Kamis, 07 Desember 2017

Dan Setelah Itu Kau Tercampakkan


https://psichenessunoecentomila.wordpress.com/2014/09/02/sofferenza-emotiva-la-strategia-difensiva-del-riccio/

Dua tahun setelah suamimu ter-PHK dari perusahaan, kau mulai berulah. Biasanya kau giat bekerja, pagi hingga petang membanting tulang, menjual sayuran keliling untuk menambah pemasukan penghasilan, dengan sepeda angin kau terus mengelilingi desa-desa menawarkan dagangan yang belum juga habis. Setiap kau datang dan mangkal, banyak juga ibu-ibu yang datang untuk membeli keperluan belanjaan. Ditempat itu pulalah banyak juga sumber isu dan gosip. Membuat banyak orang selalu bertanya-tanya penasaran. Seperti gosip yang baru saja terdengar.
“Kemarin malam si Endang digerebek, selingkuh. Rame banget.” Kata seorang ibu.
“Endang siapa, Mbak?” Tanya ibu yang lain.
“Itu Endang telur, yang punya usaha bebek petelur.”
            “Dengan siapa, Mbak?”
            “Dengan pacarnya yang rumahnya kota B, itu laki-laki yang dikenalnya ketika dulu langganan telur-telur bebeknya. Eh, lama-lama saling suka.”
            “Kasihan suaminya, tega banget itu si Endang.”
            “Ya, namanya saling suka, mau gimana lagi, kalau larinya tidak kesitu.”
           “Suaminya tak ada dirumah, sedang kerja keluar kota, kabarnya sedang ada proyek di Jakarta.”
            “Kesempatan ya, Endang, suaminya lagi kerja, eh ia enak-enakan selingkuh. Keterlaluan.”
            “Ya, ia tergoda dengan laki-laki yang jadi pacar barunya itu, masih muda, tampan, dan hampir setiap hari selalu bertemu di kandang bebeknya yang berada di tengah sawah itu. Sepi tak ada orang, orang ketiga ya setan yang menggoda hawa nafsunya.” Ibu yang lain tak mau kalah ikut berkomentar seperti tukang ceramah handal.
            Semua ibu-ibu itu nyerocos menambahi tanpa mengurangi, hampir semua sok tahu dan benar-benar membicarakan aib orang menjadi sesuatu yang menarik di dunia ini. Mereka bertemu hanya sebagai ajang kicau mulut, yang paling pintar bicara ia akan menjadi bintang gosip dikampungnya. Dan kau, tukang sayur hanya menyimak dan merekamnya. Kemudian tak lupa kau turut menjualnya ke kampung lain sebagai ajang promosi dagangan kepada ibu-ibu. Baginya, ketika ia datang bukan hanya sebagai pedagang sayur saja namun juga berperan ganda sebagai pengobral cerita-cerita gosip agar bisa menarik pembeli lainnya yang sudah ketagihan ngegosip. Lumayan, setidaknya kau punya cerita menarik. Menarik untuk memikat pelanggan.
            Kini kau merasakan sendiri akibatnya. Menjadi biang gosip diantara tetangga dan tak kalah juga pelanggan-pelanggan sayurmu. Ketika suamimu pulang dari rantau dalam keadaan melarat, tak punya kerjaan karena PHK, uang sepersenpun tak bawa, dan kau menjadi sibuk mencari penghasilan yang lebih besar lagi. Pedagang sayur yang biasa kau jalani kurang besar untungnya. Dan kau harus sibuk mencari pekerjaan lain yang lebih besar hasilnya.
            Hingga kau bertemu lagi dengan pelangganmu dulu, Darinem, janda cantik yang telah ditinggal suaminya karena suatu kasus, selingkuh. Suaminya pergi meninggalkan dia, karena sutau malam suaminya telah memergoki istrinya sedang selingkuh dengan tetangga. Suaminya merasa kecewa lalu menceraikannya. Untung suaminya masih punya akal sehat tak sampai melukainya atau bahkan bisa juga membunuhnya. Karena masih punya alasan kuat yaitu anaknya. Jangan sampai anaknya akan kehilangan ibunya.
            Setelah bertemu dengan Nyonya Darinem, hidupnya mulai berubah, mulai dari gaya dan penampilannya. Yang dulu tidak pernah memegang HP kini kemana-mana selalu menenteng HP Android, sedikit-sedikit hallo, sedikit-sedikit membalas WA dan SMS yang telah masuk. Dulu yang tak pernah memakai celana panjang, hanya rok, kini ia telah berani memakai celana panjang dan ketat, jilbabpun mulai ia tanggalkan. Ada apa? Ia selalu menjawab semua pertanyaan itu dengan jawaban singkat dan jelas. Tuntutan pekerjaan. Wanita karir. Titik.
***
            Apalagi kini ia merasa paling berkuasa dalam rumah tangganya, suaminya semenjak tidak bekerja lagi tak berani ikut campur, karena semua itu masalah pekerjaan. Sedangkan masalah nomor satu dalam urusan rumah tangga yaitu penghasilan dan kebutuhan hidup yaitu makan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tidak ada uang, kompor tak kan mengepul dan anak-anak akan menangis kelaparan.
            Ia berangkat pagi hingga tengah malam baru pulang ketika anak-anak dan suaminya telah terlelap. Bau harum minyak wangi kelas menengah berhamburan memenuhi rumahnya. Tas kecilpun ia lemparkan pada kursi reot warisan emaknya.
            “Ibu sudah pulang. Dapat apa, Ibu?” Rengek anaknya yang barusan terbangun dari tidur.
            “Sudah tidur lagi saja, besok pagi beli jajan dengan bapakmu. Ibu mau mandi dulu, capek.” Dengan cantas dan tanpa pikir panjang ia langsung menuju belakang dan mandi.
            Tanpa protes anaknya kembali tidur dengan resah. Resah karena seharian belum merasakan kehangatan seorang ibu yang dulu sering mengajaknya bercanda, belajar bersama, bahkan makan bersama. Tak terasa air matanyapun menetes membasahi bantal tempat ia bersandar.
            “Ssssstttttt….tidurlah, Nak. Besok pagi kita beli jajan, ini masih malam dan kasihan ibumu baru datang kerja, capek.” Bisik bapaknya pelan.
            Ketika pagi menyapa. Ia pun telah meninggalkan rumah. Anak-anaknya sudah tidak tahu lagi kemana ia pergi, tentu saja dalam benak anak-anaknya, berangkat bekerja.
            “Pak, ibu mana, sudah berangkat bekerja lagi?”
            “Sudah berangkat, Nak, tadi kau dipamiti dan diciumi ketika kau masih tertidur pulas.” Bujuk bapaknya dengan hati yang kalah.
            Tak ada lagi tanya pada anak-anaknya. Dengan berjalan pelan anak itu kembali ke ruang depan lalu duduk dengan melas, matanya menatap luar rumah. Setiap ada orang perempuan lewat depan rumah pikirannya selalu tergambar ibunya yang sedang menghampirinya dengan senyum ramah dan kasih sayang seorang ibu. Meski semua itu segera ia tepis dan pandangannya kembali pada seorang bapak yang tangguh menyiapkan segala sesuatu di dapur. Segera ia menghampiri bapaknya.
            “Bapak, bolehkah sekali kali kita ikut ditempat kerja ibu?”
            “Ya, nanti menunggu ibu.”
            “Ibu kerja dimana ya, Pak?”
            “Di Mall, Nak.”
            “Asyik, kita bisa ikut melihat-lihat mall ya, Pak.”
            “Iya.”
            “Tapi jangan nakal ya, dan jangan mengganggu Ibu, nanti Ibu bisa marah dan dipecat oleh atasannya.”
            “Tidak, Pak. Kami janji.”
            “Ya sudah ayo kita makan dulu setelah itu kau berangkat ke sekolah.”
            “Baik, Pak.”
Merekapun berangkat ke sekolah dengan penuh semangat.
***
            Dan liburan sekolahpun tiba. Tiba juga menunggu sekian waktu yang telah menjadi keinginan mereka, mengunjungi tempat ibunya bekerja. Mall. Dari pagi jam enam mereka semua telah bersiap menuju mall. Meski sudah beberapa hari ibunya tidak sempat pulang. Hanya mengabari melalui sms pada HP bapak dirumah. Bahkan, bapaknya telah mengirim sms jawaban jika libur sekolah ini mereka akan mengunjungi tempat ibunya bekerja. Tentu saja jawabannya bisa ditebak: tidak usah dan jangan, karena nanti bisa ditegur sama bosnya.
            Maka dengan diam-diam bapaknya mengajak kedua anaknya itu pergi tanpa sepengetahuan ibunya. Mall itupun ramai seperti pasar malam setiap tahun yang digelar dikampung ketika bulan Agustus tiba. Orang-orang berduyun-duyun pergi dan berlalu. Membawa tujuannya masing-masing. Membeli atau hanya sekedar melihat-lihat tak pernah menjadi urusan bagi yang lain. Bagi mereka bisa mengunjungi mall adalah suatu kebahagiaan, bisa naik lift, escalator, bisa belanja, dan lainnya.
            Setelah puas mereka melihat-lihat mall dan sedikit kecewa karena tidak menemukan ibunya sedang bekerja, dengan langkah gontai, mereka keluar mall dan duduk diserambi mall dekat pot bunga besar yang nyaman.
            Perempuan menor dengan rambut terurai dan rok diatas lutut berjalan mesra bergandengan dengan seorang pria berusia lima puluhan keluar mall. Wajahnya begitu gembira dan bahagia ketika melangkah menuju lapangan parkir mobil. Ketiga orang yang sedang duduk didepan mall itu merasa terkesima dan gerah. Ketika ada salah satu anak akan memanggilnya, dengan cepat kedua tangan bapaknya menutup mulut anak itu sambil membisiki kata-kata, pelan namun menyentuh.
            “Husstststs,…diam Nak. Jangan dipanggil.”
            “Dia ibu, Pak. I….” Baru akan berteriak memanggilnya lagi kedua tangan bapak itu menutup mulutnya lagi. Lalu dibisiki lagi dengan kata-kata pelan.
            “Dia bukan ibumu, Nak. Dia orang lain yang mirip dengan ibumu. Jika dia mendengarnya kita akan kena marah. Biarkan dia lewat saja.” Bisik bapak dengan pelan. Meski kurasakan detak jantung bapak kuat berdetak. Wajah bapak seketika merah, meski perlahan-lahan kembali seperti sedia kala.
            “Tidak, Pak, itu Ibu.” Sambut anak satunya.
            ‘Tidak, Nak, itu bukan Ibu. Itu hanya perempuan yang mirip dengan Ibu.”
            “Tapi jalan dan senyumnya persis Ibu, Pak.”
            “Bukan, Nak. Kau salah lihat. Ibumu tidak pernah punya mobil, sedangkan perempuan itu naik mobil.”
            ‘Tidak, Pak, itu Ibu. I…” Tangan Bapak itu menutup mulutnya lagi.
            “Stststststtttt…jangan dipanggil, kau sudah berjanji pada Bapak untuk tidak nakal.”
            “Tapi itu Ibu, Pak.”
            “Bukan, Nak, kau salah lihat. Ibu tidak pernah punya mobil.”
            “Siapa tahu itu mobil bosnya, Pak.” Kedua anak itu terus bertanya silih berganti.
            “Bukan, Nak, bosnya Ibu orang China sedangkan itu tadi bukan orang China.” Terus saja bapaknya meyakinkan bahwa itu bukan istrinya, ibu dari anak-anaknya yang kini sedang kalap karena telah mengerti bahwa ibunya telah berjalan dengan pria yang tak pernah mereka ketahui.
            Hari-hari tetap berjalan seperti biasa. Seperti tak ada suatu yang aneh mengganjal. Dan tak terasa waktu terus berlalu, anak-anak telah memasuki dunianya tanpa pernah mempermasalahkan kejadian yang lalu di mall. Tiba-tiba kau pulang tengah malam dalam keadaan muntah-muntah. Esoknya tak mampu lagi bekerja. Muntah-muntah terus seperti orang masuk angin. Setelah dua hari libur kau baru pergi bekerja lagi. Sebelum pergi kau sempat menatap suamimu dan berkata.
            “Mas, berapa hari ke depan aku tak bisa pulang lagi karena kerjaanku semakin banyak, diatas meja dapur ada uang untuk jajan anak-anak.”
            “Tak usah, bawa saja, uang kemarin-kemarin yang kau beri masih ada.” Jawab suaminya.
            “Tak apa, Mas.”
            “Iya. Nanti aku sampaikan pada anak-anak. Tapi bisakah kau berhenti dari kerjaanmu itu, aku kasihan melihatmu bekerja tiada kenal lelah. Bisakah kau kembali dirumah dan biar aku saja yang bekerja lagi.”
            ‘Tak usah, Mas. Kau dirumah saja dengan anak-anak.”
            “Aku lelakimu, aku muak mendengar selentingan gosip-gosip miring tentangmu ketika ibu-ibu sibuk menggunjingmu, di pasar, di pertigaan, bahkan di musholla.” Harap suaminya.
            “Sudahlah tak usah kau urusi gosip-gosip murahan itu.”
            “Baiklah, setidaknya aku sebagai lelakimu pernah mengatakan keberatan jika kau bekerja, membanting tulang hingga tak tahu waktu. Bukankah tugas seorang lelaki adalah mencukupi keluarganya.”
            “Aku suka, Mas dengan pekerjaanku, aku enjoy, sudahlah, Mas, kau dirumah saja!” jawabnya dengan nada agak tinggi.
            “Baiklah, jaga dirimu baik-baik, silahkan berangkat sebelum kau terlambat sampai ditempat kerjamu.”
            Tanpa ada lagi percakapan, kau pun berangkat. Meski tak sempat menengok anak-anakmu yang masih terlelap.
***
            Sesampai kau ditempat pertemuan dengan lelaki simpananmu.
            “Gugurkan saja, janinmu itu, Yam! Aku antarkan kau ke tempat dukun pijat sekarang juga. Sebelum suamimu dan istriku tahu.”
            “Dimana, Mas Marsam?”
            “Ikuti saja aku.”
            “Baiklah.”
            Keduanyapun meluncur ke tempat dukun pijat Mbah Yongko. Usahanya untuk menggugurkan janin hasil hubungan gelap itupun dilakukan. Beberapa jam kau dipijat oleh Mbah Yongko, rasa sakit tak tertahankan hingga kau menjerit kesakitan.
            “Aduh, sakit, Mbah.”
            ‘Tak apa ini hanya sebentar, setelah kau mengeluarkan segumpal darah ketika buang air kecil, tubuhmu akan kembali lega.” Jawab Mbah Yongko.
            “Aduh, aduh, Mbok, sakit. Sakit sekali.”
            “Sudahlah, tahan. Sebentar sakitnya pasti hilang. Silahkan minum ramuan itu.” Perintah Mbah Yongko. Dengan tertatih-tatih kau mencoba bangkit. Kau pun meminum ramuan yang telah disediakan Mbah Yongko.  Kemudian Mas Marsam membayar Mbah Yongko. Dan pergi berlalu. Kau masih terdiam menahan sakit di dalam mobil. Dan berhenti ditempat semula. Tak lama, Mas Marsam pun pamit dan berlalu karena ada izin acara lain.
            Setelah kejadian itu kau tak bisa lagi bertemu dengan Mas Marsam. Melalui HP kau hubungi berkali-kali nomornya hanya suara tulalit saja yang kau temukan. Maka tak ada lagi jalan kecuali kau mendatangi lagi Darinem dan mempertanyakan dimana alamat Mas Marsam tapi Darinem hanya geleng-geleng kepala. Tak tahu rimbanya. Maka kau minta lagi pekerjaan pada Darinem.
            “Bisakah kau carikan lagi pekerjaan baru untukku?”
            “Tak bisa, Yam. Perutmu semakin membuncit dan lelaki mana lagi yang mau dengan perempuan hamil.”
            Ia pun pulang dengan kekalahan dan kerugian yang bertumpuk-tumpuk. Sesampai dirumah kekesalan itu ia luapkan pada suaminya dan anak-anaknya dirumah.
***
            Rumah itu masih sunyi. Tak ada siapa-siapa kecuali kau dengan bayimu saja. Suamimu telah pergi ke kota dengan anak-anakmu karena tak mau lagi tinggal bersamamu, karena kau telah menjelma menjadi perempuan berwatak serigala. Kau usir mereka. Kini kau hanya diam dirumah mengasuh bayi hasil hubungan gelapmu, yang dulu janinnya pernah kau gugurkan, ternyata janin itu masih bertahan kuat hingga lahir. Lahir ke dunia yang sedikitpun tak pernah kau harapkan. Ya, kau seorang ibu yang telah lalai menjadi seorang ibu. Bayimu lahir dengan kejanggalan pada fisiknya. Hidrosepallus. Akibat salah pijat dari Mbah Yongko dulu.
            Kini bayi itu hanya terbaring di ranjang mengharap lembut kasih sayangmu, kasih sayang seorang ibu yang telah menyia-nyiakan harapannya untuk tumbuh dan berkembang menjadi anak manusia di dunia. Dan kau masih punya rasa kasih sayang padanya? Meski dengan sesak hati kau menerimanya.
            Bunyi tangis bayi itu membuatmu terbelalak dari lamunan penyesalanmu yang dalam. Air mata merembes dari kedua matamu. Sesak dadamu terus menghimpit dan akal sehatmu semakin tercerabut, kau berjalan gontai keluar rumah. Meninggalkan jejak hitam dan putih yang pernah kau rengkuh didalam rumah mungil itu. Tak tahu lagi apa yang kau lakukan? Suami dan anak-anakmu telah pergi, selingkuhanmu juga telah pergi, tinggal kau sendirian terpaku dengan kenangan hidup yang kau cabik-cabik sendiri. Kau terus melangkah meninggalkan malam yang dulu tak pernah sedikitpun kau lewatkan. Gelap. Sunyi. Dan sekarang kau pun telah tercampakkan oleh roda hidup yang terus berputar.
            “Ampuni hambamu ini, Tuhan.” Bisikmu pelan sekali hampir tak bersuara.
***

Bangilan, 2 Desember 2017.
Rohmat Sholihin.
Penulis anggota Komunitas Kali Kening.



           
           
           
           
           


Label: