup mulai mengisi dan memenuhi ruang otakku.
“Ugh…..”

Tuban di Terminal lama, 2001.
Rohmat Sholihin
*Penulis anggota komunitas kali kening.













Label: